Quantcast
Channel: Gussur Ngeblog
Viewing all 92 articles
Browse latest View live

Sukoharjo – Imogiri via Tanjakan Gedangsari, Gunung Kidul

$
0
0

Carilah Tuhan di tanjakan, jangan di turunan …

gussur.com – Tanjakan, sepi, sendiri. Tiga serangkai yang selalu aku cari kala motivasi hidup meredup. Kali ini menyasar ke Gedangsari. Nama yang selalu berseliweran di pikiranku dan lantas jemari menari-nari di kolom pencarian Google.

Sebagai orang dengan akar masa kecil di Yogya dan sekitarnya, sesungguhnya tak susah mencari tiga serangkai tadi. Soalnya banyak jalur tiga serangkai di sini. Jogja (maksudnya kota Yogyakarta) memang seperti dasar sebuah mangkok. Jadi, dengan menggowes menjauh Jogja sudah kita temui jalan tanjakan, sepi, dan sendiri jika itu pilihanmu.

Ke Barat akan bertemu dengan gugusan Pegunungan Menoreh. Ke Utara bersua dengan lereng G. Merapi. Ke Selatan dan Timur (Tenggara tepatnya) berjumpa dengan Pegunungan Seribu. Jadi, kurang apa coba?

Dari sekian banyak jalur itu, jalur menuju Gunungkidul lebih sering aku susuri. Soalnya rumah orangtua di Imogiri tak jauh dari perbatasan dengan Gunungkidul. Jadi jalur Panggang, Parangtritis, Mangunan, Cinomati, Pathuk sudah saya coba. Pernah mencoba jalur Klaten yang tembus Nglanggeran. Begitu juga pernah masuk Gunungkidul dari Wonogiri. Sampai kemudian aku mendengar “pintu masuk” lain dari Klaten: Gedangsari.

Setelah googling, ternyata ini Klaten agak ke timur. Jadi, butuh upaya berlebih jika mencoba pas lagi di Imogiri. Setidaknya bikin loop yang besar.

Makanya, ketika ada niatan mau melihat sistem pertanian terpadu di lahan tandus milik teman asrama dulu, Heri Sunarto, di Sukoharjo, maka aku pun menyekaliankan niat mengincipi Gedangsari. Jadi jalurnya Sukoharjo – Klaten – Gedangsari – Pathuk – Hutan Pinus Mangunan – Imogiri. Asumsinya begitu tiba di Sukoharjo bisa langsung melihat lahan pertanian dan sebelum siang langsung cabut ke Klaten.

Namun angan tinggal kenangan. Temanku ternyata kedatangan tamu teman2 seangkatan di hari itu juga. Jadi fokusnya terbagi. Apalagi hari itu hari Jumat. Alhasil, selepas salat Jumat baru bisa melihat lahan tandus yang disulap menjadi pertanian terpadu: padi, lele, sayuran hidroponik, dan ayam.

Selesai melihat-lihat lahan pertanian, aku segera pamit ke Heri untuk ke Klaten. Mengandalkan GMaps maka aku pun menyusuri jalan menuju Tawangsari dan kemudian masuk ke Klaten.

pertanian terpadu
Pertanian terpadu: beternak lele, menanam padi, serta hidroponik.

Berhenti sebentar makan siang yang tertunda, akhirnya aku mengejar waktu demi bisa menembus Hutan Pinus Mangunan sebelum gelap. Soalnya aku tak membawa lampu depan. Nekat ya….

Mengandalkan GMaps aku mulai curiga ketika rute di arahkan ke jalanan kampung. Sebenarnya aku suka-suka saja. Sebab lebih banyak yang bisa didapat jika masuk kampung daripada lewat jalan besar atau melintas persawahan. Masalahnya jalannya sedikit makadam atau kalaupun aspal, ya aspal mulus (kala zaman Mataram hehe…).

Makanya, ketika melihat ibu-ibu yang juga bersepeda saya menjejeri dan bertanya arah ke Gedangsari. Akhirnya ditunjukkan jalan yang “benar”. Pas aku tanya2 rute sesuai anjuran GMaps, “Wah, jalannya rusak. Apalagi pakai sepeda kecil gitu.”

Akhirnya aku kembali ke jalan yang benar. Meski tidak mulus-mulus amat, tapi jalanan yang kulalui sudah berbalik kondisi dengan jalan sebelumnya. Jika di jalan sebelumnya susah mencari aspal karena sudah tergerus, di jalan yang baru ini relatif susah mencari lubang.

Sampai akhirnya, di sebuah jalan lurus aku melihat di kejauhan sana, bukit meranggas dengan bayangan gerakan motor naik dari dasar bukit yang merupakan ujung jalan yang sedang kususuri. Itukah Gedangsari?

Senyatalah itu ujung dari tanjakan Gedangsari. Sekaligus perbatasan Klaten (Jawa Tengah) dan Gunungkidul (DI Yogyakarta).

Dibandingkan beberapa pintu masuk ke Gunungkidul, Gedangsari menurutku menawarkan banyak hal. Relatif sepi, jalanan agak lebar, serta panorama yang menarik. View lebar dan tak banyak alangan.

tanjakan gedang sari
Jalur tanjakan Gedangsari Gunungkidul

Meski begitu tetap berhati-hati sebab sore itu beberapa kali saya disalip motor yang membawa rumput buat makanan ternak. Padahal tanjakan di sini terhitung terjal untuk sprocket Urbano saya. Terpaksa berhenti dulu dan menepi jika terdengar bunyi klakson dari belakang.

Dari data Strava, dan juga data di lapangan, ada tiga tanjakan terjal menuju puncak Gedangsari. Masing-masing gradiennya bergradasi dari 20,3 persen, 21,5 persen, dan terakhir 21,7 persen. Tanjakan terakhir ini begitu menantang sebab di ujung tanjakan adalah belokan yang tertutup dinding bukit. Jadi kalau mau gowes zigzag mesti waspada.

Di tiga tanjakan itulah silakan berdialog dengan Tuhan. Meminta kekuatan dan mengagumi keindahan alam. Yakin deh, setelah puncak tanjakan langsung lupa sama Tuhan haha…. (guyon ya….).

sukoharjo imogiri
Rute ngincipi Gedang sari

Di ujung tanjakan ada semacam gardu pandang. Cuma sore itu tutup pintunya. Jadi aku tidak mampir dan langsung menuju ke Pathuk. Mengejar waktu biar bisa melewati hutan pinus Mangunan.

Sampai pertigaan Sambipitu yang kemudian harus menyusuri jalan provinsi masih terang tapi sudah menyisakan rasa pesimis bisa lewat Mangunan. Awalnya saya mengira begitu sampai Sambipitu jalanan tinggal turun atau kalau enggak ya datar. Begitu sampai Bukit Bintang Pathuk sudah turun terus sampai Jogja.

Jebul masih ada tanjakan menuju Bukit Bintang. Mana hari mulai gelap. Bertambah gelap karena ternyata aliran PLN di jalur itu putus. Ngeri2 sedang sebab aku boleh dibilang tak memakai lampu sorot di depan. Tragedi marka jalan pun terulang kembali.

Aku berhenti sebentar di Alfamaret beberapa kilo sebelum perempatan Dlingo-Pathuk (jika mau ke Mangunan aku harus ambil kiri, namun karena sudah gelap ya harus lurus ke Jogja). Beristirahat sambil mengisi cairan.

Setelah melewati turunan Pathuk menuju Piyungan, saya pun memantapkan untuk terus menggowes sampai Imogiri. Pantat sudah terasa panas karena gak pakai celana berpadding. Berhenti malah bisa menambah siksaan.

Dari Brimob di pinggir Ring Road Yogyakarta menyusuri Jalan Raya Imogiri Timur kaki sudah seperti autogowes saja.

Sampai Imogiri sekitar pukul 20.00 dan langsung menepi di sebuah warung mencari semangkok bakmi.

mi letek
Mi letek penutup perjalanan.


Bersepeda Menggambar Rusa di Strava

$
0
0

gussur.com – Hampir setiap pedalis tahu Strava. Aplikasi pencatat jejak pedalis mengayuh pedal berbasiskan GPS ini begitu populer dan merupakan salah satu “alat” untuk eksis di dunia maya.

Selain mencatat jarak tempuh persepedaan, juga total menanjak yang ditempuh. Jarak tempuh itu kadang berupa “garis memanjang” yang menghubungkan dua titik: start dan finish. Namun ada juga yang berbentuk “putaran” alias loop. Start dan finish di satu titik.

Namun, di tangan dan kaki Anthony Hoyle yang berbasis di Cheltenham, Inggris, ini, jejak Strava bisa berbentuk sesuatu. Salah satunya, dalam kayuhan sejauh 127 km ini ia “menggambbar” rusa.

Aktivitas menggambar ini bukan yang pertama kali. Pada 2017 ia menggambar manusia salju. Butuh waktu 10 jam untuk mewujudkan karyanya itu.

huge snowman london

Setahun kemudian membuat Santa Claus.

Terbaru ia menggambar rusa, kendaraan Santa Claus. Lokasi kanvasnya meliputi wilayah London, mulai dari Hammersmith, ke utara sampai Edgware sebelum balik ke selatan dan timur melalui Hampstead dan Wood Green.

Butuh sembilan jam mengayuh sepedanya dan sejam untuk istirahat.

“Saya cukup senang dengan hal ini. Ketika sampai titik finish saya tidak tahu apakah sesuai dengan yang saya harapkan. Sampai kemudian ‘syncronize’ ke apps Strava baru ketahuan,” kata Hoyle.

Baginya, gowes 127 km ini termaasuk jauh. “Hari yang panjang di atas sadel,” komentar singkatnya.

Ramai-ramai ‘Menyiksa Diri’ di Atas Sadel Sepeda

$
0
0

Mereka menamakan dirinya “kesatria malam” karena saat menggowes selalu berakhir di malam hari. Aktivitas yang sepertinya menyiksa tubuh ini dilakoni dengan kegembiraan karena berbagai alasan.

Malam sudah turun memeluk perkampungan Desa Jambearum, Pasrujambe, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur. Orang-orang sudah masuk rumah. Ada yang menonton TV, ada yang bercengkerama di teras rumah, beberapa mengaji di masjid atau musala setempat. Namun sekelompok orang justru sedang memburu waktu di atas sadel sepeda mereka. Jelas saja kehadiran mereka menimbulkan tanda tanya penduduk meski tidak ada yang menghentikan dan bertanya mau ke mana mereka.

Para pesepeda itu sedang menuju ke Senduro, sebuah kecamatan persinggahan dalam jalur objek wisata ke Puncak B29, Bromo. Mereka terbagi dalam beberapa rombongan karena kecepatan kayuhnya berbeda-beda. Ade Anwar (41) termasuk rombongan yang belakang, bersama tiga temannya, mengejar waktu yang terbuang karena beberapa hal. “Ada yang mengalami masalah rem. Ada yang mengambil jalur lain tanpa memberi tahu temannya,” kata Ade yang menggagas kegiatan Songo-G, bersepeda gunung menjelajah sembilan gunung di wilayah Malang dan sekitarnya. Event ini diikuti oleh 23 pesepeda, tiga di antaranya dari mancanegara (dua dari Singapura dan satu dari Swis).

Malam itu merupakan hari ketiga kegiatan mereka. Sudah dua hari mereka meninggalkan Malang. Hari pertama menuju Batu, dilanjutkan ke Waduk Karangkates, lalu Senduro. Dari Senduro mereka akan menuju Bromo sebelum akhirnya kembali lagi ke Malang. Event yang disokong oleh Focus Bikes (industri sepeda asal Jerman yang didirikan oleh Mike Kluge, juara dunia cyclocross tiga kali) ini direncanakan menempuh jarak sekitar 400 km dengan total elevasi 13.000 m. Sebagai perbandingan, Puncak Everest sebagai titik tertinggi di muka Bumi ini sekitar 8.850 m. 

Jangan membayangkan bahwa jalur yang mereka lalui aspal datar dan perkampungan. Mereka mencoba mengeksplorasi wilayah yang cocok dengan habitat sepeda yang mereka naiki: sepeda gunung! Jadi, jalurnya tidak biasa. Seperti hari pertama dari Malang ke Batu. Jika mengikuti jalur aspal, maka jaraknya paling sekitar 20-an km. Meski menanjak, ditempuh dengan sepeda gunung hanya butuh waktu sekitar 5 jam.

“Kami mencoba menghindari jalan aspal dan Indomaret,” seloroh Ade. Alhasil, Malang – Batu pun harus ditempuh dengan jalur memutar. Menyisir lereng Gunung Arjuno, Gunung Kembar 1 dan 2, serta Welirang. Jaraknya pun menjadi melar, lebih dari 100 km. Sampai di Batu pun waktu sudah beranjak malam.

Dorong sampai panggul dilakukan.

Nyasar hal biasa

Gowes sampai malam memang menjadi ciri khas Ade dan kawan-kawan. Tak berlebihan jika mereka kemudian menamakan diri K-Night. Ada beberapa interpretasi dari K-Night itu. Jika dibaca langsung bisa menjadi knight alias kesatria. Tapi mereka lebih suka memanjangkan k di situ adalah sebagai kalong. Atau ya kesatria saja. Jadilah kesatria malam atau kalong malam. Malam bagi mereka tak terbatas pada pukul 22.00 atau 23.00. Tak jarang mereka masih mengayuh pedal ketika detak jam menggulirkan penanggalan ke angka yang baru.

“Waktu ke Senduro itu kami tiba jam setengah dua dini hari,” kata Ade. Lamanya waktu tempuh selain karena kontur jalan yang penuh tanjakan juga saling menunggu, terutama ketika malam sudah tiba. Melewati Desa Jambearum tadi mereka harus melintasi beberapa jalan rolling (kontur jalan naik turun).

“Kalau mendekati malam kami biasanya regrouping,” kata Iwan Wahyu Priyawan (42) yang di kalangan teman-temannya dipanggil Om Big karena badannya memang besar. (Di kalangan pesepeda panggilan untuk laki-laki adalah Om dan untuk wanita Tante atau Nte.)

Penyebab gowes sampai malam lainnya adalah nyasar! Dari sinilah kemudian muncul istilah ‘es potong’. Maksudnya mencari jalan pintas agar kembali ke jalur semula. Jalur pintas ini bisa berupa aspal mulus, jalan setapak, jalur berbatu, atau menerabas ilalang. Kalau ‘es potong’ terakhir yang diambil, konsekuensinya ya siap-siap harus menggotong atau mengangkat sepeda.

Kejadian menggotong atau mengangkat sepeda itu terjadi pada hari kedua Batu – Karangkates. Selepas menyusuri jalan beraspal menuju objek wisata Songgoriti, trek kemudian masuk ke perkampungan dengan penunjuk ke Coban Rondo. Nah, ketika asyik merayapi jalan setapak yang sedikit becek itu, tiba-tiba jalan buntu.

Off track nih. Harusnya di sebelah sana,” kata Iwan menunjuk ke atas bukit. O ya, trek yang akan dilintasi sudah disimulasikan ke dalam sebuah file berekstension gpx. File ini lalu di unggah ke alat navigasi masing-masing peserta, yang kebanyakan bermerek Garmin. Nah, kita tinggal mengikuti jalur yang sudah ditandai itu. Atau suruh alat navigasi menunjukkan arah.

Setelah bertanya kepada seorang bapak tua yang sedang mencari rumput buat ternak mereka, diputuskan untuk memotong jalur, menerabas rerumputan. Lamat-lamat ada jalan setapak yang sudah lama tak dilintasi sehingga rerumputan pun “menguburnya”. Sedikit repot tentunya mendorong sepeda menerabas rerumputan. Terkadang harus menaiki tebing kecil. Ada yang akhirnya memanggul sepedanya.

Berteman kabut.

Merasakan penderitaan sang anak

Bapak tadi seakan heran melihat kelakuan para pesepeda itu yang repot-repot mendorong dan memanggul sepedanya. Sama herannya dengan seorang pengendara motor yang saya tanya apa melihat para pesepeda turun? “Iya, tadi ada yang turun, tapi terus belok kiri di situ. Padahal itu jalan buntu. Yang bener ya jalan terus saja ikutin jalur ini, nanti ketemu kampung.” Ketika saya mencoba menyusul, benar saja. Jalanan buntu dan kembali angkat-angkat sepeda.

Sejatinya, apa yang mereka cari? Dengan total elevasi sebegitu banyak, pastilah tanjakan demi tanjakan harus dilewati. Tak jarang harus dengan berzig-zag agar bisa sampai ke puncak tanjakan. Belum lagi didera hujan seperti di hari pertama. “Ya, sudah hobi sih,” kata salah seorang peserta. Yang lain menimpali, “Rasanya puas bisa ‘menyiksa tubuh’ demi suatu tujuan.”

Ade Anwar memiliki jawaban lain. “Saya ingin merasakan penderitaan anak saya,” katanya. Karyawan perusahaan minyak ini lalu bercerita soal anak bungsunya yang menderita tuli berat akibat saraf dengarnya rusak. Agar bisa mendengar, maka harus diimplant saraf dengarnya itu. “Operasinya sampai empat kali dan waktu operasinya masing-masing sepuluh jam.”

Nah, untuk menghilangkan stres memikirkan buah hatinya yang kala itu masih berusia tiga tahun, Ade yang sebelumnya antiolahraga itu mencoba menekuni sepeda. “Saya lalu bersepeda yang menguras tenaga demi merasakan perjuangan anak saya. Itu pun belum seberapa dibandingkan apa yang dirasakan anak saya.”

Bagi Ade, Songo-G bukanlah event pertama “menziarahi perjuangan anaknya” itu. Ada 7G pada tahun 2016 di Jateng, gowes menyusuri tujuh gunung (G. Ungaran, G. Telomoyo, G. Sindoro, G. Sumbing, G. Merapi, G. Merbabu, dan Dieng Plateau). Lalu 4G pada 2015, yang mengambil lokasi di Jawa Barat (G. Galunggung, G. Talagabdas, G. Cikuray, G. Satria). Juga mengelilingi Taman Nasional Gunung Halimun , Gunung Ciremai di Kuningan, Jawa Barat, dll.

Dari semua “penziarahan” itu, gowes dari Bogor ke Tasik menjadi momen yang berkesan baginya. Hari pertama dari Bogor ke Kawah Putih di Ciwidey Jabar ditempuh dalam waktu hampir 27 jam. Hari berikutnya, berdua bersama temannya, mencoba menuju Puncak Papandayan namun tidak sampai karena sudah kemalaman. “Terpaksa menginap di gubuk petani di ketinggian 1.900 mdpl. Ada dua petani bersama kami waktu itu yang baru kami kenal. Was-was juga kalau di-apa-apain sama petani itu,” tutur Ade yang ternyata kekhawatirannya tak beralasan.

‘Menyiksa dengkul’ sampai lebih dari 20 jam kemudian menjadi hal yang biasa bagi Ade dan kawan-kawannya. Bogor – Sawarna misalnya, ditempuh setelah menggowes selama 26 jam. Lalu memutari Gunung Gede Pangrango dalam waktu 22 jam. “Puas saja kalau badan sampai letih begitu,” katanya.

Mengenang dalam frame.

Capek, ya istirahat

Kepuasan yang sama juga dirasakan oleh Iwan. Gowes berjam-jam sampai matahari berganti bulan membuatnya bisa lepas dari beban pekerjaan. “Saya fun-fun saja kok. Atau dibuat fun. Di sisi lain saya mencoba untuk selalu raise my bar,” jawabnya saat ditanya apa yang dicari dari aktivitasnya yang tidak biasa itu.

Bahkan sebelum ikut Songo-G, Iwan yang bersepeda semenjak lututnya cedera karena olahraga basket itu ikut kegiatan Bromo 100K. Ini adalah kegiatan yang diselenggarakan sebuah media di Jawa Timur dengan bersepeda dari Surabaya menuju ke Bromo.

Iwan tidak memaksa dalam setiap kayuhannya. “Kalau sudah di luar kapasitas dan memaksa itu menyiksa tubuh namanya. Kalau sudah capek ya istirahat,” kata Iwan. Seperti di hari pertama saat harus melintasi tanjakan di Cangar, kawasan Taman Hutan Rakyat Soeryo, Malang, malam hari, ia tidak memaksa harus mengayuh pedal untuk sampai puncak tanjakan. Jika sudah tidak kuat ya turun dan menuntun sepedanya.

Ada beberapa alasan mengapa Iwan memilih bersepeda. “Olahraga yang menyehatkan. Bisa dijadikan alat untuk berpiknik, menikmati alam. Serta menjalin pertemanan,” katanya.

Pertemanan itulah yang saya rasakan saat ikut Songo-G membuat aktivitas berjam-jam menggowes tidak terasa melelahkan. Setiap berhenti untuk menunggu teman yang masih ada di belakang, selalu saja ada guyonan atau obrolan yang membuat gelak tawa. Alhasil, setiap gowesan yang dilakoni Iwan selalu berkesan. Meski saat menjalaninya harus merasakan sengatan matahari, kondisi jalan rusak, tanjakan yang seperti tak berkesudahan, atau harus menggotong sepedanya.

Seperti yang dikatakan oleh Cesare Pavese, penulis puisi asal Italia, “we do not remember days, we remember moments”. Ya, momen itu yang akan mengendap di pikiran para “kesatria malam”, termasuk malam-malam melintasi perkampungan di Desa Jambearum, menuju Kecamatan Senduro.

Risiko bersepeda.

Waspadai Overtraining

Berolahraga keras boleh-boleh saja. Namun, dr. Michael Triangto, Sp.KO mewanti-wanti, jangan sampai kita overtraining. Ketika produktivitas kerja menurun, merasa cepat lelah, memiliki masalah kesehatan, lebih cepat mengantuk, lebih cepat capek, sakit kepala, konsentrasi menurun, penurunan respon denyut jantung, hingga warna urine semakin keruh, kita mesti waspada. Pasalnya, tidak hanya membuat badan sakit, latihan berlebih juga rentan melahirkan cedera.

Olahraga berlebihan memang memiliki efek buruk pada sistem kekebalan tubuh. Penelitian menunjukkan, kerusakan sel yang terjadi akibat olahraga berlebih dapat mengubah aktivitas sel pembunuh kuman alami dan meningkatkan aktivitas limfosit darah perifer.

Jika hal itu diteruskan, tak hanya mengundang cedera, tubuh kita akan rentan terserang infeksi saluran pernapasan, seperti pilek, flu, dan amandel. Pada keadaan seperti ini kita perlu istirahat untuk memulihkan kebugaran tubuh.

Jika intensitas latihan berbanding waktu dibuat grafik, kurva yang muncul mirip sebuah lonceng. Ketika sudah mencapai puncak, kurvanya akan menurun ketika intensitas latihannya tidak dijaga. “Jika kurva mulai menurun, harus dilakukan upaya jangan sampai meluncur terus ke bawah. Paling tidak dibuat stabil atau naik sedikit-demi sedikit untuk kemudian kembali naik lagi,” jelas Michael.

Menghindari dampak buruk olahraga berlebihan, kita mesti membuat program latihan yang seimbang dan masa istirahat yang cukup. Selain itu, kita juga wajib meninggalkan kebiasaan meningkatkan intensitas olahraga saat merasa enak ketika berlatih. Ingat, meningkatkan intensitas latihan ada tata caranya. Prinsip dasarnya, tidak boleh menaikkan porsi latihan lebih dari 10% setiap minggunya. Sebaiknya, selingi juga hari-hari/minggu-minggu latihan berat dengan latihan ringan.

Semerbak Bunga Kopi di Mandailing

$
0
0

gussur.com – Sore itu, dalam gerimis hujan yang membuat badan terkadang menggigilkan badan kurus ini, aku sedikit merinding. Bau harum menyengat masuk dalam saluran napasku. Aneh, baru kali ini aku menghirup bau seharum ini.

Wanginya, entah mengapa berkonotasi dengan magis. Ya, sore itu aku memasuki sebuah perkampungan entah apa namanya. Baru kali ini aku lewat. Perkampungan sepi. Bisa jadi karena hujan dan waktu mulai melipir ke lingsir bocah.

Aku sedikit menyesal mengapa tadi ikut memancal sepeda. Awalnya kami, rombongan sepeda Jelajah Kompas Sabang – Padang berhenti makan siang sembari pesta durian. Kami usai melewati kelak-kelok Bukit Barisan. Tujuan kami adalah Samosir.

Saya sempat berhenti ketika berpapasan dengan seorang penduduk. Barulah tahu saya, wangi yang menghipnotis itu berasal dari bunga kopi. Daerah yang saya lewati ternyata menjadi bagian mata rantai kopi di Indonesia. Ya, kopi mandailing!

Menyadur dari Sasame Coffee, sesuai namanya, kopi mandailing berasal dari Sumatra Utara, tepatnya di Kabupaten Mandailing Natal. Nama Mandailing diambil sekaligus sebagai penanda nama suku yang ada di Sumatra Utara, yaitu Suku Mandahiling. Perkebunan kopinya terletak di sebagian pegunungan Bukit Barisan.

Mandailing Natal merupakan daerah penghasil kopi Indonesia yang sudah berjalan sejak tahun 1800-an. Berdasarkan sejarah, perkebunan kopi mandailing bermula dari Sistem Tanam Paksa yang dilancarkan oleh pemerintah Hindia Belanda.

Karena berasal dari jenis arabika, karakter kopi mandailing tentu memiliki rasa asam dan aroma yang khas. Namun, jika dibanding dengan jenis kopi arabika sumatra lainnya, tingkat keasaman atau acidity kopi mandailing cenderung paling rendah.

Selain itu, aftertaste yang manis juga merupakan salah satu karakter yang khas. Aftertaste manis ini seolah menjadi penawar lidah setelah menyesap body yang sedikit tebal. Perpaduan rasa manis serta asam yang tidak terlalu tinggi ini menjadi favorit orang-orang yang suka ngopi tapi punya lambung yang sensitif.

Kelebihan kopi mandailing yang lain adalah pada aroma floralnya yang wangi. Semerbak wangi ini kemudian membuatnya sering digunakan beberapa roastery atau coffee shop untuk membuat house blend.

Aroma bunga kopi tadi menjadi penyemangat gowesan menanjak menuju Tele. Sayang, hujan yang awet dan dingin yang menusuk jersey membuat saya menyerah sebelum tujuan. Sebuah mobil bak terbuka menjadi penyelamat menuju Tele.

Suatu saat akan saya teruskan rute yang awalnya beraroma mistis ini.

Gunung Laya Loop, Cariu: Menyisir Bantarkuning yang Viral

$
0
0

gussur.com – Yang penting sepedaannya. Bukan sepedanya. Mantra ini begitu kuat melekat sehingga sering aku bersepeda tanpa peduli dengan sepeda apa yang sedang aku kayuh.

Tapi risiko tanggung sendiri. Beruntung punya teman-teman yang bisa mengerti. Sabar menunggu. Tak main tinggal begitu saja.

Begitulah … kali ini perjalananku menuju ke Cariu. Tepatnya Gunung Laya. Menuju gunung ini kita akan melewati Bantarkuning yang sedang jadi sorotan di kalangan kaum pemgayuh pedal karena pesona persawahan yang membius. Lebih dramatis jika diambil menggunakan drone dan tanaman pagi sedang menguning.

Awalnya aku tidak berencan ke sini. Lama tak berolahraga di luar ruang, aku berniat ngetrail di Cisadon. Tapi teman yang mau menemani malah ngetrail di G. Guntur Garut. Wah bisa dua hari. Gak bisa aku.

Sementara ngetrail sendirian tak semenarik sepedaan sendirian. Rencana pun berubah. Jadilah aku mencoba menapaktilasi Cariu – Cipanas – Puncak Loop.

Tahu-tahu Om Jwk ngajak ke G Laya Cariu. Ada Bli NWis juga. Pikirku mereka akan memakai seli. Dua Knight ini memang suka menyiksa seli ke medan antah berantah. Jadi, aku pun berubah rencana meski memakai sepeda turing. Besi lagi.

Kami bertemu di Warung Padasuka. Tak jauh dari Alun-alun Cariu. Sempat lihat di GMaps, alun-alun ini terletak di pinggir jalan. Di sisi kiri kalau kita mengarah ke tanjakan Cariu. Makanya aku kayuh terus sambil memperhatikan kiri ketika memasuki wilayah Cariu.

Tak tahunya, selagi asyik mengayuh, ada yang berteriak-teriak. Sepertinya memanggil aku. Sayang, namaku bertambah dengan embel-embel Budi. Budeg dikit. Eh nggak ding, sudah taraf Buba kali ya. Budeg banyak. Makanya aku masih ragu-ragu sampai ada pemotor yang menyusul aku bilang ada yang memanggil di depan warung. Untung bersepeda, jadi belum jauh-jauh amat. Aku meminggir dan berhenti. Menoleh ke belakang dan melihat Om Jwk melambaikan tangannya.

Untuk urusan mata masih di atas rata-rata aku. Jadi langsung tahu Om Jwk. Aku pun putar balik.

Di warung makan Padasuka sudah ada Bli NWis. Nama lengkapnya Nyoman J. Wistara. Doktor lulusan Universitas Wisconsin AS ini adalah dosen di IPB. Orangnya semanak kalau tetangga di kampung bilang. Logat Balinya masih kental.

Karena Om Jwk dan Bli NWis dah selesai makan, maka meski aku belum sarapan hanya pesen teh manis saja. Kesalahan fatal ini nantinya.

***

Tak lama setelah teh manis habis, kami segera mengayuh pedal. Sempat bertemu dengan beberapa penggowes, akhirnya aku baru tahu lokasi Alun-alun Cariu. Ternyata di belakang warung makan Padasuka. Tidak di pinggir jalan utama.

Menuju Gunung Laya kami menyisir sisi Alun-alun dan berbelok menuju arah Selatan, searah dengan jalan utama. Masih aspal, begitu juga ketika belok kiri tak jauh dari Pasar Cariu. Jalan masih beraspal. Aku merasa nyaman saja dengan Federal Oranye.

Sempat melewati jalan rusak dan beton sebelum ketemu jalan aspal lagi. Tapi tersuguhkan dengan pemandangan sawah yang habis dipanen dan bukit-bukit runcing atau bulat pipa di kejauhan sana. Pengantar menuju Bantarkuning.

Ketika akhirnya sampai Bantarkuning, bagi saya biasa saja. Mengingatkan daerah di kampung. Ada banyak spot seperti itu. Salah satunya Desa Karangtengah. Sebuah jalan membelah persawahan dengan latar belakang perbukitan. Hanya saja yang khas di sini adalah bukit atau gunungnya “unik”.

Tujuan kami Gunung Laya. Bukan Bantarkuning. Makanya kami menyusur semakin dalam. Geliat gowes terlihat di seputaran ini. Anak-anak terlihat ceria dengan sepeda mereka. Jalan tak rata dan cuaca panas tak mereka hiraukan. Ingin berhenti dan mengobrol sama mereka. Tapi aku dah tercecer jauh. Jadi mesti mengejar biar tak jadi “barang tungguan”.

Menuju Gunung Laya menjadi perjuangan tersendiri. Menggotong sepeda karena ternyata rutenya harus melewati kali atau persawahan. Apakah salah jalur? Bisa jadi. Akurasi alat GPS komersial berbeda-beda. Bisa sampai 10 m. Selain itu jalan setapak bisa jadi “hilang” karena lama tidak ditapaki.

Belum sampai 10 km sudah harus menggotong-gotong sepeda. Juga memanggulnya. Steel is real, gitu guyonan pengguna sepeda lawas. Ya,memang begitu. Tapi bikin kesel karena beratnya itu. Bayangkan saja foto-foto ini.

Setelah menggotong-gotong sepeda menerabas kali basah dan kering, sampailah di pinggir hutan. Petualangan menyusuri Gunung Laya pun dimulai.

Beberapa kayuhan baru terasa salah pakai sepeda. Sudah dropbar, remnya cantilever lagi. Rem ini yang nanti bikin repot ketika separuh perjalanan terlampaui. Yakni ketika puncak rute terlewati dan tinggal menurun saja. Masalahnya, kepakemannya sudah berkurang dan banyak rute menyusuri punggungan gunung sehingga risiko jatuh ke jurang sangat besar.

Lantas saya ingat waktu jatuh di trek Puncak. Gegara sudah lama gak pakai sepatu cleat, pas jalan setapak menurun cukup mulus tiba-tiba ada batu menutupi jalan setapak. Entah kenapa kok malah terantuk batu. Hilang keseimbangan dan terjungkal ke sisi kiri yang ternyata jurang.

###

Rute Gunung Laya termasuk lengkap. Menihilkan kesan Cariu yang panas. Melintasi persawahan, menyeberang sungai, menyisir punggung gunung, menerobos kebun kopi, dan berendam di curug.

Satu hal yang hampir melekat dalam setiap persepedaanku: nyasar. Kali ini lumayan ngeselin nyasarnya. Kami regrouping sekitar 3 km sebelumelevasi tertinggi di rute. Sudah hampir makan siang dan ternyata tidak ada warung.

Jadilah Om Jwk membuka bekalnya. Persediaan airku juga menipis. Menuju titik puncak ternyata tanjakannya ngehe semua. Terpaksa jurus dorong dikeluarkan. Kami berpencar dan aku menjadi daging dalam sebuah kesatuan sandwich. Om Jwk di depan dan Bli NWis di belakang.

Sempat mampir di sebuah rumah tunggu kebun yang kebetulan ada seorang kakek-kakek, saya berhenti dan minta air minum. Ngobrol sebentar sembari menunggu Bli NWis. Tapi kok lama gak nongol aku pun lanjut lagi. Beberapa ratus meter lagi sampai di titik tertinggi.

Ketika mulai tren turun, aku bertemu dengan percabangan jalan. Lurus menurun dan belok kanan menanjak. Tanpa membuka ponsel buat lihat rute di aps GPX Viewer (hanya aku di rombongan ini yang gak membekali dengan GPX navigasi), aku langsung ambil jalan lurus. Lantas mengikuti jalan setapak yang baru diperlebar itu.

Menjadi curiga ketika setelah melintas kali kecil kok jalan menanjak berkelak-kelok. Ada gubuk penunggu kebon di sebuah tikungan. Tapi kok enggak ada orang buat ditanya-tanya. Terpaksa lihat GPX Viewer dan memang di luar jalur. Apa bener yang jalan nanjak tadi?

Mencoba balik, sambil nuntun sepeda tentunya — arghhhh kenapa gak pakai MTB tadi ya? — aku mencoba menjajal jalan menanjak di percabangan tadi. Aku pikir di balik tanjakan ada turunan.

E alah, ternyata menanjaknya gak sopan. Untung ketemu gubug penunggu kebun. Tapi kosong juga. Siang tengah hari memang pada di kebun. Aku pun menyandarkan sepeda, meminum air tersisa dan mencari tempat duduk. Membuka GPX Viewer, dan masih di luar jalur. Mencoba membuka kompas untuk melihat arah. Ternyata perlu dikalibrasi dan enggak bisa-bisa kalibrasinya.

Ya sudah. Aku pun diam sejenak. Mengatur napas. Entah berapa lama aku merenung tiba-tiba dikejutkan suara bapak-bapak sepuh. Ditanya tujuan ke mana. Setelah aku jelaskan dia bilang aku salah jalan. lalu diberi tahu jalan yang benar.

“Aku tadi dari situ Pak. Rencana mau muter. Kalau ini terus ke mana?”

“Jalan buntu. Kalau mau muter ya ini turun belok kanan dan nantii ada simpangan belok kiri. Terus menyeberang kali ketemu sawah-sawah.”

“Aku barusan lewat situ juga tadi Pak. Gak lihat ada simpangan.”

Bapak itu kemudian menjelaskan lebih rinci. Aku mencernanya. Mengingatnya. Hanya itu yang bisa kulakukan saat itu.

Setelah bilang terima kasih, aku segera mengayuh pedal. Selalu ada petolongan saat kita pasrah.

Benar saja, ternyata ada simpangan dengan jalan setapak yang lebih kecil. Aku tadi terbius dengan jalan utama yang kebetulan nyaman dikayuh. Begitu menyeberangi kali, sedikit waswas sebab jalan setapak sedikit hilang. Tajuk-tajuk pohon yang membuat kanopi menutupi jalur setapak begitu rapatnya. Aku terus menerobos yang bisa aku terobos.

Ketemu dengan kebun kopi lagi sedikit membahagiakan hati. Terlebih di tengah jalan setapak ketemu Om Jwk dan Bli NWis yang sedang istirahat. Agak geer dikiranya menunggu aku, ternyata OM Jwk balik arah menyusuri rute karena ponselnya jatuh!

Kami kemudian beriringan menuju Curug Cilalay. Sudah jauh-jauh ke Cariu, kenapa gak ke Curug? Sama-sama berawalan “C” kan? Nah lo… apa hubungannya?

Berendam di Curuh Cilalay setidaknya mengendurkan otot-otot yang tegang mendorong sepeda saat menanjak dan menuntunnya saat turunan tajam. Duh … sayang banget kan aku?

Sehabis main di curug rute sebenarnya nyaman buat digowes. Asal pakai MTB hehe… Makanya aku semakin tercecer di belakang. Beruntung rute tak semembingungkan sebelumnya. Sebenarnya pingin membetulkan rem. Tapi malas bongkar-bongkar tools. Jadilah menikmati pemandangan sambil menuntun sepeda. Sayangnya, kiri kanan bukan pohon cemara.

Menyentuh aspal kembali Om Jwk dan Bli Nwis sudah menunggu di pinggir jalan. Aku kok malah kepikiran mengencangkan kabel rem. Tapi perjalanan masih jauh soalnya.

Kami makan sore dulu di Warung Padasuka kembali. Bli NWis dijemput “helikopter”, sementara aku dan Om Jwk melanjutkan dengan gowes. Menyusuri jalur alternatif Jakarta-Bandunh di kala dulu. Om Jwk ke Cibinong sementara aku ke Condet.

Ada kejadian lucu saat sebelum sampai Mekarsari. Tiba-tiba aku disapa rombongan goweser dari kolbak.

“Semangat Om…,” sorak mereka.

Setelah aku amati ternyata mereka rombongan yang pagi sebelumnya menyalip aku juga saat menuju Alun-alun Cariu. Kami kembali bertemu di hutan pinus arah Gunung Laya.

Sampai rumah sekitar pukul 20.00. Cukup melelahkan setelah beberapa purnama lewat tidak”menyiksa si Federal”. Esoknya nyoba nimbang badan dan angka menunjukkan turun 2 kg. Plus kuku jari “mati” akibat menuntun sepeda terlalu sering.

(foto2: Om Jwk)

Gunung Batu Jonggol Ride, Punahnya Triple Crankset?

$
0
0

gussur.com – Jika diperhatikan, dengan munculnya casette 12 sp, banyak MTB rakitan sekarang mulai meninggalkan crank bertumpuk tiga. Sebagai gantinya dua atau malahan satu. Simpel dan bisa memenuhi segala medan.

Aku merasakan betapa ribetnya menggunakan MTB jadul ketika waktu ngoprek mepet. Ribet karena gak piawai setting sepeda sih hehe… Nyari alasan saja.

Begini ceritanya. Niat main MTB tiba-tiba menyelinap di pikiran. Meski tak lagi ada sepeda gunung di rumah, tapi ada sepeda inventaris pedalku.com yang bisa dimanfaatkan. Mengontak Fami, dapatlah sepeda MTB. Ambil Jumat tapi baru dicek Sabtu malam.

Ternyata ada masalah di shifting. Setel FD dan RD lumayan membaik. Tapi sudah jam 12 malam. Padahal besok subuh dah harus bangun.

Bertemu dengan teman-teman di depan Perumahan Mahogany Cibubur. Ada Om Yopi dan Om Alloy yang sedang menunggu Om Debe yang tinggal di Mahogany. Melihat penampilan mereka, aku langsung keder. Anggota aktif KNight, weekend warrior goweser, dan sepeda MTB kekinian.

Apa tuh MTB kekinian?

Cassette sudah mengadopsi 12 speed dan crankset single atau double menjadi ciri khas MTB kekinian. Daftar bisa ditambah dengan diameter roda 27,5″ atau 29″ dan bahan frame karbon!

Menjejerkan Thrill yang aku naiki dengan MTB kekinian sepintas tidak jauh berbeda. Tapi kalau ditelisik ya beda jauh. Bannya saja yang kekinian, 27.5″.

Cassette kekinian yang siap buat main tanjakan.

Pukul 04.00 bangun. Mempersiapkan peralatan gowes, mandi, sejam kemudian sudah menembus udara Condet menuju Cibubur. Shifting sepeda masih aman. Pergeserannya mulus tanpa hentakan tenaga.

Perjalanan Cibubur – Citra Indah Jonggol menjadi pemanasan dengkul yang benar-benar memacu seluruh tenaga. Absen begitu lama dari menggowes dan memang tunggangan juga kalah segala-galanya membuat aku menghemat tenaga. Kecepatan 30 kpj hanya bisa memandang ketiganya bak bintang di langit.

Ini adalah petualangan pertama bersepeda ke Gunung Batu. Persinggungan terakhir sekitar 3 tahun silam saat gowes Jambore KGC ke Cipanas. Aku lewat Sentul-Ciherang-Cipamingkis-Cipanas. Nah, di Cipamingkis ini aku melihat Gunung Batu dari kejauhan.

Dari Citra Indah Jonggol yang sudah banyak berubah sejak sekitar 1999 aku mengantar adikku ngajar di sini, rute diawali. Menuju ke belakang perumahan yang sudahpenuh dengan cluster perumahan, kami kemudian keluar perumahan melewati pintu butulan. Langsung menanjak dan langsung ilfil.

Shifting RD dan FD gak mulus. Alhasil tanjakan pemanasan itu kulalui dengan TTB.

Jalur Gunung Batu didominasi dengan makadam. Bisa divariasikan dengan jalan makadam, jalan tanah, serta aspal “jaga jarak” alias berlobang-lobang. Kontur jalan tanjakan pendek-pendek. Maklum banyak gunung lancip di sini.

Sebelum ke Gunung Batu mampir dulu ke Gunung Batutapak. Namanya asal saja kayaknya nih. Gara- gara melewati prasasti yang ada tapak sebagai pengenal diri.

(Di seputaran Bogor banyak kita jumpai prasasti dengan tapak manusia sebagai tanda tangan.)

Bisa dibayangkan dengan kondisi shifting yang amburadul harus mengejar MTB kekinian. Bahkan di sebuah tanjakan panjang makadam kabel shifter RD sempat loss. Pantas saja aku tekan-tekan tombol shifter kok kayuhan tak segera meringan. Malah terasa berat.

Setelah aku perbaiki malah gak bisa menjangkau cassette paling besar. Mentok di nomer tiga dari kombinasi 8 speed milik Thrill. Alhasil aku harus memaksimalkan chainring dengan menggunakan ring paling kecil. Otomatis harus berhenti dulu. Tekan shifter kiri, dorong pulley RD ke.depan, dan posisikan rantai ke ring kecil.

Benar seperti yang dikatakan Om Debe. “Praktis. Gak pusing banyak gir,” ketika ditanya soal plus minus menggunakan single chainring. Kelebihan lain adalah bersihnya setang terutama sisi kiri dan mulusnya kaki bawah seat tube.

Hanya saja, harus mempertimbangkan mau masang “gigi” berapa di chainring. Buat pemula, Om Debe menyarankan menggunakan 32T. Enteng? Ya latihan cadence sekalian kan?

Dari segi biaya juga bisa menghemat. Harga segelondong RD dan shifternya lumayan lo. Terlebih di zaman pandemi yang harga-harga komponen sepeda seperti nggak masuk akal bagi kaum proletar. Berat sepeda pun berkurang.

Bagaimana menurut teman-teman? Apakah single chainring akan menjadi tren MTB kekinian? (Dan aku pun harus mengubah atau jadi makhluk asing di kerumunan.)

(Foto-foto: Gsr, Om Jo Susilo, Om Debe)

Remeh Temeh JSJP: Om Randy

$
0
0

Image

gussur.com – (Pas cek draft tulisan, terselip tulisan ini. Sudah 7 tahun ternyata. Entah mengapa kok belum terpublish. Padahal sudah jadi artikelnya. Makanya lamgsung aku publish. Bagaimana kabarmu Rendy?)

~~~~~~~~~~~~

Sosok ini selalu mewarnai Jelajah Sepeda (JS) yang diadakan Kompas. Saya mengenalnya saat ikut Jelajah Sepeda Kompas Surabaya – Jakarta. Mengenal lebih dekat terutama, sebab sebelumnya saya sudah berkenalan dengan sosok nyentrik ini.

Nama panggilannya Rendy. Duh, kok jadi lupa nama aslinya. Dulu pernah lihat KTP-nya. Tapi ya apalah arti sebuah nama. Diberi nama Kendy atau Andy, sosok ini gak peduli. Dan gak marah! Bahkan selama ikut JS ia diberi panggilan macam-macam. Mulai dari Bob Marley karena rambutnya yang panjang cenderung gimbal, lalu Joko Bodo, dan Simbad. Eh Limbad ya?

Satu yang membuat saya kagum dengan sosok ini adalah bagaimana memandang dan menjalani kehidupan. Mengalir begitu saja. Ah, lebih tepat melaju seiring roda sepeda (onthel).

Onthel? Ya, Rendy identik dengan onthel meski kalau mengikuti JS tentu tidak menggunakan onthel. Di kalangan onthelis se-Indonesia bisa jadi ia dikenal sebagai sesepuh.

Banyak cerita lucu soal Rendy berkaitan dengan JS. Pada JS pertama dengan rute Anyer – Panarukan (JSAP) saya mendengar begitu banyak hal lucu soal Rendy. Mulai dari soal memindah gigi sepeda sampai celana khusus sepeda.

Sebelum ikut JS pertama ia hanya mengenal sepeda onthel satu gigi. Nah, ketika ikut JSAP yang menggunakan sepeda buatan Polygon dengan multigigi, ia baru ngeh saat etape kedua (Jakarta – Bandung). Etape pertama Anyer – Jakarta ia tidak mengganti giginya. Saat menanjak di Puncak, ia ngos-ngosan dan mengeluarkan sekuat tenaganya. Tenaganya memang besar. Kempolnya gempal. Tapi, ya sebesar-besarnya tenaga kalau komposisi gir tidak tepat tentu susah menaklukan tanjakan Puncak. Nah, oleh road captain Rendy diajari cara memindah gigi yang bisa membuat gowesan enteng. Ia pun girang sumringah.

Soal celana khusus sepeda? Maaf, gak diceritakan di sini hehe …

Baru pada JS Surabaya – Jakarta saya mengenal sosoknya dari dekat. Orangnya ramah (banget). Mudah diajak bercanda. Dan itu tadi, hidup baginya seperti menggowes sepeda onthelnya. Selama tenaga masih ada, napas masih kuat, roda akan berputar. Karena onthel hanya mengenal satu gigi, maka menggowes pun sederhana. Tekan pedal. Sudah. Tak perlu ribet dengan memindah gigi. Jalan nanjak tentu butuh tenaga ekstra. Tak kuat? Ya tuntun. Begitu juga dengan hidup. Tak perlu njlimet.

Rendy membuktikan soal itu. Saat bersepeda ke Papua (Irian) dan kehabisan ongkos, ia pun bekerja serabutan. Mulai dari berjualan asesoris buat ibu-ibu sampai kerajinan tangan, seperti name tag para pegawai Kabupaten. Ia nongkrong di depan kantor kabupaten dan menawarkan dagangannya saat mereka istirahat atau pulang kerja. Tak ada target harus berapa hari ia di sana.

Meski dari raut wajahnya tidak mbejaji, namun kharisma Rendy di kalangan onthelis tak perlu diragukan. Saat tim JSSJ menginap di Pekalongan, saya diajak muter-muter kota batik itu bersama teman onthelisnya. Jangan sangka mereka setua Rendy. Masih anak SMA! Dan Rendy tinggal bilang mau ke mana, maka anak-anak muda ini dengan senang hati mengantarkannya.

Sepeda sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan Rendy. Jambore onthel ke mana pun akan disambanginya. Dengan bersepeda tentunya. Jika suatu saat Anda berjumpa dengan sosok ini, cegatlah dan ajak berhenti untuk berkenalan. Pasti akan dapat banyak cerita.

Halaman Belakang Sentul …. Surga Pemburu Elevation Gain

$
0
0

gussur.com – Sentul letaknya tak terlalu jauh dari Jakarta. Begitu juga dari Bogor. Musim pandemi sekarang ini kawasan Sentul ramai oleh pesepeda. Di kawasan Sentul City kita bisa menemukan banyak “base camp” para pesepeda, untuk kemudian mereka menjelajah wilayah belakang Sentul.

Ya, di belakang Sentul terhampar perbukitan dengan curug-curug yang memikat. Tanjakan-tanjakan curam namun pendek tentu tersedia banyak. Inilah yang diburu tak hanya pesepeda tapi juga pelari.

Dulu aku mengenal halaman belakang Sentul ketika menyusuri jalur offroad ke Pondok Pemburu dengan MTB hardtail S-Work (kw). Melewati depan rumah Prabowo dari jalan lama, kemudian menyusuri jalan tanah yang kadang tertutup oleh longsoran tebing. Baliknya melewati jalan datang atau lewat turunan setapak menantang yang sekarang diaspal mulus di samping helipad. (Ini menjadi jalan wajib sekarang ini karena jalan lama ditutup.)

Pengembaraan menjauh sampai tembus ke Pondok Pemburu. Tak rutin, sehingga jalur kadang menghilang tertutup ilalang. Jalur ini memang jarang dilalui orang.

Namun karena jarang dilalui itu, pemandamgannya sungguh menakjubkan. Bukit-bukit dengan tutupan pohon rapat menghampar di depan jalur kami.

Setiap menyusuri jalur ini aku selalu merasa tempat ini tidak di Sentul yang begitu dekat dari Jakarta.

Berbilang tahun kemudian aku menyusuri jalur ini dengan berlari. Barulah kenal dengan beberapa kampung di sini. Paniisan, Wangon, Rawagede, Paseban. Awalnya lari dari Km0 ke Cisadon. Kemudian dari Gn. Pancar ke Pondok Pemburu.

Waktu itu relatif masih sepi jalur-jalur pelarian di sini. Bahkan ketika diadakan lomba lari trail, banyak peserta yang kesasar. Waktu itu alih lahan sudah mulai terlihat. Utamanya ke kopi.

Sempat off cukup lama tak menyambangi halaman belakang Sentul ini, aku kemudian menapaktilasi lavi rute-rute di sini. Berawal dari ajakan untuk ngetrail di “gunung kembar” Sindoro-Sumbing.

Trekking dari Km0 ke Cisadon sudah membuatku terkaget-kaget. Betapa jalur yang dulu rumpil dan kadang tertimbun longsoran kini sudah jembar. Batu-batu lepas pun sudah dipadatkan dengan backhoe. Yang bikin surprise, banyak warung di sepanjang rute ke Pondok Pemburu.

Oya, Pondok Pemburu hanya tinggal nama. Pondok yang jadi sumber kebahagiaan karena bisa menyantap mi instan dan teh manis itu sudah rata dengan rumput.

Jalan menuju Cisadon tak lagi jalan setapak. Kendaraan roda empat jenis pickup sudah bisa melewatinya. Nyaman. Tapi jadi kurang nyaman bagi pelari atau pesepeda. Terlebih iring-iringan motor kros yang menyalip tanpa permisi bikin senewen.

Toh ada hikmah yang bisa dipetik dadi perubahan itu. Pelari yang suka mencari celeng Elevation Gain (EG) jadi kreatif. Kontur berbukit-bukit halaman belakamg Sentul ini memudahkan pelari mencapai EG besar dalam jarak yamg relatif pendek. Misalnya, Paniisan -Wangon yang berjarak sekitar 2km saja sudah mampu menggaet EG sebesar 400. Beberapa jalur masih aman dari serbuan ban pacul motor kros.

Menuju Makam Keramat Gunung Pancar bisa menjadi pilihan untuk memperoleh EG yang lumayan. Dari kawasan air panas Gunung Pancar jalan menuju ke sini sudah dibeton. Berundak-undak, dengan jumlah undakan sebanyak 769. Ada dua makam. Hanya saja ke makam satunya jalan buntu, namun dipercaya di sinilah letak puncak Gunung Pancar.

Nah, kalau mau mencari celeng EG, silakan jelajahi halaman belakang Sentul. Dijamin kelar sehari!


A Toy Called Troy

$
0
0

gussur.com – Duluuuuu … sempat naksir Fnhon Gust. Saat itu lagi pingin jajal ban 16. Kenapa Gust?

Sepintas mirip namaku, Gus(su)r. Kedua aku juga sepeda yang batangannya membulat. Kesannya klasik menurutku. Makanya naksir Boardwalk-nya Dahon juga. Ketiga, struktur rangkanya sederhana. Sekilas segaris lurus dari depan ke belakang.

Tapi senep juga ketika taksiran tak bersambut. Patah hati jadinya. Akhirnya jadi seperti rindu tapi benci. Tetap naksir lo… jadinya rindu. Bukan benci tapi rindu, yang seakan-akan dah ingin melupakan tapi gak rela juga hatinya.

Okelah … Gust hanyalah seonggok ingatan dalam relung benak. Tak bisa dibuang karena dibentuk dengan ikatan emosi yang sangat dalam.

Sampai kemudian muncullah “kw-kw”-nya. Sayangnya, kok pas harga sepeda seperti gak kenal sopan santun pada dompetku. Sempat nitip DP, eh bukan ding – bayar full di depan, demi bisa meminang kw-nya Gust. Namanya Troy, dari Element.

Berhari-hari tidak ada kabar bagaimana Troy harga khusus bisa aku pinang, jenuh juga menunggu. Iseng-iseng mengontak “pejabat” komunitas Bike To Work Indonesia yang memang bekerja sama dengan Element membuat seli 16 dengan nama Troy.

Dasar lagi rejeki, ternyata tak seberapa lama daat kabar masih adaTroy B2W harga khusus. Langsung aku transfer dan menunggu dalam hepi. Sekitar seminggu seli itu pun masuk ke rumahku.

Inilah upacara membuka kardus itu.

Uji kendara pertama langsung terkesan. Terkesan bingung hehe.. Soalnya beli sepeda lipat baru terakhir kali ya 11 tahun silam. Saat meminang Urbano generasi awal. Setelah itu membeli Dahon Speed bekas.

Kesan pertama, ternyata ban 16 tidak semungil yang saya bayangkan. Pengendalian masih enak. Buat gowes off saddle juga enggak ogal-agil amat. Kombinasi 53T depan dan 11-25T 10 sp di belakang cukup nyaman. Meski kalau sudah on fire terasa ngiciknya.

Nah, masalah baru muncul ketika mencoba buat menanjak curam. Rantai liar tak bisa dikendalikan. Entah RD yang gak kuat nahan kebandelan rantai, ataukah sprocket yang gak sabar menimang rantai. Entahlah.

Mencoba ngoprek sendiri, semampu yang saya bisa, ternyata tak menyelesaikan seluruh persoalan. Anteng di atas, eh loncat-loncat di bawah. Disetel agar diam di bawah, eh loncatnya pindah ke tengah. Sensah, oh Sensah. Bikin hati marah.

Mencari dukun sepeda handal, tak selesai juga loncat-loncatnya rantai. Akhirnya disetel loncatnya di bawah saja. Soalnya butuh Troy buat main tanjakan. Biar saja gak kenceng dikayuh karena cog 11 gak kepakai.

Uji coba pertama ke seputaran Sentul ternyata belum memuaskan. Untuk tanjakan nyengkrek ambyar nuga setelan. Gak di bawah, di atas pun loncat-loncat kayak tupai di pagi hari.

Akhirnya dirombaklah sistem penggerak roda. RD Sensah ganti Claris, cassete Shimano 10 sp turun jadi 9 sp (karena adanya itu) yang mau dimadu dengan shifter 8 sp karena adanya juga itu.

Persoalan shifting pun beres. Main di segala cog aman. Eh gak ding. Ada sedikit loncat di cog kecil. Awalnya mau mematikan cog kecil, tapi kok kayaknya ngicik banget dengan 13t. Akhirnya dicoba-coba supaya cog terbesar dan terkecil kepakai. Nah, loncatnya dari 7 ke 9.

Ketika dicoba untuk nanjak ekstrem tak bermasalah, aku pun ingin menguji ketangguhan Troy ini.

Bandung All Terrain Challenge 2020 pada 26 September menjadi ajang uji perdana Troy. Meski dengan perasaan was-was.

So… tunggu cerita selanjutnya.

“Menyiksa” Troy di Bandung All Terrain Challenge 200K

$
0
0

gussur.com – Beberapa kali menyiksa seli untuk merasakan medan yang bukan peruntukkannya. Namun untuk kali ini, aku sepertinya terlalu kejam. Element Troy yang roda 16 itu aku bejek menyusuri pegunungan Bandung Selatan, dari Pengalengan ke Ciwidey.

Kontur jalan tak semuanya mulus. Nama eventnya saja Bandung All Terrain Challenge (BATC) 200K. EOnya Audax Randonneurs Indonesia. Jadi unsupported.

Soal kontur, aku sempat japri sama panitia. Apakah pakai sepeda lipat memungkinkan? Tak ada jawaban pasti.

“Mayanlah,” itu jawaban dari panitia saat aku tanya jalan makadamnya.

(Ternyata, 65 persen jalur yang dilalui adalah aspal. Sisanya baru rute offroad gravel. Rutenya dimulai dengan gowes di jalur aspal biasa sejauh 80 km. lalu secara bergantian peserta melewati jalanan gravel, aspal, makadam, tanah, beton hingga kilometer 120. Lalu sisa 80 km lagi adalah aspal hingga finis kembali ke titik start.)

Aku pun menabalkan hati ikut BATC 200K.

Berhubung masih pandemi, maka protokol kesehatan pun diterapkan. Salah satunya jaga jarak. Start pun tidak berbarengan. Ada 30 menit waktu untuk start. Mulai dari pukul 05.00 sampai 05.30.

Sebelum start bareng KNight

Aku star di akhir, 5.30. Lebih sebenarnya, karena menunggu teman bersiap-siap. Start dari BikeSystem di Jalan Dago tak jauh dari SImpang Dago, rute berbelok menuju Cikutra, Cicaheum, Cibiru, mengarah ke Garut, sebelum belok kanan menuju Majalaya.

Nah, di sinilah etape mendaki dimulai. Tipis-tipis namun jauh. Bagi chainring 53 belum terasa. Apalagi masih di jalan aspal. Sampai ke CP1 km 49 di Indomaret Pakutandang (Jl. Raya Pacet). Sampai di sini masih bertemu dengan rombongan depan yang sudah siap-siap melanjutkan audax-nya.

Sampai CP1 masih kompak dengan Om Vidi, Om Iwan Big (keduanya peserta langananan Audax), Udo. Harusnya ada Om Jwk, entah pas start kok menghilang. Ketemu juga dengan Om Endot yang berwajah baru. Berkumis dan berjenggot hehe …

Tanjakan masih berlanjut sampai Curug Cisanti, yang diyakini sebagai hulu Sungai Citarum. Banyak pesepeda menuju ke sini. Banyak pula yang sudah turun.

Selepas Curug Cisanti dan memasuki area perkebunan Malabar, barulah all terrain dimulai. Om Vidi dan Om Iwan pun “tak sabar” menunggu aku dan Udo yang pakai ban kecil.

Di sinilah mulai menguji keandalan ban kecil untuk meliuk-liuk mencari permukaan rata. Rata ya, bukan mulus. Soalnya aspal mulusnya sudah terkelupas. Meninggalkan bebatuan. Dengan menggunakan ban 16 inch, tentu harus bisa mendaratkan laju ban ke daerah yang relatif rata. Beda dengan ban 700 atau 26, apalagi 29. Meski tanpa peredam benturan tak masalah menghajar kontur seperti itu.

Beruntung pernah ikut yoga dan latihan core. Sehingga fleksibitas dan kekuatan otot paha terbentuk. Sangat membantu saat harus meliuk-liuk mencari permukaan rata sambil berdiri (off saddle).

Adrenalin makin meningkat ketika pas turunan landai ketemu dengan jalanan makadam yang dominan coral atau serpihan-serpihan batu kecil. Sensasi tergelincir atau ban depan ngesot membuat jantung terpacu karena menanti moment apakah sampai terpeleset atau aman meluncur. Syukur alhamdulilah sepanjang melintasi kontur seperti itu aman-aman saja.

Menuju CP 2 ada bagian yang tak terlupakan. Yakni ketika melewati turunan makadam berbatu yang tersembunyi di kelokan. Sempat mau turun, tapi memakai cleat dan agak susah dilepas sehingga pasrah saja menjaga agar ban depan bisa melaju tanpa terpeleset.

Selepas turunan makadam itu, praktis kontur offroad. Pergerakan jadi melambat. Sekitar satu kilometer sebelum CP2 sedikit ragu-ragu. Kok jalannya masuk ke kebun? Tapi sebelumnya sudah bertanya ke orang yang aku temui dan memang dia melihat beberapa pesepeda menyusuri jalan itu.

Benar saja, ujung jalan kebun itu jalan beton yang membelah Situ Cileunca. Sebelum masuk situ mata langsung tertonjok pada QR Code. Yah, sampai juga di CP2 Warung Lotek Ibu Tati (Situ Cileunca) km 96. Di sana sudah ngejogrok Om Vidi dan Om Big.

“Lo, mana Udo?” tanya Om Vidi. Aku lantas menoleh. Eh iya Udo di mana ya? Tapi terakhir aku melihat sih dia di belakangku saat aku mau masuk jalur kebun itu. Pasti menyusul.

Nikmatnya telur ceplok di CP2.

SELEPAS CP2, rute menyusuri jalan aspal mulus kembali sebelum masuk rute makadam ke arah Perkebunan Teh Gambung. Melintas di sini hawa adem. Pohon-pohon besar menaungi jalanan. Jalan makadam dan aspal mulus (zaman Majapahit), serta beton di beberapa tanjakan membuat kayuhan tak begitu memaksa dengkul. Di jalur inilah titik elevasi tertinggi tercapai, sebelum akhirnya meluncur di atas jalur beton di tengah hamparan kebun teh.

“Uhhhh … hampir 12 km. Edannn ….” batinku sembari melirik jarak di jam tangan. Membayangkan melintasinya dengan MTB atau gravel tentu nyaman sekali.

Selepas Gambung menuju Soreang lewat peradaban kembali. Sampai Stadion Jalak Harupat rute kembali tercepat belok kanan tentunya. Tembus Kopo, tinggal lurus ke Utara menuju Dago. Namun demi 200 km dan biar gak bosan ngaspal, dilewatkan ke Batujajar menembus Kota Baru Parahyangan (KBP) dari belakang. Sebelum masuk KBP mampir di CP3 Indomaret Cipatik km 145.

Menuju KBP ternyata harus melintasi jembatan ponton yang di kanan kirinya dipenuhi warung-warung makan dan juga keramba-keramba ikan yang bertebaran di Waduk Saguling. Agak nger-ngeri sedap melintasi jembatan ponton ini. Beberapa tempat sudah dilapisi karung goni sehingga mengurangi kelicinannya.

Selepas jembatan ponton, rute lalu masuk ke jalan rusak. Yang agak mengherankan, aku melihat ada museum di tengah perkampungan menuju KBP. Museum Galeri Bahari (Mugaba) namanya. Coba Googling, ternyata yang mendirikan adalah bekas KSAL yang putra daerah sini.

“Mantan Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Laksamana TNI (Purn) Ade Supandi mendirikan Museum Galeri Bahari (Mugaba) di tanah kelahirannya Kampung Banuraja, Desa Pangauban, Kecamatan Batujajar, Kabupaten Bandung Barat.” (ayobandung.com)

Tantangan adrenalin mencuat lagi ketika menyusuri perbukitan gundul di belakang KBP. Selain rolling juga harus bertemu sapa dengan truk-truk yang membawa material. Sepertinya tempat ini akan menjadi perluasan KBP.

Masuk ke kawasan KBP rasanya sudah sejengkal lagi titik finish. Padahal masih ada 30-an km lagi. Tapi jalanan sudah aspal. Masih sore di KBP tapi gelap menyergap ketika masuk kota. Beriringan berdua dengan Udo, akhirnya sampai ke BikeSystem setengah jam sebelum Cut off Time (COT).

Satu hal yang sangat aku sayangkan: tidak bisa berfoto-foto! Padahal pemandangannya ajib. Tapi dari awal ketika memutuskan menggunakan Troy, aku hanya fokus untuk menyelesaikan BATC 200 K ini di bawah COT.

Rute mana lagi yang akan disambangi Troy?

(Foto-foto: Dok Pribadi & IG Audax Randonneurs Indonesia)

Misi selesai!
Start dari Bikesystem di kawasan jalan Dago, Bandung menuju Cicalengka lalu Ciparay lanjut Cisanti. Diteruskan ke Cileunca, Gambung, Soreang, Cihampelas, dan Dermaga Cibogo (Saguling). Masuk Kota Baru Parahyangan lalu ke Cimahi dan Mohammad Toha. Terakhir finis di Bikesystem lagi. Total jarak adalah 200 km dengan total elevasi 2,300 meter.

“Tanjakan pertama di kawasan Ciparay ke Cinsanti itu berat meskipun itu rute aspal. Panjangnya 32 km dengan elevation gain 967 meter. Lalu ada lagi segmen gravel dari perkebunan teh Kertasari hingga Pengalengan yang keluar di Situ Cileunca. Rute Pengalengan ke Pasir Jambu lengkap: ada jalur gravel, beton, makadam juga vegetasi. Melewati hutan pinus, kebun teh, hutan tropis, kebun kopi. Lantas ada turunan yang panjang dengan pemandangan kebun teh.” (Syahroni Akbar Prabowo, salah satu penggagas acara BATC 200K dari DirtxClouds).

“Nah, banyak peserta yang takut melintasi jalan turunan dari Pengalengan ke Peternakan Susu karena meskipun turunan tapi makadam. Batunya juga besar-besar. Kalau peserta pemain road bike pasti tidak terbiasa. Beda dengan pemain MTB pasti sudah terbiasa dengan jalur seperti ini. Setelah lepas dari rute offroad, peserta kembali ke jalan aspal. Tapi jangan gembira dulu. Kira-kira memasuki kilometer 150, mulai Dermaga Cibogo Waduk Saguling rutenya rolling terus dan ada nanjak ‘halus’ menuju Cimahi lantas baru finis di BikeSystem Bandung.” (Bob Aria Bharuna, Audax Randonneur Indonesia).

Anud4x300K, Audax 300K Rasa ANU

$
0
0

gussur.com – “Masih ada aja grup ini …” Pesan di grup WA lawas di 1 Februari 2021itu bikin kaget saja. Kekagetan mereda ketika disambung postingan kedua, dengan judul “Iklan” yang ditebalkan. Apa yang bikin kaget? Postingan terakhir di grup ini tertanggal 24 Juli 2020. Selepas itu pemberitahuan beberapa anggota keluar dari grup alias left.

Di postingan kedua, om Iman Permadi yang di kalangan terdekat dipanggil Sir Iman meworo-woro bakal ada event tahunan Anudax. Audax yang digagas oleh Team ANU. Sementara Team ANU sendiri merupakan bagian komunitas pesepeda jarak jauh dari Rombongan Bekasi, salah satu wilayah komunitas B2W Indonesia yang termasuk solid dan eksis hingga kini.

Postingan itu lantas dibuntuti oleh komentar tentang Anudax sebelumnya dan harapan mereka di Anudax tahun ini. Waktu sudah diputuskan 27 Februari, rute mirip dengan sebelumnya. Anggota grup yang berminat pun mengisi daftar peserta yang akhirnya memanjang dan berpindah ke grup baru, khusus membahas ANUd4x. Angka 4 menandakan gelaran ini sudah yang keempat kali. Dari tiga kegiatan sebelumnya saya ikut dua kali, meski bukan “anggota” Robek. Salah satu cerita ada di sini.

Jika sebelumnya menggunakan sepeda lipat Urbano 20 inchi, kemudian sepeda Federal yang kuubah menjadi sepeda gravel, Anudax kali ini aku ingin menjajal kekuatan Chromoly sepeda lipat Element Troy. Jelas ada beban berat karena dengan ban 20″ saja jarak 300 km ditempuh dalam 20 jam. Bagaimana dengan ban 16″?

Toh berbekal perjalanan Troy ikut Bandung Urban Cycling Challenge 200K, sebuah event audax dari Audax Randonneur Indonesia namun kondisi jalan campuran antara aspal dan jalan tanah (makadam) serta Yogya Audax 200 K, aku yakin bisa melewati Anudax ini setidaknya pas 20 jam, sesuai waktu yang dipersyaratkan (COT).

Yak… negatif! Silakan gowes.

Sayangnya, sekitar 10 hari sebelum hari-H, aku malah terkena vertigo. Kaget juga karena serangan vertigo terakhir sudah lama sekali. Hampir 15 tahun silam.

Seminggu lebih vertigo menginap di tubuhku. Membuat latihan fisik terganggu. Toh aku sempat memanaskan hub Troy tiga hari sebelum Anudax dimulai. Lumayan juga jaraknya, 72 km dari target 50 km.

Akan tetapi, bukan kekhawatiran soal fisik sebenarnya yang membuatku was-was. Tapi hub belakang Troy! Setelah disiksa di audax gravel Bandung tadi, hubnya bermasalah. Terkadang pas dikayuh loss. Kayuhan pedal tak membuat roda belakang ikut berputar. Masalah ini ternyata dialami Troy temanku juga.

Setelah kubongkar, mekanisme penguncinya memang bermasalah. Aku coba bersihkan dan kasih gemuk lagi, sudah membaik. Hanya ada satu pengunci yang gak berfungsi sehingga pas digowes, ketika sepeda melaju dan posisi kaki diam ada bunyi gesekan di hub itu.

Ketika kupakai Audax Yogya 200K yang aspal semua rutenya, hub tadi tak bermasalah.

Foto keluarga Tikum 2.

Dibanding dua event sebelumnya, Anudax kali ini jauh lebih bagus dari banyak sisi. Lebh tertata, dan aturan pun jelas. Gimmick-gimmick bertebaran. Sponsor bersliweran. Sehingga konsep event gratisan tetap berjalan, namun kemasannya jauh dari kata event murahan. Bahkan panitia memberikan tantangan gratis umroh dari sponsor jika mampu menyelesaikan event ini dalam waktu 12 jam.

Yang bikin ngedab-edabi, para pesertanya! Nama-nama besar kebuters ada di daftar peserta Anudax kali ini. Nama-nama yang sudah terbiasa ngeroad dan ngeloop di enclave seputaran Jakarta seperti Kota Wisata Cibubur atau dalam kota loop. Dari tuan rumah ada duo Dirman dan Tutus yang penamat Audax Yogya 1000K di bawah batas waktu. Bisa dibayangkan betapa “brutalnya” nanti selepas start.

Karena berlangsung di era pandemi, protokol ketat dijalankan panitia. Peserta harus bisa menunjukkan hasil negatif tes Covid-19. Bagi yang tidak bisa menunjukkan siap-siap dites di lokasi. Titik start juga disebar di lima lokasi di seputaran Mal Summarecon Bekasi untuk menghindari kerumunan karena pesertanya sekitar 80-an orang.

Dari obrolan di grup WA khusus event ini, start di tiap tikum berbeda-beda. Namun di rentang antara pukul 06.00 – 06.30. Benar saja, begitu start dimulai, sepengamatanku langsung terjadi sodok-menyodok. Bahkan ada yang sudah mulai merasa panas. Begitu disalip peserta lain langsung buru-buru mengamankan posisi.

Kok tahu itu peserta? Karena dari tikum ke CP1 di sekitar km31 peserta wajib memakai jersey pembagian panitia.

Kefoto juga ….

Seperti biasa, aku tak begitu ngoyo mengejar waktu. Toh masih ada 300 km di depan. Menikmati geliat masyarakat seputar Summarecon. Dibanding event sebelumnya, sedikit sepi kali ini. Bisa jadi karena efek Pandemi.

Edisi nyasar seperti kawan setia di Anudax. Aku kembali nyasar di tempat sama seperti sebelumnya. Hanya saja kali ini tak terlalu jauh. Soalnya ada mobil pengawal peserta yang ngetem di dekat pertigaan itu. Dulu sempat jauh kesasarnya.

Di awal-awal ini aku mengikuti rombongan belakang. Namun tetap menjaga jarak dan masih setia memakai masker. Hanya beberapa saja yang aku kenal di rombongan ini. Setelah edisi nyasar tadi mulai terpencar.

Di CP1 masih bertemu banyak peserta. Anudax kali ini dibagi dalam 10 CP atau check point. Kemajuan yang sangat berbeda dan membuat event ini berkelas adalah digunakannya aplikasi check in bikinan PT Cipta Teknologi Kreatif. Dengan apps ini peserta tinggal memindai QR Code yang ditempel di tempat-tempat yang telah ditentukan. Biasanya minimarket, sekalian bisa untuk hidrasi atau ganjal perut.

Mulai dari CP1 ini pemandangan sudah berubah dari pemukiman ke persawahan. Di beberapa tempat sisa-sisa banjir masih terlihat. Titik-titik genangan di sawah membuat persawahan berubah menjadi rawa. Karena mengejar waktu aku tak banyak berfoto. Agak ribet mengeluarkan ponsel. Sementara kamera saku yang biasa menemaniku lupa dipersiapkan.

Selepas CP1 aku praktis gowes solo. Beberapa kali disalip rombongan ban besar. Menyusuri jalanan beton dengan sisi kiri saluran irigasi yang mengairi hektaran sawah di salah satu lumbung padi di Jawa Barat ini. Cuaca mulai cerah, badan mulai gerah. Sesekali gowes menunduk untuk memperoleh efek aerodinamis sehingga kayuhan tak berat.

Sempat terhenti pergerakan gara-gara ada kecelakaan. Sepertinya tabrakan motor. Sekilas aku melihat ada seorang bapak-bapak tergeletak telentang di pinggir jalan dengan darah merah menghiasi hampir seluruh mukanya. Seseorang meminumkan air ke mulut si bapak. Mau berhenti dan bilang untuk mengganjal kepalanya takut air bikin tersedak, tapi melihat darah di muka gak mentolo. Biasanya aku langsung berkunang-kunang melihat darah segar seperti itu.

Anudax 2019

Sebelum sampai CP2 ketemu Eyang Widhi, dengan jersey Audax 600 Solonya. Ngobrol sebentar berjejeran, kami akhirnya beriringan menuju CP2. Di sini selain hidrasi dan migrasi (baca: kencing, memindahkan air di tubuh ke toilet hehe… ) aku pun membuka celana. Pas berangkat pakai BIB trus aku dobel dengan celana trekking karena ingin memanfaatkan saku celana buat nyimpen dompet dan ponsel. Tapi lama kelamaan kok gerah dan gak nyaman di pantat karena celana trekking tidak lekat menempel pantat sehingga ketika mengayuh ada bagian yang bergeser-geser membuat pantat sakit. Terpaksa dompet ditaruh di saku BIB di bagian punggung dan ponsel di saku jersey.

Tadinya diajak Fitri selepas CP2, tapi karena masih beberes memasukkan celana trekking ke frontbag, jadi kusuruh jalan dulu. Aku benar-benar gowes sendirian dari CP2 ke CP3. Di CP3 ketemu dengan Om Endot dan kawan-kawannya. Aku pun kemudian bareng mereka karena Om Endot dan temannya pakai Brompton. Setidaknya bisa mengimbangi kayuhan mereka.

Nah, sampai akhirnya tergiur dengan promo ikan etong bakar di grup WA Anud4x. Kebetulan Om Endot cs juga melipir ke sini. Cuma karena pas jam makan siang, rumah makan ini ramai. Sepertinya emang enak masakan yang aku malah lupa nama warungnya. Lokasi di Blanakan, Subang. Sambil menunggu makanan aku sempat rebahan sebentar. Saat etong tersaji, lupa moto karena ponsle diisi ulang batereinya, baunya sangat menggoda perut yang kelaparan. Tandas juga etong yang sebenarnya lebih dari cukup untuk berdua ini.

Sepertinya tepat aku memilih kawan sekayuh. Sampai CP4 melintasi jalanan yang beberapa di antaranya rusak parah untuk kategori ban cilik, aku masih bisa mengintili Om Endot cs. Selain itu tak perlu lihat ponsel mengecek rute karena Om Endot membekali diri dengan Garmin di setang Bromptonnya.

CP4 (dan CP3) titiknya bergeser tidak seperti rencana semula. Di grup WA panitia sudah menginformasikan hal ini. Toh beberapa peserta gak menemukan titik ini. CP3 bergeser menjadi sebelum titik semula. Jaraknya gak terlalu jauh. Nah, CP4 bergesernya jauh bener. Untung saja kata kunci Yomart menyelamatkanku menemukan CP4. Meski plang Yomart di kanan jalan namun mencolok mata bagi goweser yang kalau mengayuh mata jelalatan hehe …. Enggak banyak menunduk atau menggunakan kaca mata kuda.

Aku agak lupa kok selepas CP4 di belakangku hanya ada Eyang Widhi dan Om Imam. Aku memang langsung berangkat ketika rombongan bersiap mau meninggalkan CP4. Di rute ini menuju CP5 kita akan melintasi saluran irigasi lagi dengan salah satu segmennya jalan rusak. Panitia mengalihkan rutenya dengan memutar. Namun “diperbolehkan” juga lurus menikmati jalan rusak. Tak mau ambil risiko, aku ikut jalan memutar bersama Om Imam. Di sepanjang rute ini sebenarnya di beberapa titik laju Troy terhambat.

Sore sudah beranjak lingsir ketika sampai CP5, km 156. Sudah jam 5 sore, artinya sudah 11 jam perjalanan. COT 20 jam sudah terbang melayang. Sulit untuk mengejar sisa jarak dengan waktu tinggal 9 jam. Belum makan malam. Aku pikir waktu terbuang banyak saat makan siang demi etong bakar tadi. Dari data di apps Anudax, waktu antar-CP paling banyak memang di segmen CP3 – CP4, tempat etong bakar bersemayam. Butuh sekitar 4 jam, sementara yang lain sekitar separonya.

Di CP5, tahu ada yang mau evak jadi tergiur juga. Untung ada Om Imam yang mau diajak sampai finish. Soal gowes malam Om Imam dah teruji. Menuju ke CP6 memperoleh teman Om Elang dengan minivelo Javanya. Dari keterangan dia, jalur shortcut di pinggir kali benar-benar ancur. Dia saja putar balik dan kembali ke jalur memutar. Ah, jadi beruntung gak memutuskan lewat jalur itu tadi.

Menuju CP6 sudah harus menyiapkan lampu. Padahal suasana di sini meneduhkan kalau dilewati pas sore menjelang. Melewati hutan jati sebelum masuk kota Subang. Di beberapa tempat ada warung yang sayang kalau enggak disambangi. Apalagi kalau mengobrol sama penjaga warung. Bakal banyak cerita yang bisa kita dapat.

Sebelum sampai CP6, berhenti di minimarket. Om Elang ternyata mau tidur sebentar. Tapi nyatanya tak menolong kantuknya juga sehingga kontak ke tim evak. Ketika aku, Om Imam, dan Eyang Widhi mau lanjut, Om Endot cs datang. Mengira minimarket yang kami datangi adalah CP6. Padahal CP6 masih jauh dan melewati rolling yang menguras tenaga.

Di CP6 godaan evak masih juga menari-nari melihat kolbak evak nongkrong di pojokan. Nanya Om Imam masih terus maka aku memutuskan lanjut. Gak perlu lama di CP6 sebelum pikiran evak menjerat benak. Istirahat nanti sekalian makan malam.

Jalur rolling membuka kelemahan racikan grupset Troyku. Standar pabrik adalah sprocket 10 speed 11-28. Namun selama pemakaian awal rantai sering enggak akur dengan cassete bagian tertentu. Jika diset anteng di kecil, di cassete besar berantem. Rantai loncat-loncat. Ogah dipeluk cassete. Sebaliknya jika diubah. RD bawaan adalah Sensah.

Lalu aku ubah dengan 9 speed milik MTB, 11 – 36. RD ganti Claris. Rantai anteng di semua posisi. Dapat cassete mumpuni buat nanjak. Tapi perpindahan gigi terlalu melompat sehingga banyak tenaga terbuang. Tapi bisa jadi belum menemukan irama kayuhan yang tepat. Atau karena gak pakai cleat? Baru kali ini Troy melewati kontur naik turun seperti ini.

CP9, CP keramat nih.

Sempat mengalami masalah dengan seatpost di rute ini. Seatpost yang merangkap pompa ini sudah rusak sebenarnya. Selang pompanya sudah putus. Nah sepertinya batangan pompa turun dan menyentuh tutup pompa sehingga copot akibat jalan turunan yang gak selalu mulus. Alhasil pipa pompa menyentuh aspal yang sempat bikin kaget dengar bebunyian dari bawah frame. Terpaksa diganjel plastik dan tak bermasalah sampai finish.

Jalur Purwakarta sampai pintu tol Cikampek menjadi arena pembalasan jalan keriting. Selain jalan mulus dan lebar, juga kontur cenderung turun. Tak ada CP yang harus dipelototin. Cikampek menuju CP8 di Dawuan juga masih bisa “ngebut” sebelum ketemu jalan keriting selang-seling. Di jalur ini sewaktu memakai Federal aku disapa pengendara motor dan disuruh mampir ngopi ke rumahnya yang kebetulan tak jauh dari jalan besar. Ternyata ia anggota Federalis juga.

Sampai CP9 sudah lewat tengah malam dan finish sesuai batas waktu sudah musykil tercapai. Jadi istirahat agak lama. Satpam Bank Bukopin memberi tahu kalau ada kopi dan makanan di belakang kantor. Mencoba makan pisang rebus dan kopi untuk menghilangkan kantuk. Mencoba rebahan sebentar ternyata diganggu nyamuk. Jadi ya lanjut saja. Sisa kayuhan tinggal 30-an km.

Efek kopi nyatanya enggak menghilangkan kantuk. Terlebih ketika sudah melewati Karawang menuju Cibitung. Entah berapa kali mengalami microsleep. Bersyukur pantat mulai panas. Duduk tidak lagi nyaman. Alhasil, hampir tiap kilometer angkat pantat dari sadel memberi waktu pantat bebas dari tekanan.

Sempat berhenti di SPBU untuk kencing sekaligus cuci muka. Cukup membantu dan ketika sampai Pasar Tambun segala kantuk dan lelah berubah jadi semangat untuk menyudahi Anudax ini.

Sampai di CP10 agak bingung nyari QRCodenya. Soalnya minimarket sudah tutup dan halamannya dihalangi rantai. Biasanya QRCode ditempel di tiang plang nama minimarket. Nyatanya QRCode ditempel di tiang listrik di trotoar.

Begitu selarik cahaya memindai QRCode tadi, data langsung terekam. “CP10 – Indomaret Cut Meutia 99 / 300 Km / 28-02-2021 04:04:19”. Jika mengacu ke waktu pindaian di CP0 yang 27-02-2021 06:12:58, berarti hampir 22 jam perjalanan Anudax kali ini. Overall tangguh juga Troy ini. Tangan dan pantatku saja yang enggak tangguh ternyata. (*)

CP10, yang penting finish!

Melupa masa mengisi diri

Catatan Kecil ke Pondok Saladah Papandayan: Omen, Misteri Lampu, dan Mata Perih

$
0
0

gussur.com – Rencana ke Papandayan muncul seketika saja. Pas ngobrol sama teman, ternyata dia sama genk-nya mau ke Papandayan. Aku yang memang terniat mendaki gunung sebanyak mungkin di usia lepas 50 langsung menyergap saja rencana itu.

Dipilih hari kerja karena menghindari keramaian di akhir pekan. Apalagi setelah pandemi berlalu berbulan-bulan, niat orang plesiran makin menjadi-jadi. Meski dengan segala protap yang kudu mesti dilaksanakan.

Aku sendiri kebetulan masih belum padat kerjaan. Masih mengumpulkan bahan, mengontak sana-sini, dan membuat janji.

Lebih dari itu, ke gunung adalah momen yang paling tepat untuk merenung. Melepas keseharian. Mengisi batere tubuh. Mengosongkan pikiran.

Lalu … begitulah. Dari Bandung aku nebeng dengan tiga perempuan pejalan. Lisa, Arinta, Mimma. Dua perempuan pertama kenal di grup lelarian. Arinta pernah bertatap muka saat trekking ke Kawah Ratu. Lisa baru bertatap muka saat itu, begitu juga dengan Mimma.

Dari Bandung berangkat sekitar pukul 09.00 dan sampai di parkiran Camp David Taman Wisata Alam Papandayan, selewat tengah hari. Disambut gerimis yang kemudian berubah hujan cukup deras.

Tujuan kami mendaki ke Pondok Saladah di ketinggian sekitar 2.288 mdpl. Mengiringi kami ada Trio, karyawan Lisa yang multitalenta (nyetir, motret, juru bayar) dan sang pemandu jalan.

Siang yang sudah beranjak ke sore itu masih ditaburi hujan cukup deras. “Tunggu sebentar aja, biar hujan berhenti,” kata Mang Asep, pemilik warung tempat kami memyiapkan peralatan pendakian.

Nyatanya hujan tak segera reda. Menyisakan gerimis yang gelisah. Kami pun menyiapkan jaket penahan air. Sekejap kemudian sudah berselimutkan air hujan.

Mendaki Papandayan, kata teman, adalah pendakian rekreasi. Tak menguras tenaga, banyak warung di sepanjang jalan. Jarak dari parkiran ke camping ground Pondok Saladah tak sampai 5 km. Tinggal mau lewat mana. Selepas Pos I yang ada gardu pandangnha, ada dua jalur ke Pondok Saladah. Ke kiri lewat hutan mati, dan ke kanan ke Pos 2 (Hoberhuut).

Kami memilih lewat Hutan Mati. Disebut Hutan Mati karena kawasan ini sebelumnya hutan yang rimbun dengan pohon cantigi. Lalu letusan 2002 menghanguskan kawasan ini menyisakan batang-batang pohon menghitam.

Sore itu kabut mulai menyelimuti kawasan ini. Membuat suasana menjadi mistis. Namun, bagi tiga perempuan pejalan tadi, suasana itu malah menjadi sebuah studio foto raksasa. Aku pun jadi ikut-ikutan bergerak di setiap ruang. Lebih karena biar tidak kedinginan menunggu mereka berfoto-foto.

Puas menghabiskan beratus-ratus MB penyimpanan ponsel masing-masing, kami melanjutkan perjalanan menyusuri kerimbunan hutan pohon cantigi. Keluar hutan langsung tersua hamparan tanah lapang. Itulah Pondok Saladah. Tenda kami sudah terpasang, tak jauh dari patok penanda lokasi. Langsung saja kami beberes. Utamanya ganti baju.

Misting dibuka, kompor dinyalakan. Air dituangkan. Rencana mau ngopi dan ngemi. Tapi, nyala kompor tak bisa berkobar-kobar sehingga diputuskan pesan mi di warung saja.

Warung! Ya, di seputaran camping ground berjejer warung-warung. Saat itu yang buka dua warung. Salah satunya kenalan si pemandu. Kami pun meriunggu menunggu air mendidih untuk membuat minuman teh tarik. Nggak jadi ngopi.

Dari obrolan itu, aku mengira-kira kenapa dinamakan Pondok Saladah. Ternyata di seputaran camping ground ini banyak tumbuh selada air. “Cocok dicampurkan ke mi kita,” sebuah usul menyeruak.

Meski sudah dibilang selada air, ketika mi tersaji bersama sayuran hijau tadi, masih saja disangsikan keseladaan air itu.

“Kok kayak kangkung ya? Tapi batangnya tak bolong.”

“Bukan, kayak pakcoy. Atau semacam baby kailan.”

Toh, apalah arti sebuah nama. Kangkung, selada air, atau pakcoy. Pada kenyataan isi di mangkuk-mangkuk kami tandas. Justru kuning telur yang tersisa di salah satu mangkuk.

Sore beranjak ke malam dan hawa makin dingin. Musim hujan harusnya membawa hawa cukup hangat. Namun angin yang rajin berhembus membuat tubuh kami kewalahan juga.

Kami berpindah ngobrol ke warung yang membuat api unggun di berandanya. Dari obrolan itu, kami baru tahu belakangan ada serangan babi hutan di malam hari. “Babi hanya mengincar makanan saja. Orangnya tidak diganggu. Makanya, kalau ada makanan d dalam tenda dikeluarkan. Simpan di pohon. Atau bisa dititipkan di sini,” kata penjaga warung.

Kami pun beberes mengumpulkan semua bahan makanan dan cemilan, juga misting. Setelah terkumpul ditaruh di warung. Malam sudah turun, dan benar saja. Pemandu kami menyorot sosok di kejauhan yang bergerak-gerak. “Tuh, babinya.”

Berbeda dengan babi hutan kebanyakan, babi yang bernama Omen ini berkulit putih. Jadi pas disorot lampu jelas terlihat. Pas dikasih tahu betapa tajam penciuman si Omen, tak hanya makanan saja yang membuatnya datang ke kemah. Tapi juga wewangan, macam sabun, pasta gigi, serta minyak kayu putih.

Waduh! Aku lantas balik ke tenda mengeluarkan peralatan mandi dan menaruhnya di warung.

Malam seperti lambat merangkak. Obrolan ngalor ngidul mesti disudahi karena kami harus istirahat. Jadi kami kembali ke tenda masing-masing. Angin masih berhembus membuat malam makin dingin. Bahkan membuat tenda bergoyang-goyang. Sleeping bag tak mampu menahan dinginnya malam itu. Terlebih aku lupa membawa kaos kaki cadangan.

Menjelang tengah malam, perut terasa lapar dan pingin kencing. Setelah dari toilet aku pun mampir ke warung. Sambil ngemil di warung, aku melihat Omen masih berkeliaran di seputar tenda kami. Sesekali ketika mau mendekat, pemandu kami mengusirnya. Setelah perut terisi, aku kembali ke tenda.

Belum lama terlelap, tiba-tiba saja badanku digencet barang lunak seperti karung. Tendaku cuma untuk dua oramg dan aku tidur menjauh dari pintu tenda. Otomatis tubuhku bersinggungan langsung dengan tanah lapang tempat Omen berkeliaran.

Belum sempat hilang kaget, gantian kepala yang tersenggol. Lamat terdengar dengusan napas. Duh, Omen ini! aku membatin. Hanya bisa diam sambil siap-siap membuka ritsleting tenda. Untung kemudian gangguan itu tak terulang lagi. Aku mendengar suara pemandu mengusir Omen.

Habis itu tidurku tidak tenang sampai aku bangun sekitar pukul 5.30. Aku pingin lihat sun rise di tempat yang enggak jauh dari camping ground. Semburat cahaya sudah muncul di timur. Sementara di atas langit masih menggantung bulan sabit.

Sarapan pagi dengan nasi goreng dan dua telor ceplok plus taburan selada. Kali ini rasa penasaran tentang selada air terlampiaskan karena yang punya warung menunjukkan sosok selada. Tandas juga sarapan kali ini, kecuali kuning telur yang teronggok di piring rotan.

Pagi cerah, perut terisi, kami pun bergegas menuju ke Tegalalun. Ini padang ilalang dengan gerumbulan edelweis di sana-sini. Arahnya dari Hutan Mati menyusuri jalan setapak menanjak di antara kerimbunan pohon cantigi. Jarak yang dekat sebenarnya, tapi menjadi lama karena kembali membuka studio foto di hutan mati. Berbeda dengan kemarin, kali ini hutan mati bermandikan sinar matahari. Meski awan berarak, namun langit cerah. Di timur jauh sana menjulang puncak gunung. Menurut pemandu Gunung Slamet di Jawa Tengah.

Cukup lama aku menunggu sampai mati gaya melihat tiga perempuan pejalan mengeluarkan kostumnya dan menghabiskan entah berapa ratus MB di penyimpanan ponsel mereka. Terbersit untuk pinjam kostum. Tapi kok kurang lengkap ya …

Menuju Tegalalun ada segmen yang mengingatkan pada tanjakan setan dari Kandang Badak ke Puncak Gn Gede di Bogor. Perjuangan yang cukup melelahkan sebelum akhirnya menemukan padang luas dengan gerumbul-gerumbul pohon edelweis di sana-sini. Hampir sebagian besar pohon edelweis sudah mengering pohonnya.

Cukup lama juga d sini meski tidak sampai mengeluarkan kostum lagi.

Turun menuju ke parkiran TWA Papandayan kami mampir sebentar ke kawah baru. Dari Pos I, kita turun menuju ke kawah yang mengepulkan asap dengan setia setiap waktu. Menuruni jalur ini kita akan melintasi beberapa sungai kecil dengan warna-warni air dan suhu yang berbeda-beda. Ada yang berair putih, bening, dan hitam. Ada yang dingin dan ada yang panas.

Salah satu aliran ini ada yang membawa belerang dalam jumlah banyak. Belerang ini ada yang mengendap di bebatuan. Ketika Mimma mengoleskan larutan belerang ke mukanya, mirip tradisi tanaka di Myanmar, kami bertiga pun mengikutinya.

Kembali kami, tepatnya tiga perempuan pejalan tadi, berfoto-foto di sekitaran kawah baru. Selepas tengah hari kami pun turun ke parkiran. Namun, perjalanan pulang ini menyisakan kisah sedih. Kami semua mengalami mata perih. Ada yang sembuh sampai parkiran, namun ada yang sampai rumah masih terasa perihnya. Bahkan ada yang sampai bengkak.

Semua karena “tanaka”. Toh kami hanya ketawa-tawa saja membahas soal itu.

Ada kisah misteri yang diceritakan Arinta saat sarapan pagi. Malam sebelumnya, ketika perutnya lapar, ia dan Mimma keluar tenda menuju warung. Meninggalkan Lisa sendirian di tenda yang tertidur pulas.

Sewaktu di warung itu, Arinta melihat cahaya lampu dari tendanya. Pagi harinya, ketika dikonfirmasi ke Lisa, ia tidak menyalakan lampu.

Apa Lisa gak sadar mencari sesuatu dan menyalakan lampu?

Gunung memang menyimpan banyak misteri. Namun bagiku gunung itu menenangkan, sementara pantai menyenangkan.

Misi yang Gagal Mencari Tetenger Gunung Arjuno dan Gunung Welirang (1)

$
0
0

gussur.com – Dua puluh lima tahun lagi, kamu akan memyesal dengan apa yang tidak kamu lakukan daripada yang kamu lakukan.

Begitulah aku selalu menghibur diri kala situasi tak sesuai harapan. Kala alam tiba-tiba tak bersahabat. Ketika semesta tak mendukung.

Pagi itu, sekitar pukul 07.00, 3 April 2021, aku dan teman-teman terjebak dalam badai angin ketika mencari tetenger puncak Gunung Welirang, Jawa Timur. Badai angin itu begitu dingin menembus jaket penahan anginku. Tak jarang aku harus berlindung di balik batu untuk bertahan agar tak semakin kedinginan. Beruntung aku membawa kaos kaki cadangan sebagai sarung tangan.

Badai angin itu bercampur dengan kabut yang membuat jarak pandang terbatas. Ketika kabut mulai menipis, akhirmya kami bisa melihat tetenger puncak itu. Kibaran bendera Merah Putih itu lamat terlihat tak jauh dari kami. Perlahan kami memdekati tiang bendera itu. Bukan perkara mudah karena tak hanya melawan kencangnya angin, tapi juga bau belerang. Ya, Gunung Welirang merupakan salah satu tambang belerang. Gas belerang yang tersapu angin bikin dada sesak karena bau menyengat bikin. Mata perih.

Tak sampai sekitar 100 m kami pun memyerah. Kami bertahan di balik batu besar menunggu badai reda. Namun sekian lama nyatanya badai tak kunjung berhenti menyapa kami. Ada niatan untuk menerobos badai, tapi jalur menuju ke sana tidaklah lebar. Kami tak tahu apa di sisi kanan kiri jalur itu. Jurang biasa atau kawah?

Meski kabut mulai berkurang tapi badai angin tak juga surut. Dalam perjalanan turun, keindahan bentang alam di kejauhan sangatlah indah. Di lembah terhampar rumah-rumah penduduk. Di sekitarnya perbukitan dan pegunungan menjaga kehidupan.

Mencapai puncak Gunung Welirang di pagi hari adalah hasil kompromi kami setelah sebelumnya terjebak macet panjang. Dari kawasan Sudirman Jakarta di Kamis malam 1 April 2021 menuju tol dalam kota sudah terjebak macet. Begitu di tol juga tambah macet. Ternyata imbas dari mobil terbakar di jalan layang Pancoran tol dalam kota.

Kemudian macet lagi di tol Cikampek, berlanjut di Cipali. Dari rencana tiba di Tretes, Malang sekitar pukul 08.00 akhirmya kami tiba pukul 12.00. Rencana hari pertama tektok Gunung Welirang menjadi tak memungkinkan. Turun dari puncak bisa terlalu malam. Padahal esok harinya tektok lagi ke Puncak Arjuno.

Kesepakatan akhirmya istirahat dan tengah malam baru muncak kedua gunung sekaligus.

Begitulah, selesai beberes di penginapan kami pun mencoba istirahat. Sorenya aku dan Teguh yang jadi ketua rombongan lapor ke Pos 1 Petbocor. Dari penginapan sekitar 2 km. Namun 1,5 km nanjak “keras”. Dah kebayang entar malam pemanasannya sudah lebih dari cukup.

“Hujan biasanya dari jam 3 sore sampai tengah malam. Sebelum jalur ini dibuka karena hujan sudah mulai mereda, depan kantor ini jadi jalur sungai,” kata petugas jagawana sore itu.

Benar saja, ketika kami pulang sekitar pukul 16.00, kawasan Taman Hutan Rakyat RP Soerja itu mulai dibasahi rintik hujan. Kami nekat menerobos karena tak membawa mantol. Hanya topi saja sebagai pelindung kepala.

video: Daru
<p value="<amp-fit-text layout="fixed-height" min-font-size="6" max-font-size="72" height="80">Akan tetapi beruntunglah, hujan tak sampai ke tengah malam. Tidak tahu kapan berhentinya, ketika pukul 23.00 kami sudah siap, awan justru terlihat cerah.Akan tetapi beruntunglah, hujan tak sampai ke tengah malam. Tidak tahu kapan berhentinya, ketika pukul 23.00 kami sudah siap, awan justru terlihat cerah.

“Ada bintang tuh,” kata Daru menunjuk ke atas. Bulan sabit sedikit gemuk pun bertengger di angkasa. Di sekelilingnya awan menemani bulan.

Menjelang tengah malam kami berenam pun menapak aspal Jalan Wilis, Tretes menuju ke jalur pendakian Gunung Arjuno Welirang via Tretes.

“Jalur Tretes ini paling berat dari jalur lainnya,” kata Teguh. Seberapa berat dia tidak menjelaskan lebih jauh. Selain Tretes, Arjuno Welirang bisa dicapai melalui pintu Cangar dan Purwosari. Pintu terakhir ini melewati kawasan purbakala sisa-sisa zaman kejayaan Majapahit. Tak heran bau kemenyan masih menguar di sepanjang awal jalur ini karena aktivitas para peziarah.

Selepas Pos 1 definisi berat dari Teguh tadi mulai sedikit tersibak. Jika dari sebelum Pos 1 tadi jalan masih normal, kini sudah mulai abnormal. Bebatuan besar seperti disebar di sepanjang jalur.

Bukan soal batu besar yang jadi masalah. Namun jalurnya konsisten menanjak. Dalam gelap, ditingkah suara binatang malam, dikawal rembulan, kami pun bergerak pelan meniti bebatuan. Bagiku menanjak lebih ramah dengan kondisi tubuh daripada turunan. Di bebatuan ya ….

Konsisten menanjak sampai Pos 3 – Pondokan

Tak banyak yang bisa difoto. Padahal niat awal adalah mengabadikan setiap pos atau spot-spot menarik di sepanjang jalan. Seperti saat sampai di Pos 2 – Kop-kopan, siluet G Penanggungan begitu anggun. Di bawahnya, pendar-pendar lampu malam menambah keanggunan Penanggungan.

Oya, di Pos 2 ini ada sumber air Grojogan Sewu. Suara gemericik air sebenarnya bikin penasaran diriku untuk melongok. Tapi gelap dan sorot lampu kepalaku tak kuasa memberi penerangan lokasi sekitar membuat aku hanya mendengar gemericik air dari Grojogan Sewu itu.

Tak ada jalan menurun. Landai sebentar langsung disapa tanjakan lebih terjal lagi. Bebatuan lagi! Sampai sempat halu diriku saat menapaki tanjakan panjang dan melihat di jauh sana warna putih.

“Itu atap ya?” tanya Teguh.

“Awan ah…” kataku.

Nyatanya itu atap pondokan yang membuat diriku lega. Pos 3 – Pondokan pun menjawab rasa penasaran mengapa Pos 3 ini disebut begitu.

Toh aku salah sangka juga. Kiraku pondok-pondok yang ada di sini bisa digunakan. Nyatanya itu pondokan buat menyimpan belerang-belerang yang ditambah penduduk dari kawah Welirang.

Sekitar Subuh kami tiba di Pos 3 ini. Lebih dari 5 jam untuk jarak sekitar 10 km itu.

Agak lama kami istirahat di sini. Ada yang rebahan, ada yang salat. Kusandarkan kepala pada tiang pondokan, sementara pantat duduk di bangku selebar 20 cm. Awalnya mau rebahan, tapi takut terjatuh melihat bangku yang lebarnya tak seberapa itu.

Pos 3 – Pondokan dilihat dari jalur menuju Puncak G. Arjuno

Pos 3 merupakan persimpangan jalur menuju ke Arjuno atau Welirang. Kami mengambil arah kanan karena ingin muncak Welirang dulu. Jalanan tak lagi makadam batu, namun sudah tanah. Masih tetap nanjak, beberapa ruas melewati gundukan tanah yang dipapras kanan kirinya sehingga gerobak penambang belerang bisa lewat.

Matahari pagi mulai muncul di balik pohon pinus. Sunrise yang kami buru datang terlalu cepat. Ah, kami yang lelet. Bertemu tana datar Daru usul untuk sarapan. “Biar punya tenaga untuk muncak!”

Kami membuka bekal masing-masing. Nasi berbungkus daun pisang sudah dibagi-bagikan Bunda ke masing-masing peserta malam sebelumnya. Masing-masing dapat dua. Untuk sarapan dan makan siang. Lauk pauknya dibawa beberapa dari kami. Ada kacang-teri, ikan asin, dan rendang.

Dalam dingin udara yang masih membuat badanku menggigil, aku menyuap nasi sendok demi sendok. Memandang ke kejauhan, asap putih yang mengepul dengan konsisten. Ya, ke sana nanti aku menuju. Tapi masih ada gunung yang menghalangi. Apakah jalannya lurus seperti dari Pos-1 ke Pos-3? Ataukah memutarinya?

Aku telan mentah-mentah saja pertanyaan itu. Seperti menelan nasi pagi itu. Rute menuju Puncak Welirang ternyata masih bertemu dengan bebatuan. Hanya saja kali ini lebih tertata rapi. Berkelak-kelok sampai akhirnya ketemu pohon cantigi.

Ya, cantigi berkaitan erat dengan puncak. Boleh melepas lega ketika melihat pohon berdaun kecil warna merah dan hijau dengan buahnya kecil-kecil. Bebatuan sudah enggak ada. berganti tanah datar. Plus padang rumput tak seberapa luas.

Plang arah Puncak menambah keyakinan bahwa perjalanan akan berakhir. Kabut makin menebal. Angin menggemuruh. Itukah kawah? Tanya itu bergejolak ketika melihat di depan kabut menutupi sesuatu di bibir jurang. Namun plang Puncak mengarahkan ke kanan, menyisiri punggung gunung.

Ah, ternyata masih harus bergerak. Sementara jari-jari tangan mulai kebas. Ah, selalu aku tak siap. Seperti menyepelekan karena rencana awal mendakinya di pagi hari.

Tiba-tiba teringat bahwa aku membekal kaos kaki. Lupa yang lima jari atau bukan. Membayangkan kalau lima jari lucu juga dipakainya. Segera aku melepaskan tas ransel dan mengambil kaos kaki itu. Ugh… bukan lima jari.

Jalan berkelok menyusuri punggungan gunung akhirnya berakhir dengan menanjak. Semakin menanjak. Aku tak tahu ke arah mana lagi melangkah. Angin semakin kencang. Kabut semakin tebal. Dingin semakin menusuk tubuh.

“Kayaknya arah situ puncaknya,” kata Daru. Aku tak menghiraukan ucapan itu. Aku segera mencari batu besar dan berlindung di baliknya.

Tetenger Puncak G Welirang tak jauh dari batu besar ini. (Foto: Daru)

Kami terpisah jadi dua rombongan. Teguh dan Bunda terpisah dengan kami berempat. Kami lega ketika ada suara memanggil-manggil di kejauhan. Saat angin kencang menyingkap kabut, Teguh dan Bunda ternyata sudah di depan, di atas titik tertinggi di kawasan ini.

Dari titik Teguh baru ketahuan di mana tetenger puncak Welirang. Ada di sisi kanan kami. Segera setelah kami bergabung, mencoba menuju tetenger itu. Tapi angin semakin kencang. Bau belerang semakin menyengat. Dingin makin membuat tubuhku menggigil. Beruntung ada batu besar. Kami bertiga (aku, Teguh, Daru) yang sudah berada di depan segera berlindung di balik batu itu.

Memutuskan turun kami bertemu dengan beberapa pendaki yang akan muncak Welirang. Dari obrolan dengan mereka yang sudah pernah muncak, memang benar tetenger puncak Welirang yang kami lihat.

Menyusuri punggungan gunung kami baru bisa melihat pemandangan indah di bawah sana. Kabut telah hilang. Di kejauhan sana tampak pegunungan entah apa namanya. Sambung menyambung membentuk ceruk tempat penduduk bermukim. Sepertinya Kota Malang di bawah sana.

Satu puncak terlewati. Kini menyusun strategi menuju puncak Gunung Arjuno.

Covid-19 Membuatku Pulang (1)

$
0
0

gussur.com – “Langsung ke Panti Rapih saja.” Begitu pesan di WAG yang aku terima begitu tiba di Bandara NYIA, Kulonprogo.

Baru sekali ini aku di NYIA. Clingak-clinguk tidak tahu harus pakai kendaraan apa ke RS Panti Rapih. Bertanya tentang DAMRI, ternyata masih lama jam berangkatnya. Ketika sedang cek aplikasi Grab, tiba-tiba didatangi seseorang. Ia menawarkan taksi dengan harga di bawah tarif Grab.

Aku mengiyakan saja karena memang diburu waktu.

Waktu itu sekitar pukul 11.00 siang. Hari Minggu 23 Mei 2021. Aku memang berencana pulang karena bapak minta operasi lagi terhadap lukanya di perut. Luka akibat pemasangan kateter yang lama tak dipindah sehingga tubuh sudah membuat perlindungan terhadap selang.

Ini akan menjadi operasi kesekian kalinya setelah sebelumnya mencoba menutup luka itu namun gagal.

Selang seharii sebelum operasi dilakukan, tersiar kabar tetangga positif Covid-19. Dari penelusuran, bapak pernah bertemu dengannya. Kami para anaknya pun sepakat untuk mengetes antigen bapak. Jadilah acara yang harusnya operasi berganti swab-antigen.

Hasilnya positif!

Jadilah acara berubah total. Apa yang kurencanakan pun ambyar semua.

***

Menuju RS Panti Rapih terasa begitu lama. Sembari melewati ruas jalan yang beberapa kali pernah kususuri dengan sepeda, aku mencoba menenangkan diri. Jika ayah positif, hampir pasti simbok juga. Aku membayangkan bagaimana jika simbok diisolasi di RS. Seumur hidupku, simbok baru sekali berkontak langsung dengan rumah sakit, itu pun hanya di IGD. Tidak sampai opname. Gara-garanya jatuh dari kursi karena ingin membetulkan sesuatu yang letaknya agak tinggi. Tulang tangannya retak. Tapi tak sampai harus operasi.

Sesampainya di Panti Rapih aku segera mengontak nomer telepon Ruang Dahlia. Sebelumnya aku dikabari bahwa di kamar itu Bapak akan dirawat.

Ternyata Bapak masih di IGD. Segera aku menuju ke IGD yang berada di sisi barat atau RS lama.

“Bapak anaknya? Kami sudah menunggu dari tadi keluarga pasien,” begitu kata suster di IGD. Lo, jadi selama tiba di RS sampai aku datang Bapak belum jelas statusnya? Aku pun segera mengurus administrasi dan menemani Bapak di kamar perawatan.

Tidak seperti IGD yang aku bayangkan, kamar luas dengan beberapa tempat tidur dipisahkan kelambu, Bapak memperoleh kamar tersendiri. Ada sekitar empat kamar seperti itu. Bapak ada di kamar kedua dari ujung kiri.

Begitu masuk kamar, aku agak kaget. Tubuh Bapak begitu kurus. Rasanya sekitar setahun sebelumnya ketika ketemu meski sebentar tidak sekurus ini. Duduk di kursi di pojokan kamar aku menunggu Bapak. Tak banyak yang bisa kami obrolkan. Aku masih mencoba jaga jarak. Beberapa kali suster masuk dan mengecek kondisi Bapak. Mencatat beberapa parameter kesehatan.

Agak sore, setelah bisa kutinggalkan Bapak, aku pergi keluar IGD mencari makan. Sedari pagi perut belum keisi nasi. Tak lama setelah aku kembali ke kamar IGD, aku dipanggil suster untuk dijelaskan hasil pemeriksaan Bapak saya oleh dokter. Kesimpulannya, pihak RS Pantirapih tidak bisa melanjutkan perawatan Bapak karena terkendala ketidaklengkapan alat dan kamar ICU, Jadi akan dirujuk ke RS yang kosong.

Aku agak was-was juga melihat penjelasannya tadi. Terutama hasil rontgen paru-paru yang mengindikasikan bahwa virus sudah menebar ancaman. Aku masih sempat makan malam,nasi goreng kambing di depan RS. Ketika menyusuri trotoar bertemu penjual wedang ronde. Aku mampir dan memberli semangkuk. Baru menandaskan suapan terakhir, telepon dari RS Pantirapih mengabarkan kalau Bapak sudah memperoleh RS rujukan: Sardjito!

Bergegas aku kembali ke IGD sampai lupa meninggalkan botol minuman di tukang ronde.

Namun kami harus menunggu cukup lama karena ambulans belum ada. Begitu siap, kami pun bergerak membelah malam yang relatif sepi. Memasuki kawasan Sardjito aku membatin, Oh ini to RS Sardjito. Sepanjang napas kuhirup, baru kali ini aku masuk Sardjito.

Bapak masuk di Ruang Gatotkaca. Tempat isolasi penderita Covid-19. Setelah masuk tidak bisa ditunggu. Komunikasi dan suplai barang atau makanan lewat suster penjaga. Begitulah aturannya. Setelah semua urusan beres aku lantas keluar ruangan. Waktu sudah beranjak ke tengah malam.

Aku lantas tersadar, mau menginap di mana? Pulang sudah terlalu larut dan aku tidak bilang kakakku yang jaga rumah untuk mau pulang. Rumah orangtua di luar kota, berjarak sekitar 20 km. Ketika bertanya ke satpam tentang penginapan di sekitar RS dikabari ada tempat di dekat masjid di kompleks RS juga. Namun ketika aku cek ternyata ngampar, bersama dengan penunggu lain. Mandi di ruang terpisah. Ribet menurutku.

Akhirnya aku tanya-tanya ke satpam tentang penginapan sekitar, dan ditunjukkan penginapan tak jauh dari Sardjito. Ternyata sudah ditutup pagarnya. Ketak-ketok enggak ada respon, akhirnya menyerah juga. Melihat jarum jam kaget juga! Sudah hampir tengah malam.

Tiba-tiba teringat dengan Wisma Kagama! Langsung googling nomernya dan meneleponnya. Ternyata masih ada. Langsung pesan Go-jek dan begitu sampai Wisma Kagama, mandi dan tidur.

Pagi harinya aku memesan Gojek untuk pulang mengambil motor. Lebih efisien dan efektif untuk mobilitas. Membeli keperluan Bapak atau sekadar muter-muter kota menggali memori.

“Kuliah jurusan apa Mas?” tukang ojek memecah kebisuan kami ketika kami sudah berjalan agak jauh. Aku masih terbenam dengan ingatan karena barusan melewati sekolah masa SMP-ku. Ingatan yang kelam dan ingin aku lupakan sebenarnya.

“Aku gak kuliah Mas. Kenapa?” kataku.

“Oh, kok badannya masih bagus,” jawab Masnya. Entah pujian itu kok seperti mengejek bagiku. Dalam bayangan Mas Ojol mungkin seumuranku sudah mapan badannya. Tidak sekerempeng diriku.

“Kalau Mas kuliah di mana?” gantian aku nanya karena di nama akun dia ada gelar ST.

Ternyata Mas Ojol ini lulusan Teknik Industri universitas swasta di Jogja. Belum lama ngojol karena di-PHK.

Sampai di rumah aku segera beberes mencari baju ganti Bapak dan juga charger, Istirahat sejenak dan kemudian kembali ke RS Sardjito. Aku juga belum check out dari Wisma Kagama.


ProklamaTri, Belajar Merdeka Triathlon

$
0
0

gussur.com – Sampai umur kepala 5 aku belum bisa berenang. Masa kecil kurang bandel kata temanku. Ya nggak juga sih. Dulu waktu kecil pernah belajar renang di selokan irigasi dam Kali Opak tak jauh dari rumah. Jauh juga sih ukuran zaman dulu. Sekitar 5 km dari rumah.

Beberapa kali belajar sendiri tetep nggak bisa juga. Mau kursus malu, juga karena konsistensi ke kolam renang dipertanyakan.

Tapi ajakan ikut triathlon ngawe-ngawe ketika usia justru memasuki kepala 5. Dasarnya, lari sudah “khatam”, sepedaan tak lagi ” menantang”. Triathlon?

Jadilan bulan Mei 2021 belajar renang ala kekinian. Modal Youtube, plus tanya-tanya teman. Sebagai pemula gaya katak. Belajar kaki, lalu belajar tangan, kemudian digabungkan. Hasilnya? Tiga empat kayuhan berhenti. Napas belum bisa memperpanjang kayuhan.

YouTube memberi tips. Setiap berhenti, cobalah belajar napas. Jadi kita menenggelamkan diri berulang-ulang sampai 10 hitungan. Setiap satu kali hitungan itu kita ambil napas pas kepala terangkat dan dihembuskan pas kepala di dalam air. Ambil napas tentu pakai mulut.

Cara itu membantu. Yang tadinya untuk mencapai jarak 25 m harus berhenti empat atau lima kali, kini dipersingkat tiga kali. Rutin kulakukan akhirnya bisa nonstop 25 m meski napas ngos-ngosan.

Kira-kira dua bulan intensif berlatif sampai kemudian bisa bolak-balik sepanjang kolam tanpa berhenti di tengah. Dari situ meningkat bisa menjadi 10 kali bolak-balik. Sampai akhirnya bisa menenpuh jarak 500m, 1.000 m, 1.200 m, dan 1.500 m. Yang terakhir itu dalam jangka waktu 1,5 jam. Lambat? Sooo pasti dong …

Nah, hari Proklamasi RI 17 Agustus 2021 memberiku ide untuk kenapa nggak menjajal triathlon saja? Renang 1,7 km, lari 8 km, dan sepedaan 45 km. Tantangannya adalah renang. Sepedaan atau lari meski pace santai bisalah selesai. Renang?

Pas 17 Agustus 2021, mendekati pukul 07.00 aku mulai lari. Kenapa lari duluan? Dapat jatah kolam renang pukul 11.00! Daripada lari dan sepedaan sore hari yang belum tentu akan kesampaian, mending renang ditaruh di bagian belakang. Kata banyak sumber, renang bisa jadi olahraga recovery. Pas kan!?

Bermula dari lari …

Lari niatnya ambil pace rata-rata 7,6. Biar pas dengan usia kemerdekaan. Nyatanya gak bisa. Salah setting di jam. Sempat kesakitan di dengkul karena kurang pemanasan. Selesai lari sekitar pukul 08.00. Siap-siap gowes. Ternyata ban kempes. Duh … mana pentil presto lagi. Akhirnya butuh waktu hanpir setengah jam persiapan gowes.

Nyari jarak 45 km di dalam kota ternyata susah juga. Aku pakai seli 16″ sehingga tak bisa kencang-kencang. Target pukul 11.00 selesai. Makanya enggak banyak berhenti. Sampai km 25 hanya berhenti saat lampu merah saja. Kemudian berhenti agak lama untuk loading di Indomaret Jalan Abdul Muis. Mengarah ke Kota Tua, kecegat lampu merah dan menyanyikan lagu Indonesia Raya.

Berhenti lagi ketika melihat atraksi pesawat tempur dan rombongan helikopter yang membawa bendera merah putih. Km 45 tercapai setelah sekitar 2 jam mengayuh. Lebih dikitlah. Langsung siap-siap ganti celana renang dan menyiapkan minuman “penambah tenaga”.

… kemudian bersepeda ….

Ternyata enak juga renang setelah beraktiviyas lain. Aku mencoba menikmati saja setiap ayunan tangan yang membentuk love dan jejakan kaki yang melebar ke samping.

Sempat mengalami kram jari kaki di km 1,5 yang membuatku ambil jeda sejenak. Setelah itu mencoba santai menyelesaikan sisa jarak. Saking santainya sampai lupa cek jarak. Tahu-tahu sudah 1725 m.

Tuntas sudah ProklamaTri pertamaku. Tapi masih kelas kolam renang dan total waktu yang tak diganggu Cut off Time!

… berakhir dengan renang.

Merdeka!!!!

Enggak Ada Sinyal di Setu Rawa Gede

$
0
0

gussur.com – Seorang teman ngompori di grup WA pergowesan. Lagi hits tuh Setu Rawa Gede. Dasar tukang panasan, aku pun penasaran. Ada sepeda pandemi ngejogrok, aku coba bawa ke sana saja. Lama enggak dipakai kondisinya masih lumayan. Bisa digowes, meski setingan grup set amburadul.

Crank triple, tapi gak bisa ke paling enteng. Karena buat nanjak diubah ke gak bisa paling berat. Sprocket 9 sp enggak bisa ke yang paling enteng. Waktu terbatas, gak dibenerin. Terus ternyata rantai ketahuan super kering haha… Pas jalan nanjak baru terdengar musik pengiring berpadu dengan napas memburu. Kriyet, kriyet, hah huh heh…. Goweser yang kusalip pasti mikir, nih orang gak bisa merawat sepeda.

Aku sendiri lama-lama gak tahan dengan bunyi itu, selain juga waswas kalau patah karena tanjakan semakin miring saja. Akhirnya ketika di sebuah jembatan melihat beberapa goweser berhenti, tanpa malu aku nanya apa mereka ada yang bawa oli rantai? Aku kecewa karena enggak ada satu pun yang bawa.

Lanjut deh kriyet-kriyetnya. Sampai kemudian di sisi kiri jalan melihat bengkel motor. Tanpa basa-basi aku minta oli rantai. Pelan-pelan aku muter pedal dan abang bengkel mengolesi oli di rantai memakai sikat gigi (bekas). Setelah berucap terima kasih aku kembali mengayuh pedal. Dan benar adanya, sekarang tanjakan membisu ….

Menuju Cibadak (pertigaan) rutenya memang rolling, cenderung nanjak. Bersua banyak pesepeda yang mau ke arah Ciherang atau malah ada yang mau ke Puncak. Rute ini memang alternatif ke kawasan Puncak selain Cariu (Jonggol) atau rute klasik Bogor (Ciawi)

berhenti sebentar nyarot, nyarap roti …

Sampai Kantor Desa Sukamakmur kita menikmati aspal mulus. Menuju Setu Rawa Gede kita harus belok kanan sesuai plang nama. “Rawa Gede, Agrowisata Kopi, 4,5 KM”.

Jalanan masih aspal tapi tidak semulus jalan utama tadi. Malah kemudian menjadi jalan beton. Dari sini seni mengayuh baru tergores dengan apiknya. Kombinasi jalan beton, nanjak, serta hamparan sawah dan gemericik kali yang menggoda untuk dituruni.

Beberapa tanjakan bisa menjadi pengingat pernah ke Rawa Gede. Curam dan berliku. Beruntung saat melintas, padi sedang menguning siap dipanen.

Di sepanjang rute sudah mulai ada beberapa warung makan kekinian dan waktu itu ramai oleh pemotor yang sedang gathering. Tidak sebanyak arah KM0 Bojongkoneng via Taman Budaya Sentul.

Di beberapa tanjakan aku mulai kagum dengan kinerja Suzuki Ti-Technium yang lama ngejogrok. Meski ukuran terlalu kecil buat tinggi badanku dan tidak bisa memaksimalkan gir, setiap tanjakan bisa dilalui dengan penuh rasa PD. Beberapa tanjakan harus berhenti di tikungan karena tergoda untuk swafoto. Tapi memang harus zig-zag untuk mengatasinya.

Sampai Setu Rawa Gede gamang mau masuk area setu ketika petugas gerbang mematok harga masuk Rp20.000 per orang. Namun karena perut sudah lapar dan melihat di dalam ada beberapa warung, aku pun pasrah. Uang dua lembar Rp10.000 berpindah tangan tanpa mendapatkan bukti tiket masuk.

(Untuk sepeda gratis, motor kena Rp5.000 dan mobil Rp10.000. Jika mau camping per orang jadi Rp30.000.)

Sinyal operator Halo dan Indosat tidak sampai ke kedua ponselku yang menggendong kedua kartu itu. “Ada yang jualan wifi, tapi tutup sekarang,” kata ibu pemilik warung tempat aku memesan makanan.

jalan menanjak dimulai dari sini

Usai perut terisi dan foto-foto sebagai bukti di medsos (wajib ini!), dan kebetulan akan gerimis meski kata ibu tadi tidak pernah hujan belakangan ini, aku pun segera pulang. Sudah janji pulang sebelum petang. Eh, pas di gerbang ngobrol2 sama tukang buka tutup portal, ada setu juga di atas lagi. Katanya dekat, gak sampai 5 km. Aku langsung bergegas saja mumpung masih ada waktu.

Belum sekilo merayap, jalanan berubah jadi makadam. Wah, dengan ban turing aku enggak berani melanjutkan kayuhan. Akan banyak makan waktu, terlebih saat turun. Sebelumnya, aku membayangkan akses jalan beton seperti sebelumnya.

Turun dari Rawa Gede menuju jalan raya ternyata menyiksa pinggang dan bahu. Turunan tajam berkelok membuat harus waspada karena dari bawah sempat bertemu iring-iringan mobil. Meski sudah kutekan kuat-kuat brifter, namun laju sepeda sulit dikendalikan. Beton sedikit licin karena waktu itu gerimis. Terpaksa jurus kaki turun pun dikeluarkan. Mirip Valentoni Rossi. Cuma ini dimaksudkan untuk menghentikan laju seeda dengan bantuan gesekan telapak sepatu dengan permukaan jalan.

“Ah, leganya ….” kataku ketika akhirnya bisa berpapasan dengan tiga mobil dengan selamat. Tidak sampai harus membuang sepeda ke bahu jalan. Meski berumput tapi tidak tahu apakah rata atau banyak berlubang.

Mengejar waktu aku tidak lewat Cietereup ketika ada pilihan Cileungsi/Jonggol. Pikirku ini tembus ke jembatan layang Cileungsi. Jalanan menurun terus membuatku yakin segera sampai rumah. Ternyata jalur ini nongol di tugu pertigaan Jonggol.

Waduh! Mana jalanan macet lagi.

Konsisten mengayuh dan berhenti sekali beli minuman, aku tiba di rumah sebelum petang sungguhan. Total jarak di Strava 128,56 km.

salah satu tanjakan ngehe
ini juga….

(Update: sehari setelah dari Rawa Gede, sepeda mau aku bawa ke bengkel teman untuk disetel ulang. Naas, baru jalan sekitar 200 m, pas ada tanjakan, rantai putus! Mau enggak mau harus diangkut pakai mobil. Ah, untung tidak putus pas pulang dari Rawa Gede. )

“Dikejar” Takut Demi Tumpeng Menoreh

$
0
0

gussur.com – Tetiba saja video tentang Tumpeng Menoreh masuk ke grup WA persepedaan. Aku lantas mencari info dan begitu ada waktu langsung eksekusi. Masih bingung kok mencari Tumpeng Menoreh di aplikasi Komoot belum ada. Sementara di Google Maps alamatnya Sumbersari, Ngargoretno, Salaman, Magelang, Jawa Tengah. Tanya teman, dekat Kebun Teh Nglinggo.

Oke, Kebun Teh Nglinggo aku pernah menjamahnya bersama anak-anak. Lokasinya memang di perbatasan DIY dan Jawa Tengah. Setahuku berbatasan dengan Purworejo. Magelang? Bisa jadi kebun teh ini seperti semenanjung DIY di lautan Jawa Tengah.

Akhirnya Komoot aku arahkan ke Kebun Teh Nglinggo. Kebetulan ada point of interest Parkir Wisata Kebun Teh Nglinggo. Aku pede ngatur settingan ke Mountain Biking. Mencoba seperti apa jalanan yang disuguhkan Komoot.

Dan seperti biasa, karena masih baru memakai Komoot selalu ada kejutan di setiap rutenya. Selain nerabas sawah via pematang, dan masuk perkampungan lewat gang-gang yang kudu hati-hati agar tidak nabrak ayam yang berkeliaran, kali ini rute masuk hutan jati di kawasan Pajangan Bantul. Meski awalnya ragu-ragu, tapi aku pede saja karena jalanan dibeton kiri kanan. Pasti jadi jalur mobilitas manusia.

Benar saja. Di dalam menemui beberapa rumah. Meski berjauhan dan tak membuat koloni. Yang mengagumkan ada lampu penerang jalan sepanjang rute yang kulewati. Banyak simpangan yang menunjukkan bahwa ada kehidupan di tengah hutan jati ini. Tapi tetap saja deg-degan melewati sini kalau malam hari.

Namanya juga pakai MTB, ya kudu lewat jalan tanah.

Settingan MTB di Komoot memang konsisten menghindari sebisa mungkin aspal (road) alias jalan raya lokal maupun nasional. Namun, hampir sepanjang rute jalur yang kulalui sudah dibeton. Efek dari dana desa? Bisa jadi. Cukup membantu mobilitas sepedaku yang mengejar waktu.

Meski sudah dibeton, namun bikin frustasi juga karena betonnya tidak full selebar jalan. Jadi gak bisa zigzag manakala tanjakan terjal. Kadang menyesal dan sempat mau mengubah settingan jenis sepeda di Komoot menjadi touring bike atau road bike. Namun langsung kutepis. Apa menariknya gowes ngikuti jalan raya?

Dan kubayar mahal kengototan itu. Memasuki kawasan Ngargosari, jarak sudah dekat. Namun elevasi mulai menanjak. Jika lewat jalan raya, elevasi menanjak ini konsisten. (Aku tahu kareana pulangnya lewat jalan raya. Demi mengejar waktu pulang sebelum petang.) Beda dengan jalur non-aspal. Mana sempat keluar jalur yang disarankan Komoot lagi. Harusnya tinggal lurus saja, terpaksa harus memutar. Naik turun lagi!

Jalanan masih berbeton, kadang makadam bebatuan besar. Menyusuri pinggang bukit. Di kiri jurang, tak tahu seberapa dalam karena tertutup rimbunnya semak dan pohon bambu. Sesekali menjumpai perkampungan yang khas dengan salakan anjing menyambut. Untung di rumah miara anjing. Jadi seperti ketemu “sahabat” haha….

Ada momen ketika jantung berdebar-debar lebih cepat dari biasanya. Bukan karena jalan menanjak terjal. Tapi ketika sedang mengayuh tiba-tiba melintas seekor ular. Hampir terlindas! Tak berani menengok takut keseimbangan terganggu dan masuk jurang.

Masuk Kulonprogo. Ya, sungai di bawah jembatan itu Sungai Progo, dan aku mengarah ke barat (kulon)

Jantung berdebar lagi ketika sedang mengayuh dalam sepi tiba-tiba berkelebat burung elang (ya, asumsiku elang karena burungnya besar) yang sepertinya kaget mendengar kayuhan pedalku. Mendengar? Ya, pedalku sepertinya sudah kering pelumasnya sehingga berbunyi ketika dikayuh. Tapi di kala gowes sendirian begini dan dalam kesunyian alam, bebunyian seperti ini menjadi teman dan penanda masih ada kehidupan.

Ketika kemudian keluar hutan dan bertemu jalanan aspal, aku sedikit bersorak! Setidaknya melihat peradaban lagi meski masih di kerimbunan pepohonan. Sampai kemudian aku melihat di seberang sana bangunan yang agak familiar. Ya, menara di kebun teh Nglinggo. Dulu bersama si bungsu aku berfoto-foto di sana. Sudah dekat (di mata).

Akhirnya aku melihat pohon teh meski bangunan menara tadi sudah hilang dari pandangan. Kali ini sudah dekat dalam jarak. Sampai juga ke Kebun Teh Nglinggo.

Mana Tumpeng Menorehnya? Ternyata aku datang dari belakang plang Tumpeng Menoreh. Ketika berhenti mau berfoto di kebun teh, aku tersua dengan plang “Tumpeng Menoreh 0 Km”.

Yey ….

Sayang, hanya bisa melihat Tumpeng Menoreh dari jauh. Tiket masuk Rp50.000 (termasuk voucher makan dan minum sebesar Rp25.000) mengurungkan niatku untuk masuk.

“Sampai parkiran sana saja enggak boleh?” aku mencoba menawar ke penjaga loket.

Tawaran yang tak berkesinambungan. Aku pun hanya bisa memotret dari jauh. Bangunan heksagonal bertingkat tiga itu adalah rumah makan sekaligus gardu pandang ke perbukitan Menoreh dan kota Magelang. Bangunan itu berdampingan dengan sebuah bukit mirip tumpeng. Dari sini, Erix Soekamti menamakannya rumah makannya itu Tumpeng Menoreh.

Dari googling aku tahu makanan yang dijual adalah makanan khas Yogyakarta dan sekitar. Pemasaknya adalah ibu-ibu dari wilayah sekitar. Tenaga kerja lain juga melibatkan penduduk sekitar.

Dibuka pada Mei 2021, Tumpeng Menoreh bisa disesaki pengunjung sebanyak 500 orang. Selama pandemi dibatasi separonya.

Jika ingin melewatkan kesempurnaan hari dengan melihat matahari terbit dan terbenam, kita bisa berkemah di tempat yang disediakan. Sewanya Rp25.000 semalam.

Aku pulang lewat jalan raya. Demi mengejar waktu. Jika berangkat menemukan kepingan sejarah berkaitan dengan Pangeran Diponegoro, yakni Eyang Singosari yang menjadi cikal bakal Dusun Daratan III, Desa Minggir, Kabupaten Sleman, maka perjalanan pulang bersua dengan Memorial Jenderal Besar Soeharto di Kemusuk, Argomulya, Bantul.

Melewati Gamping aku menyaksikan geliatnya rumah makan dan penginapan yang menjual pemandangan lepas. Salah satunya Rajaklana yang sempat ingin aku sambangi beberapa waktu lalu.

Sembari mengayuh pulang aku merenung, apakah pemandangan lepas kini muncul sebagai bumbu lapar paling dahsyat selain rasa lapar?

Rute Komoot (bawah) vs Rute Jalan Raya (atas)
Tumpeng Menoreh memang di perbatasan DIY dan Jateng (Magelang)

Merapuh Merbabu: Catatan Seorang Pendaki Te(r)lat(ih)

$
0
0

gussur.com -Entah mengapa hasrat mendaki justru bergejolak ketika umur melewati kepala 5. Tidak dulu sewaktu masih muda. Padahal sempat ikut mendaftar komunitas pecinta alam waktu kuliah. Tapi nasib memang tidak pernah tertulis dalam diari kita.

Setelah gagal menuju Rinjani dan Semeru, ajakan ke Merbabu dari Wiko membuatku iyain aja. Semoga tidak zonk kayak Semeru. Iyain aja ternyata ada masalah lain yang gak bisa aku tinggalkan.

Sempat was-was ketika tiga hari sebelum hari-H tenggorokan meradang. Kugempur dengan jahe dan kumuran air garam lumayan terkendali meski tak sembuh benar.

Kali ini modal iya aja. Peralatan yang dulu sudah kususun rapi tidak terbawa kali ini. Ke Jogja sendiri tanpa rencana gegara kabar ayah yang mengalami kecelakaan. Berita itu sampai ke telingaku saat aku mendaki Puncak Manglayang karena ikut lomba lari trail di Manglayang. Usai finish aku segera istirahat sebentar dan langsung ke Jogja, ke RSKB Ringroad Selatan Yogyakarta.

Untung aku punya teman yang salahsatu bisnisnya menyewakan peralatan kemping. Belakangan setelah ketemu teryata bisnis itu sudah tak dilakoninya karena anaknya yag dulu mengelola sudah bekerja dan tidak bisa disambi.

Aku pun dapat pinjaman keril 75L, tenda kapasitas 4 orang, sleeping bag, dan misting.

Membawa keril segini sambil motoran memang jadi melatih bahu.

Tanggal 29 Oktober sore aku melajukan SupraX menuju Basecamp Thekelan. Dari Google Maps tertera jarak sejauh 90 km. Ini motoran terjauhku setelah Jakarta – Jogja beberapa waktu silam. Dengan membawa keril seberat sekira 25 kg aku menerobos kawasan kota Yogyakarta sebelum masuk Muntilan, lewat Mungkid belok ke Candimulyo dan berakhir di belakang kawasan wisata Kopeng.

Sayang, sampai Kotagede gerimis mulai menguji ketegaranku. Awalnya aku mengira hujan lewat. Tapi tambah deras saja dan membuat aku minggir dan mulai memakai mantol. Sepatu kulepas dan kugantikan sendal. Berbahaya tapi tidak ada pilihan lain. Aku cuma bawa satu sepatu. Gak kebayang kalau basah dan esoknya harus kupakai mendaki.

Berbeda dengan motor matic kekinian yang kaki bisa sedikit nyaman bersembunyi di deknya, motor bebek kopling tak memberikan perlindungan tambahan pada kaki yang nyeker. Butir air yang jatuh ke kaki aku anggap sebagai refleksi kaki.

Hujan tak reda juga sampai tiba di Mungkid, Magelang. Di Waze diarahkan ke kanan ambil jalur menuju Kawasan Pinus Kragilan. Belum hapal dengan rute itu aku minggir sebentar meneduh ke sebuah ruko yang sudah tutup.

Mengambil earphone, memasangkan ke kedua lubang telinga, dan mencolokkan ujungnya ke colokan audio ponselku. Lalu memakai kembali mantol, dan helm. Aku kemudian melajukan motorku lagi.

“300 meter di depan ambil jalur kanan menuju ke Jalan Blabak,” suara navigasi Waze terdengar jelas diantara riuh kendaraan dan senandung hujan di sore hari.

Beruntung teknologi memudahkan dalam eksplorasi kita. Begitu memasuki jalan arah Candimulyo, aku hanya menggantungkan nasib ke Waze.

Suasana sudah gelap dan aku penasaran melihat ke jam di pergelangan tangan kanan yang memegang handle gas. Entah sudah berapa ribuan titik hujan memijat punggung tanganku ini. Karena hujan sarung tangan aku lepas.

Baru jam 4.35! Tapi sudah serasa mau Maghrib saja. Jalanan menuju Candimulyo memang relatif sepi dan kanan kiri banyak pohon besar. Namun konturnya naik turun. Jadi pingin gowes ke sini kapan-kapan. Napak tilas sekaligus menengok basecamp-basecamp pendakian G Merbabu.

Ketika melewati lapak-lapak durian di kanan-kiri jalan, baru aku sadar. Oalah, ini kan sentra durian di kawasan Magelang. Aku pernah ke sini dulu. Pantas saja seperti deja vu dengan situasi jalannya. Gelap dan hujan membuatku enggan menuruti kata hati untuk mengincipi durian. Aku belum tahu lokasi basecamp Thekelan.

Sore itu benar-benar tintrim perasaanku. Baru pertama kali lewat jalur ini. Sepi. Sesekali melewati perkampungan. Sedikit bungah ketika Waze memberi tahu 300 m di depan belok kanan masuk jalan Magelang – Kopeng.

Nyatanya perjalanan masih jauh dan mulai menanjak konsisten. Kabut mulai bermain-main dengan hujan yang tak mau berhenti juga. Jadi teringat ketika melewati jalur ini naik mobil dari Magelag ke Salatiga.

Waze masih memandu ketika memberi aba-aba untuk belok kanan selepas plang “Kawasan Wisata Kopeng”. Agak gedandapan aku karena jalurnya ramai dan aku masih di sisi kiri. Akhirnya pelan-pelan bergeser sambil melihat spion motor. Tepat di ujung pertigaan aku arahkan motor ke kanan.

Kembali aku deg-degan melihat suasana jalanan. Sekitar 500 m dari pertigaan tadi jalanan sudah sepi dari kehidupan. Benar-benar mengandalkan arahan Waze dan berdoa semoga batere tidak habis. Aku bawa powerbank sih. Tapi mesti minggir mencari tempat teduh yang tak tahu ada di mana.

Cukup jauh sebelum akhirnya menemukan pemukiman, kemudian sepi lagi memasuki pinggiran hutan, sebelum sumringah diberi tahu basecamp tidak jauh lagi.

Sekitar pukul 18.30 akhirnya sampai di Basecamp Thekelan. Memarkir motor dan kemudian lapor ke petugas, lantas mencari tempat kosong. Dari pintu masuk, tempat menginap para pendaki ada di sisi kanan dan kiri. Di sisi kiri sudah ada rombongan, dan di sisi kanan baru sebagian. Kebetulan bagian pojoknya kosong. Segera aku menaruh keril dan mengecek barang-barang. Niat mandi kalah dengan hawa dingin. Jadi ke belakang cuma pipis saja.

Aku sedikit heran bahwa punggungku tidak merasa pegal setelah sekitar 3 jam mengendarai motor sembari menggendong keril. Setelah mengiyakan ikut aku memang mulai berlatih penguatan core lagi. Membuka apps Freeletics dan Madbarz yang lama menganggur. Tapi hanya melihat jenis-jenis latihan saja Tidak menjajal menunya.

Karena tak ada gangguan di punggung itu aku lantas mencari warung buat ganjel perut. Tak jauh dari basecamp ternyata.

Perut terisi, saatnya merebahkan tubuh yang lelah. Sempat tidur lelap sampai akhirnya terbangun karena mendengar suara riuh. Dengan enggan aku membuka masker (karena tidak terbiasa tidur dengan lampu menyala aku memakai masker untuk menutup mataku) dan kaget. Ternyata ruangan sekretariat basecamp sudah penuh dengan pendaki. Sebelahku yang tadinya kosong sudah berjejer-jejer tubuh terlelap. Keriuhan terjadi di tengah ruangan yang tadinya tempat kosong sekarang dikasih alas tidur. Bedanya dengan di sisi kiri-kanan tidak adanya alas kayu. Jadi langsung ke ubin. Enggak terbayang bagaimana dinginnya alas itu. Apa karena itu mereka pada enggak tidur?

Ah, aku jadi beruntung datang kepagian yang sudah sore. Ternyata semakin malam semakin banyak saja yang datang.

Aku lihat jam di tangan menunjukkan waktu sudah lewat tengah malam. Untuk membunuh waktu aku membaca-baca sambil diselingi main game.

***

Pagi bangun ternyata rombongan dari Jakarta belum tiba. Semalam memang ada kabar kena macet di Tol Cikampek. Sekitar jam 7 baru tiba di Basecamp. Setelah beberes, kami pun mulai mendaki pada pukul 8.40.

Jalanan langsung menanjak, memasuki perkampungan Thekelan. Sekitar satu kilo kemudian baru keluar perkampungan. Kiri kanan berganti dengan kebun penduduk.

Jalur Thekelan merupakan jalur tertua di antara jalur lain menuju Merbabu. Jalur ini ada di sisi utara Merbabu. Geser sedikit ke Barat ada jalur Cunthel dan Wekas. Ke Barat lagi ada jalur Swanting. Sementara di sisi Selatan ada jalur Selo. Jalur Thekelan, Cunthel, dan Wekas nanti akan bertemu di sekitar Pemancar.

Keistimewaan jalur Thekelan adalah akan melewati Watu Gubug. Sebuah batu besar dengan rongga sempit di dalamnya. Cukup untukberlindung seorang diri dari terjangan badai. Konon kabarnya ruangan ini bisa menjadi jalan menuju dunia lain. Aku mencobanya masuk. Agak susah dengan menggendog keril.

Kami memutuskan buka tenda di Pemancar. Dari Watu Gubug tadi jarak ke Pemancar sudah dekat. Sekitar 500 m namun menanjak.

Sebelum sampai ke Watu Gubug, kita akan melewati empat pos. Pos 1 Pending (1.922 mdpl), Pos 2 Pereng Putih (2.200 mdpl), Pos 3 Gumuk Menthul (2.361 mdpl), Pos 4 Lempong Sampan (2.525 mdpl). Menuju Pos 1 dan Pos 2 kita akan melewati hutan tutupan yang cukup rapat. Di sepanjang jalur ini kita terkadang bisa melihat aktivitas penduduk membuat arang. Di Pos 1 dan 2 ada keran jika ingin mengisi persediaan air.

Selepas pos 2 baru tutupan hutan mulai terbuka digantikan sabana sampai ke puncak. Kita akan melewati Akasia Kembar dan Akasia Tunggal. Pohonnya sudah meranggas. Sepertinya bekas terbakar. Jalur setapak sudah dominan tanah gembur. Jadi, siap-siap saja kalau hujan bakalan licin.

Dari pos 4 ke Watu Gubug kita akan melewati sabana dengan jalur setapak meliuk-liuk. Jika cuaca cerah Pemancar sudah terlihat dari sini. Begitu dekat tapi cukup melelahkan untuk mencapainya.

Beristirahat di Watu Gubug menjadi pilihan menarik. Toh Pemancar tinggal sejengkal lagi. Menuju Pemancar jika tidak mau mendaki di antara bebatuan, pilihlah jalur kanan.

Sekitar lima jam aku sampai di Pemancar, dengan jarak tempuh sekitar 6,4 km.

Setelah makan, mendirikan tenda, dan beberes lainnya kami pun meriung menunggu matahari terbenam.

Malam harinya, hampir semua dari kami masuk tenda. Angin berhembus cukup kencang. Dalam hal ini persiapanku kurang. Hanya membawa sweater tipis dan kaos kaki dobel. Aku pun memutuskan masak di dalam tenda. Sempat keluar sebentar buat melihat suasana dan kencing, lantas masuk tenda lagi. Kepala pusing karena telat makan.

Namun semakin malam semakin ramai saja camping ground Pemancar. Malah kemudian tenda sebelah pada ngobrol dengan suara yang keras. Tak bisa tidur tapi coba kupaksa. Terkadang membuka buku-el membaca-baca beberapa lembar.

Lewat tengah malam, obrolan tenda sebelah meredup. Sayangnya, diganti dengan suara ngorok. Waduh, tidak terbayangkan mereka yang setenda dengan sumber pengorok ini. (Ketika aku keluar lagi, ternyata tenda sebelah adalah dua tenda ramai-ramai yang digabung jadi satu. Pantas tadi ramai banget. Kuperkirakan ada enam orang di dua tenda itu.)

***

Pagi hari berharap dapat matahari terbit ternyata gagal juga. Mendung hitam menggumpal menutupi matahari terbit. Tak apalah. Jika berhubungan dengan alam kita sepertinya tak punya kuasa untuk mengatur.

Pagi ini acaranya muncak! Gunung Merbabu memiliki tiga puncak: Puncak Syarif (3.137 mdpl), Puncak Kenteng Songo (3122 mdpl), Puncak Triangulasi (3142 mdpl). Jika naik dari sisi utara maka akan bertemu dengan Puncak Syarif dulu, kemudian baru ke Kenteng Songo melewati Ondorante (plus Geger Sapi jika mau menjajal sensasi berjalan di jalur setapak dengan kanan kini jurang tanpa pepohonan), dan terakhir Puncak Triangulasi.

Kami ke Kenteng Songo dulu sebab kalau ke Puncak Syarif harus ambil jalur kiri di pertigaan dari Menara Pemancar. Dinamakan Kenteng Songo karena di puncak ini ada kenteng (lumpang) berjumlah sembilan dalam terawangan paranormal. Kalau wujud fisiknya sendiri ada sekitar 5. Dari sini ke Puncak Triangulasi hanya seperti pindah bukit saja.

Yang menggelitik dalam benak tentu Puncak Syarif. Mengapa disebut Syarif? Dari pencarian Mbah Google, salah satunya, dulu ada buronan Belanda yang bernama Syarif melarikan diri ke puncak ini dan mendirikan gubug. Nah, soal keberadaan makamnya masih simpang siur. Ada yang bilang di dekat puncak situ, yang lain bilang di pemukiman dekat Desa Thekelan.

Menuju ketiga puncak itu kita akan melewati kawah candradimuka, dan sumber air jika persediaan air kita habis. Menuju sumber air ini harus waspada membaca petunjuk plang tulisan “Air” karena posisinya menghadap saat kita mau ke puncak. Aku sempat kelewatan saat turun dari puncak dan kembali ke tenda. Penanda yang jitu ya patok oranye bikinan TN Gunung Merbabu.

Sumber air di sini bukan model keran seperti di Pos 1 atau 2. Hanya menyabot pipa pralon yang melintasi area ini. Jadi setelah selesai ambil air, jangan lupa disambungkan kembali pralonnya.

Sampai tenda langsung bikin mi rebus. Serbuan ke tiga puncak memang menguras tenaga. Apalagi belum sarapan. Hanya dijejali kurma dari Daru.

Habis makan, langsung bongkar tenda. Foto-foto keluarga di dekat Pemancar dan langsung pada bubar turun. Rombongan terpencar dalam beberapa grup. Aku ternyata di rombongan kedua, sendiri. Mencoba nonstop turun, akhirnya sampai juga di basecamp setelah 1,5 jam kemudian.

Keinginan pertama begitu sampai basecamp adalah mandi. Terus makan. Lantas ngepak barang, cusss … pulang. Kali ini keril aku taruh di boncengan motor setelah sebelumnya membeli tali rafia.

Kembali aku kehujanan dari basecamp sampai Muntilan. Di Yogya kadang terkena gerimis. Sampai rumah sudah menjelang sore. Takut kena masuk angin aku minum antangin dan teh pahit hangat. Lumayan membuat tubuh nyaman. Hanya batuk yang makin menggila.

Malamnya baru terasa tubuh seperti remek. Merapuh. Entah bagaimana ceritanya jika sebelumnya aku tak latihan core lagi. Bisa jadi tubuh hancur. Beginilah nasib pendaki telat yang mengaku terlatih. Tertatih-tatih dan telat.

O ya, sewaktu briefing sebelum mendaki, ada catatan dari pihak TN G Merbabu soal pantangan bagi pendaki. Yakni tidak buang air di Watu Gubug dan sekitar Kawah. Juga tidak diperkenankan mengenakan pakaian warna merah dan hijau pupus.

https://youtu.be/yeEPUzjQquo

Mencoba Batas Tubuh(ku) Berlari

$
0
0

gussur.com – Jangan paksa tubuh beraktivitas berlebihan. Kita sudah tua, tak usah cari gara-gara. Cari sehat, jangan sekarat. Begitu yang aku dengar ketika aku mencoba memaksa tubuh beraktivitas lebih dari biasanya. Nasihat-nasihat yang membuatku waspada meski juga semakin memberi semangat, sampai sejauh mana aku bisa membawa tubuh ini bergerak.

Di akhir tahun aku memperoleh momen untuk menguji batas tubuhku. Bermula dari lomba lari amal Run to Care (Kem)Bali 27 November 2021 sejauh 62,34 km, lalu virtual HM pada 5 Desember 2021 sejauh 23,72 km, disusul Maybank Marathon Anywhere pada 12 Desember 2021 sejauh 43,14 km, dan diakhiri virtual Final Battle UM ITB pada 19 Desember 2021 berjarak 50,88 km. Total lari di akhir pekan selama sebulan 180.08 km.

Di sela-sela akhir pekan itu tentu aku tetap menjaga kelenturan otot, baik dengan lari santai, berenang, atau bersepeda. Semua demi mempertahankan kebugaran.

Untuk mempersiapkan Run to Care, aku intensif lari nanjak. Soalnya aku kebagian jalur yang dominan nanjak. Kebetulan sering ke kampung halaman menengok dan merawat kedua orangtua yang sudah lansia, plus mengalami kecelakaan (bapak) serta pernah mengidap COVID-19.

Kampungku berlokasi di wilayah berbukit yang menyediakan ragam tanjakan.

Gambar 1. Dengan jarak sekitar 12 km pp sudah bisa memperoleh Elevation Gain sekitar 400 m. Bisa untuk melatih nanjak plus turun.
Gambar 2. Dengan jarak 1 km sudah bisa memperoleh tanjakan dan turunan sekaligus. Tinggal seberapa kuat bolak-balik.
Gambar 3. Kombinasi jalan datar dan menanjak di akhir.

Dari ketiga rute tadi, rute pertama (Gambar 1) sering aku lakoni. Hanya diselang-seling, jika sedang melatih nanjak maka pas nanjak berusaha konsisten lari di pace yang nyaman. Pas turun kadang lari kadang jalan. Begitu sebaliknya, pas latihan turunan konsisten lari di pace nyaman. Lalu sekali aku lakukan keduanya, lari konsisten baik pas nanjak atau turun.

Rute kedua, Gambar 2, aku lakukan jika tak banyak waktu. Kadang sore hari ketika pagi banyak kerjaan. Di rute ini ada warung, yang akhirnya pemiliknya tak tahan berkomentar ketika melihat aku lari bolak-balik kayak kurang kerjaan. Ya aku bilang saja lagi pingin nyari keringet.

Nah, untuk rute ketiga (Gambar 3), aku jadikan uji latihan. Melatih endurance sekaligus kekuatan otot untuk menanjak dan menurun. Rute menurun ini sama seperti rute menurun di Gambar 1. Jalurnya relatif adem karena melewati hutan yang cukup pepat.

Selain latihan lari nanjak dan turun, aku juga kembali latihan kekuatan otot. Meski enggak seintensif ketika ikut challenge akhir tahun. Sekadar squat, push up, burpees, dan jongkok bersandar tembok.

Hasilnya?

Gambar 4. Leg 2 R3 Run to Care (Kem)Bali 150K.

Terlihat di garis biru, pace cenderung konstan, meski bergejolak ketika mulai menyentuh km 15. Leg 2 ini start pukul 09.00 dari Toko Oleh-Oleh Krisna Gianyar menuju SMA I Payangan Gianyar dengan menjenguk Danau Batur. Pusat hidrasi (WS) per 13 km. Sewaktu sampai WS 2 hujan deras mulai mengguyur sampai di puncak rute.

Sempat melakukan stretching di WS 2 ini, sebelum akhirnya menembus hujan menuju Danau Batur dan turun ke SMA 1 Payangan. Masih bisa konsisten lari sampai km 20-an sebelum akhirnya mengambil jurus lari-jalan.

Turunan masih bisa menikmati dua pertiga rute tersisa. Sepertiganya pakai jurus jalan-lari lagi. Soalnya ada tanda-tanda mau blister. Aku membawa kaos kaki cadangan sebenarnya. Tapi jarak yang tinggal 10-an km bikin badan malas berhenti, duduk, membuka sepatu, mengganti kaos kaki, dan beberes lagi. Takut keenakan berhenti dan malah akhirnya keterusan. Akhirnya sampai di SMA 1 Payangan sekitar pukul 18.00. Jarak total 62,34 km.

Usai finish Run to Care otot-otot kaki masih kontraksi meski sudah minta terapi. Mencari terapis khusus yang disiapkan teman-teman tidak bertemu, akhirnya aku memakai terapis panitia. Bisa ditebak kurang maksimal karena bisa jadi kelelahan atau terapis yang belum berpengalaman. Alhasil aku kram di velbed CP 2 di SMA 1 Payangan ini. Setelah reda baru makan malam.

Kembali ke penginapan langsung stretching lagi dan mandi air anget. Badan jadi segar kembali dan ketika leg 3 butuh tim support maka aku pun menyanggupinya. Itung-itung sekaligus istirahat di mobil.

***

Sepertinya sudah bisa swa-stretching dengan benar sehingga Selasa sudah bisa lari santai lagi. Sabtu sore melemaskan kaki dengan gowes santai ke pembukaan warung Mas Nug di Ciledug. Pulang pergi sekitar 36 km.

Minggu paginya mencoba long run, dapatlah HM lebih sedikit.

Gambar 5. HM seminggu setelah Run to Care (Kem)Bali

Selain dengan berenang dan bersepeda, aku juga mengasup makanan tinggi protein sekaligus karbohidrat. Buat nabung tenaga virtual Maybank Marathon minggu depannya. Jadi long run ini sekaligus latihan buat MMA itu, yang kebetulan aku ambil kategori FM.

Awalnya mau lari bersama teman di kawasan Bintaro. Tetiba saja kok berpikir malas kembalinya. Akhirnya memutuskan lari di Jakarta saja.

Gambar 6. Maybank Marathon Anywhere kategori FM

Target kali ini 6 jam. Mengingat pingin berlari dalam rezim HR. Aku mematok 140 untuk HR kali ini. Pemilihan rute relatif datar. Cuaca sedikit mendung, tapi beranjak siang mulai muncul matahari. Self support, jadi ya WS kupatok per 10 km. Dalam beberapa latihan lari aku mencoba minum setelah 10 km meski tetap membekal air. Menjelang km 20 bertemu teman yang belajar fotografi di kawasan Kota Tua. Ngobrol cukup lama. Sesuai target aku berhenti agak lama di WS 3.

Rute FM ini banyak di trotoar sehingga sedikit kurang nyaman di kaki tapi aman bagi badan dari ancaman kesenggol atau ketabrak kendaraan. Kasih bonus 2 km, akhirnya finish juga sesuai target jam dengan HR rata-rata 131.

***

Aku merasa nyaman saja meski VO2 Max drop dari 47 ke 43. Makanya agak termotivasi untuk ikut lomba UM ITB yang offline Bandung – Cirebon. Ikut yang relay 2. Karena Sabtu ada acara pagi maka aku memilih leg 2 yang jaraknya 75km. Apa daya tanggal-tanggal itu kepala sedang bertanduk dengan pekerjaan. Jadilah batal dan beralih ke virtual Tim 2 berjarak 100 km. Jadi lari 50 km pada tanggal 18 – 19 Desember 2021. Aku memilih lari di 19 Desember.

Karena terbelenggu pekerjaan, jadinya aku cuma bisa lari santai saja. Jarak tak lebih dari 15 km. Harusnya diimbangi dengan renang dan sepedaan. Tapi mana sempat??? Ditambah jam tidur yang kurang (dua malam menjelang lari aku hanya tidur kurang dari 5 jam), aku sudah was-was akan ada drama dalam lari pamungkas ini.

Akhirnya pas hari H aku mencari rute yang relatif flat. Muter Monas sampai km 20 terus lanjut ke GBK menghabiskan sisanya. Benar saja, efek kurang istirahat dan cross training langsung terasa. Baru menapak di pal 5 km saja betis sudah meringis manja. Aku mencoba lari santai, memelankan pace. Sukses sampai km 20 mengelilingi Monas dengan pit-stop di Alfamart Gambir.

Perjalanan ke GBK sudah compang-camping. Agak menyesal memakai jersey berlengan. Basah keringat bikin gak nyaman. Juga vest seperti memberatkan saja. Efek kurang istirahat mulai terasa. Makanya, ketika sampai WS 2 km 30, aku ngopi dan rebahan. Untung ada karton bekas kardus Aqua di lapak tempat aku ngopi.

Terasa benar kopi dan rebahan tadi. Meski harus muter-muter di taman-taman sekeliling ring luar GBK mencari tempat adem, sampai juga di WS 3 km 45. Serasa sudah finish saja. Tapi, kali ini kaki, terutama betis, seperti sudah menembus batas lelah. Tanda-tanda kram mulai terasa.

***

Ketika merendam kaki di genangan air dingin, aku masih melihat pergerakan otot-otot di betis. Sesekali aku mencoba mengurut. Menjadi mendingan tapi tetap saja sampai Senin keesokan harinya betis masih pegal. Baru di Senin malam betis berangsur normal.

Gambar 7. Lari pamungkas.

Dari grafik-grafik tadi terlihat masih banyak PR jika ingin mengejar tiga digit tahun depan. Terutama cadence perlu ditingkatkan. HR sudah nyaman di angka 130-an. Semoga dengan rutin berlatih pace bisa meningat sambil tetap mempertahankan HR.

Selamat menatap penghujung tahun. Resolusi tahun depan: tiga digit dan triathlon.

Viewing all 92 articles
Browse latest View live