gussur.com – Angkutan bus Antar Kota Antar Provinsi (AKAP) tak lantas mati ketika PT KAI berbenah. Juga ketika jalan tol Trans Jawa memanjakan kendaraan pribadi. Ada ceruk pasar yang belum tersentuh oleh keduanya.
Inovasi memang jadi kunci untuk angkutan bus bertahan. Salah satunya menjual kenyamanan selama berkendara. Salah satunya dengan menawarkan sleeper bus. Penumpang bisa tidur dengan nyaman selama perjalanan karena kursi yang diduduki dirancang seperti tempat tidur, namun bisa pula untuk duduk-duduk santai.
Beberapa perusahaan transportasi bus sudah memiliki armada sleeper bus. Kapasitasnya hanya sekitar 20-an kursi, alias separo bus eksekutif. Ada PO Puteramulya, PO Handoyo, dan PO OBL Safari Dharma Raya. Setidaknya itu yang kusua saat mau memesan tiket.
Pilihan jatuh ke PO Handoyo karena ada titik kumpul di Lebakbulus. Lebih gampang dan mudah aksesnya. Ongkosnya Rp290an ribu.
Salah satu kelemahan naik bus yang mesti diperbaiki adalah titik kumpul. Hampir semuanya kurang nyaman. Pun itu di pool mereka. Terlebih yang hanya nebeng di tempat ramai-ramai. Aku berpikir mengapa tidak urunan beberapa PO membuat tempat menunggu yang nyaman?
Titik kumpul di Lebakbulus ini kupikir semacam shelter di terminal. Ternyata hanya tanah kosong di pojokan perempatan Pasar Jumat, seluas sekitar 500 m2. Ada dua pintu untuk masuk dan keluar bus. Di satu sisi berderet-deret agen penjualan beberapa PO, di sisi lain berderet warung-warung makan dan kopi. Di salah satu pojok ada tempat duduk untuk menunggu berupa deretan kursi kayu asal bisa diduduki. Pas menuju ke situ, langsung gak berminat. Banyak sampah dan bau pesing. Akhirnya pindah ke warung kopi.
Dibanding moda transportasi lain, naik bus terasa mewah dalam hal waktu. Bus Handoyo aku tumpangi keluar dari titik kumpul Lebakbulus ini pukul 15.00. Kemudian mampir ke beberapa titik kumpul lain yang searah ke Tol Cikampek. Setidaknya ada empat titik penjemputan sebelum akhirnya masuk Tol Cikampek sekitar pukul 17.00 dan melaju terus sampai tempat tujuan.
Sleeper bus Handoyo ini berkapasitas 21 penumpang. Tempat tidur terbagi atas dua dek, atas bawah, kiri kanan. Untuk masuk ke kursi masing-masing, penumpang harus copot alas kaki. Pihak bus memberikan tak plastik untuk menyimpan alas kakinya. Saranku sih pakai sendal saja. Lebih mudah jika mau naik-turun bus.
Oya di beberapa titik jemput tadi bus berhenti agak lama. Misal ketika berhenti di Pulogadung, kita bisa turun dan makan tanpa terburu-buru. Nanti kalau sudah masuk tol Cikampek bus akan berhenti untuk makan malam di sebuah rumah makan khusus untuk bus-bus malam. Sepertinya di daerah Cirebon.
Kembali ke kursi penumpang, bagi yang memilih dek atas, ada tempat pijakan dan pegangan tangan untuk naik. Tak ada masalah bagiku untuk naik. Untuk lansia dan mereka yang overweight sepertinya agak kesulitan.
Usahakan bawa tas minimal pas ke kursi ini. Soalnya tidak ada tempat menaruh barang. Jadi membawa dua tas sangat aku sarankan. Tas besar bisa ditaruh di bagasi. Tas kecil bisa kita bawa ke kursi.
Aku memilih dek atas. Ternyata tidak ada colokan listrik atau usb untuk charge ponsel. Yang milih dek atas siapkan powerbank. Colokan listrik ada di lantai bawah. Itu pun hanya ada satu kombinasi colokan di depan, dan satu di belakang. Kalau tidak salah tiga colokan. Jadi harus cepat-cepat pakai kalau kosong.
Pihak bus sudah menyediakan bantal kecil dan selimut. Untuk menjaga privasi penumpang, ada tirai yang bisa digeser-geser. Jadi seperti hotel kapsul mini. Ketika sandaran kursi direbahkan maksimal, tempat duduk pun sudah selayaknya tempat tidur. Tak perlu sungkan merebahkan maksimal sandaran kursi ini sebab jarak antarkursi sangat lega. Juga ada pembatas, sehingga kita agak susah melihat penumpang di depan atau di belakang kita.
Ketika bus melaju, lampu utama dipadamkan. Untuk lorong ada lampu led di plafon bus yang cukup terang menyinari lorong bus. Di kubikel penumpang ada lampu kecil di pilar sisi luar. Lebih dari cukup menurutku untuk sekadar membaca teks di layar ponsel.
Aku pikir bus ini melaju terus ke Jogja lewat tol Trans Jawa dan keluar di Kartasura, masuk Jogja dan “ngandang” di poolnya di Magelang. Ternyata keluar Weleri dan menuju Jogja via Temanggung. Sepenggal jalur ini membuat tidurku terganggu karena jalurnya berkelak-kelok. Padahal baru dalam fase siap mimpi. Alhasil baru bisa tidur pulas saat memasuki Magelang dan tergagap-gagap ketika dibangunkan sudah sampai Terminal Jombor.
Masih lega untuk orang bertinggi 174 cm.
Aku lihat jam baru pukul 02.15. Hadeuh … Terlalu cepat dari perkiraan yang pukul 05.00. Ternyata masih ada satu penumpang yang turun di Jogja sisi selatan. Aku pun tidak jadi turun di Jombor dan ikut turun bareng penumpang terakhir. (Terminal Jombor di Jogja sisi utara, sedangkan rumah yang kutuju ada di selatan kota Jogja.)
Karena janji dijemput jam lima pagi, tapi sampai terlalu cepat, aku pun ngojek untuk sampai tempat tujuan.
Sebagai alternatif moda bepergian, sleeper bus ini bersaing dengan kerera kelas eksekutif. Terlebih untuk mereka yang tinggal di seputaran Temanggung dan Magelang yang nanggung juga jika naik KA yang turun di Gambir atau Lempuyangan, pusat kota Jogja.
gussur.com – The summit is what drives us, but the climb itself is what matters. – Conrad Anker.
Conrad Anker adalah seorang pemanjat tebing, pendaki gunung, dan seorang penulis kelahiran California, AS, 27 November 1962. selama 26 tahun ia menjadi tim pendaki The North Face. Pada 1999, ia menemukan mayat George Mallory, yang meninggal di puncak Everest. Waktu itu ia menjadi bagian dari anggota tim pendaki yang mencari keberadaan pendaki Inggris yang sohor itu.
Jadi, aku meyakini betul apa yang diucapkan di awal tulisan ini. Itu pula yang ingin kubagi dalam blog ini sehubungan dengan pendakianku belum lama ini ke Gunung Raung di ujung timur Pulau Jawa.
Setelah gagal ke G Rinjani dan G Semeru pada akhir tahun 2021, maka G Raung via Kalibiru menjadi pembalasan dendam untuk muncak. Sebelum ke G Raung, ada ajakan ke G Latimojong. Sayang aku lupa bayar DP sehingga kesempatan itu hilang. Entah bagaimana ceritanya, ada tawaran di tanggal yang berdekatan ke G Raung, Maka langsung aku iyain. Apalagi sedang ramai film KKN di Desa Penari yang katanya lokasi kejadian di sebuah kampung di bawah G Raung.
Gunung Raung memiliki ketinggian 3.344 m di atas permukaan laut, masih di bawah Gunung Semeru sebagai atap Pulau Jawa. Namun Gunung Raung memiliki kaldera atau kawah terluas di Pulau Jawa. Hanya kalah dari G Tambora untuk ukuran Indonesia. Selain itu jalurnya ekstrem.
Aku sempat mengajak teman karena kuota masih ada. Tapi mendengar akan menggunakan ELF temenku mundur. “Capek di badan. Mengapa enggak naik kereta aja?” begitu tanya teman. (Sebagai informasi, jika ingin menggunakan jalur kereta api dari Jakarta bisa turun di stasiun Kalibaru, dan dari sini naik ojek ke basecamp di daerah Wonorejo.)
***
Mampir RS nyari surat sehat
Terus terang aku jadi kebayang juga melakukan perjalanan darat dari Jakarta ke ujung timur Jawa ini akan melelahkan. Perjalanan terjauhku via tol trans-Jawa ini hanya mentok di Solo. Bukan berarti belum pernah merasakan ujung tol trans-Jawa ini sebab sebelumnya pernah naik bus dari Jogja ke Bali yang notabene lewat separo sisi timur tol trans-Jawa ini.
Begitulah, 25 Mei 2022 sekitar jam 8.30 malam aku sudah di tempat kumpul di parkiran bus bayangan UKI Cawang Jakarta Timur. Begitu turun dari jok tukang ojek aku celingukan mencari teman seperjalanan. Ada 13 kawan seperjalanan kali ini. Beberapa aku sudah kenal dan yang lainnya baru bertemu muka kali ini. Kalau bertemu virtual sudah beberapa kali lewat grup WA yang dibikin ketua rombongan.
Melihat ada orang duduk di warung dengan keril di sampingnya aku mendatanginya. Siapa tahu teman seperjalanan. Setelah saling sapa baru tahu, dia mau naik G Rinjani lewat jalan darat. Busettt … untung temanku tadi gak denger bakal kisah epik ini. Jakarta – Lombok via jalur darat, menyeberang dua selat. Betapa kuat kali pantat kau!!!!
Di tengah obrolan sebuah pesan di WA muncul mengabari kalau ada teman yang sudah kumpul di parkiran bayangan ini. Aku pun pamit dan bergabung dengan teman-teman seperjalanan. Kali ini aku berkenalan dengan teman-teman baru. Om Asep, Om Arif, Om Avip, Om Doni. Selebihnya pernah bertemu dalam pendakian-pendakian sebelumnya. Inilah keajaiban dunia medsos. Kesamaan hobi bertemu di dunia maya dan lantas bersambung ke dunia nyata.
Telat dari jadwal, kami akhirnya meluncur memasuki tol Jakarta Cikampek sebagai awal tetirah menyusuri jalur tol sepanjang 840 km sebelum keluar di Probolinggo dan melanjutkan ke Banyuwangi lewat jalan arteri.
Aku begitu ngantuk sehingga selepas Jatiwaringin Jakarta Timur sudah lelap dalam guncangan Elf. Bangun-bangun sudah di rest area km 396 (?). Melihat jam yang sudah berganti hari kaget juga. Ternyata memang tadi terkena kemacetan di sepanjang jalan. Utamanya karena memang akhir pekan yang panjang (tanggal 26 Mei adalah libur nasional hari Kebangkitan Isa Almasih), serta Elf tidak bisa masuk jalan tol layang Cikampek.
Aku baru bisa menikmati perjalanan ketika sudah masuk wilayah Jawa Timur. Deretan gunung kembar Arjuno-Welirang melemparkan ingatan saat-saat dramatis mencari puncak sejati Welirang. Lalu terlihat G. Argopuro, salah satu daftar tunggu pendakian selanjutnya. Keunikan pendakian G. Argopuro adalah lamanya waktu serta titik awal dan akhir tidak sama, Jadi ini sebuah perjalanan mendaki dari satu sisi ke sisi yang lain.
“Di sana yang kita temui adalah pendaki-pendaki searah. Tidak ada yang papasan dengan kita,” kata Om Asep.
Masih tersisa kantuk membuat aku terkadang terlelap. Namun menjadi segar ketika laju kendaraan tidak seperti sebelumnya. Agak grusa-grusu. Ternyata sudah masuk ke jalur non-tol dan di depan banyak truk-truk berjalan lambat. Jadi sopir beraksi untuk menyalip iring-iringan kendaraan sambil berharap dapat celah untuk menyelinap ketika dari lawan arah muncul kendaraan lain. Jalur ini memang jalur menuju ke penyeberangan Ketapang – Gilimanuk.
Ada satu momen ketika aku, dan teman-teman seperjalanan, menahan napas dan (mungkin) merapal doa keselamatan. Bagaimana tidak. Saat itu Elf berusaha menyalip sebuah bus dari sisi kiri. Ada sedikit celah memang, tapi tidak merata sepanjang jalan. Sementara jalanan ramai.
“Gusti paringo slamet …” batinku ketika bus seperti tak mau mengalah sementara badan jalan tak sanggup menanggung dua kendaraan besar melintas bersama. Alhasil Elf pun turun ke jalan tak beraspal dengan guncangan yang membuat kami teraduk-aduk fisik dan jiwa. Akhirnya kami lega ketika Elf kami kembali ke jalan aspal di depan laju bus. Hanya lambaian tangan kiri sopir sebagai kode minta maaf.
Kami maafkan, tapi tak bakal kami lupakan …..
Sebelum sampai basecamp, sekira Maghrib, kami berhenti di sebuah RS untuk meminta surat sehar dari dokter. “Takut di klinik dekat basecamp sudah tutup,” kata Om Reza yang didapuk jadi ketua rombongan yang mengurusi segala administrasi pendakian ini.
Setelah entah berapa kali aku mengangkat dan memindahkan pantat di kursi yang makin lama makin tak nyaman, akhirnya kami pun tiba di base camp Pak Widi. Hampir jam 10 malam. Nyaris 24 jam kami di atas roda. Untung temanku tadi enggak ikut. Kalau ikut pasti ada rasa bersalah di diriku mengajak dia.
Selepas mandi dan beberes aku pun mencoba merebahkan tubuh. Saking penatnya, tindihan kucing di paha aku abaikan. Semoga tidak gantian ketindihan kala aku berubah posisi.
***
Foto bareng sebelum ke Sekretariat lalu hiking.
Pagi sekitar jam 5 aku bangun. Malas mandi, makanya cuma buang hajat dan cuci muka plus gosok gigi. Sarapan nasi sayur tunas kelapa dan ayam goreng plus bakwan jagung goreng menjadi pengawal pagi dan bekal tenaga untuk pendakian ke Campsite 7, tempat kami akan berkemah,
Dari basecamp kami mampir di Sekretariat Pendakian G Raung untuk mendaftar serta diberi penjelasan singkat tentang aturan pendakian. Yang perlu diperhatikan dalam pendakian ini adalah wajib ada guide. (Soal kewajiban ini baru aku mengerti setelah sampai Puncak Sejati.) Dari sini kami naik ojek menuju ke Pos 1, titik awal pendakian. Pos ini dikenal dengan Pos Sunarya. “Ada warung punya Pak Sunarya di sana. Jadi batas terakhir pemukiman,” kata petugas sekretariat saat penjelasan tadi.
Rumah Pak Sunarya ini terletak di tengah hamparan kebun kopi milik penduduk setempat. Tersedia kopi gratis di saung berukuran sekitar 3 x 6 tempat para pendaki menunggu teman-temannya untuk bersama-sama menuju ke campsite. Ada dua penamaan tempat berhenti di rute pendakian via Kalibaru ini., yakni pos dan campsite. Gara-garanya ada dua kelompok yang merasa mengklaim jalur Kalibaru tersebut, sehingga diambil jalan tengah dengan cara memberi nama berbeda tadi. Rumah P Sunarya tadi menjadi Pos 1 tapi belum jadi Campsite 1. Versi pos, jalur Kalibaru dibagi menjadi empat (Pos 1, 2, 3, 4 sebelum empat puncak G Raung). Sedangkan versi campsite lebih banyak, yakni ada 9. Masing-masing campsite ada lahan untuk mendirikan tenda namun luasnya variatif. Yang paling banyak di Campsite 7. Ini memang menjadi tempat favorit karena dari Basecamp masih bisa dijangkau, dan untuk pancatan ke empat puncak tak terlalu jauh.
Jalur pendakian G Raung via Kalibaru. (infopendaki.org)
Karena kami hanya menganggarkan waktu 2D1N untuk pendakian ini, maka dari Pos 1 tadi kami langsung ke campsite 7. Tengah malam langsung berangkat untuk summit attack. Dari sini kembali ke campsite 7, beres-beres dan isi bensin lantas turun ke basecamp lagi. “Idealnya sih sampai campsite 7 dibagi menjadi dua hari. Jadi badan tidak terlalu capek,” begitu penjelasan yang kudengar tadi.
Dari Pos 1 sampai sekitar km 3,5 kita akan disuguhi kebun kopi melalui jalan setapak sebagian berpasir dan ada juga yang sudah diperkeras dengan buis beton disambung-sambung. Selepas itu masuk ke hutan hujan tropis dengan pohon-pohon tinggi dan lingkar perut yang oversize bagi tangan manusia. Maksudnya untuk memeluknya kita butuh tangan teman. Jalur mulai mendaki tipis-tipis, dan tak jarang kita menapak ke tangga yang terbentuk dari belitan akar beberapa pohon. Di campsite 1 sampai 4 ada saung tempat berteduh melepas lelah. Menyenderkan keril, membuka bekal, dan menikmati pemandangan sekitar. Agak terhibur sedikit dari campsite 3 ke 4 karena ada bonus turunan. Selepas campsite 4 ini jalur konsisten menanjak. Bahkan di beberapa titik butuh bantuan tali untuk bisa melewatinya. Hutan begitu pepat sehingga sulit melihat pemandangan terbuka luas. Jadi, siapkan fisik tapi jangan diforsir. Summit attack dari Campsite 7 masih butuh tenaga ekstra.
Sempat kena PHP ketika bertanya ke pendaki yang turun (kayaknya akamsi kalau melihat gelagatnya) apakah di campsite 6 ada saung. “Ada,” jawabnya singkat. Aku pun semangat sebab ingin menyandarkan keril dan membuak bekal makan siang. Maklum selewat campsite 5 waktu sudah melewati angka 11. Ternyata ketika berjumpa dengan Widi yang jadi guide dan jalan duluan, dikasih tahu kalau saung hanya sampai campsite 4 saja. Woalah, tiwas ngos-ngosan aku. Akhirnya aku membuka bekal di bawah rindangnya pohon cemara sebelum sampai campsite 6.
Entah kesel kena zonk atau sudah kecapaian, pas membuka bekal, ayam gorengku jatuh menggelinding. “Belum lima menit, Ambil saja. Sini dicuci pakai air ini,” Widi memberi solusi. Ya benar juga sih. Aku butuh protein juga. Jadilah ayam goreng campur tanah itu mandi air mineral biar bersih.
Pohon-pohon cemara raksasa semakin banyak aku temukan di rute antara campsite 5 ke 7 ini. Membuat aku gatal untuk berhenti dan swafoto. Memanfaatkan batang kayu atau ranting sebagai tripod, jadilah beberapa foto narsis menjadi bukti aku pernah ke sini.
Akhirnya, sekitar 4 jam 50 menit sampailah di campsite 7. Segera mencari tenda dengan kode Pak Widi, aku pun segera merebahkan tubuh. (Demi mengurangi beban bawaan, kami menyewa porter untuk membawa tenda dan air minum. Jadi begitu sampai kami tak perlu repot-repot mendirikan tenda.)
Setelah ganti baju aku pun segera mengeluarkan kompor dan peralatan masak untuk membikin minuman dan menyeduh mi. Lumayan menghangatkan badan dan menyumpal perut yang kosong.
Selepas sore hingga tengah malam hujan turun dengan setia, Membuat malas keluar, tapi tidur pun gak bisa nyenyak karena kaki gak bisa selonjoran lurus karena tenda yang kurang lega.
***
Ada tiga tempat seperti ini di campsite 7. Lahan sempit memanjang dengan salah satu sisi jurang tertutup rerimbunan pohon.
Hujan masih turun ketika kami siap-siap summit attack. Untung saja ketika mulai jalan hujan mereda dan akhirnya benar-benar berhenti. Kali ini jalur pendakian benar-benar gak sopan. Tanjakan ngehek kalau goweser bilang. Juga karena malam, meski sudah pakai headlamp, tiba-tiba saja kepala kepentok ranting atau dahan pohon.
“Untung kita sudah pakai helm,” komentar teman. Aku juga membatin, bener juga. Coba tanpa helm, bisa benjol-benjol nih kepala.
Di campsite 9 kami kumpul kembali untuk memasang harness. Dari sini kita bisa memandang kelap-kelip lampu dari kapal yang melayani penyeberangan Ketapang – Gilimanuk. Setelah semua memakai harness, kami pun bergerak untuk menuju ke puncak. Beruntung kami rombongan pertama sehingga bisa lebih leluasa bergerak.
Puncak bendera sebagai puncak pertama dari empat puncak di G Raung kami temui tak lama dari campsite 9 tadi. Di sini area mulai terbuka. Angin mulai terasa hembusannya. Waktu menjelang sunrise.
“Ayo, kita tak berlama-lama di sini. Target sunrise di Puncak Sejati. Trekking pole taruh di sini saja,” Pak Slamet yang lebih dikenal sebagai Pak Widi menyeru-nyeru kepada kami yang sibuk foto-foto di seputar bendera merah putih. (“Di daerah kami nama orangtua diambil dari nama anak pertama. Jadi bapak dikenal sebagai Pak Widi,” kata Widi yang juga menjadi guide mendampingi bapaknya.)
Predikat gunung dengan jalur ekstrem ternyata dimulai dari Puncak Bendera ini. Pantas seperti dijelaskan di sekretariat, asuransi tidak mengcover dari Puncak Bendera sampai Puncak Sejati.
Dari puncak bendera kami menuruni jalur berbatu-batu. Melipir dalam gelap sebelum sampai akhirnya bertemu dengan jalur yang tenar dengan nama jalur sirotol mustakim. Istilah ini mengambil kiasan dari seramnya jembatan saat nanti di akhirat menurut Islam. Jalur selebar tak lebih dari semeter ini kanan kirinya jurang sedalam 20-an m. Lewat dari sini masih diuji nyali kita untuk mendaki tebing tegak lurus setingga sekitar 2 m. Di sinilah gunanya harness tadi.
Puncak 17 sebenarnya di depan mata. Tapi karena beberapa jalur longsor maka ditutup. Jadinya hanya lewat di bawahnya sebelum kemudian menuruni tebing. Kali ini melakukan rapelling tapi turun. Lolos dari sini tantangan selanjutnya adalah menuju Puncak Sejati. Melintasi dinding kaldera dengan kemiringan sekitar 45 derajat dengan berpijak pada batu-batu bervariatif ukurannya dan sebagian dari mereka adalah batu lepasan. Di sinilah fungsi helm yang disuruh kita bawa dari bawah.
Menuju Puncak Sejati melewati Puncak Tusuk Gigi. Hanya karena mengejar sunrise di Puncak Sejati, maka Puncak Tusuk Gigi didatangi setelah dari Puncak Sejati. Tak ada jalur resmi menuju kedua puncak ini. Hanya ada penanda beberapa patok berujungkan bendera di atasnya. Itu pun hanya memandu sampai di bawah Puncak Tusuk Gigi. Di sinilah pentingnya guide. Tanpa bantuan mereka bisa saja kita kesasar. Kalau sudah kesasar, bisa berakibat fatal. Seperti yang dialami seorang mahasiswa berikut.
Begitu sampai di Puncak Sejati, segala kepenatan dan kengerian tadi musnah. Berganti dengan decak kagum menyaksikan keindahan alam di ketinggian 3.344 m di atas permukaan laut. Kaldera sedalam sekitar 500 m ini memiliki puncak setinggi sekitar 50 m. Asap mengepul dari seputar puncak baru ini. Dari atas mengingatkan lautan pasir Bromo dengan Gunung Batoknya.
“Nanti kalau rombongan di belakang kita sampai sini, kita segera pindah ke Puncak Tusuk Gigi,” Pak Slamet kembali mengingatkan kami.
Tak seperti Puncak Sejati atau Puncak Bendera yang memiliki tanah datar, Puncak Tusuk Gigi hanya berupa susunan batu-batu besar. Beberapa batu runcing menjulang di antara susunan itu. “Ini mah bukan tusuk gigi. Malah mirip gigi taring binatang,” aku bergumam. Untuk berfoto harus antri.
Puas berfoto kami pun menyudahi summit attack ini. Kembali berhati-hati menuruni tebing, melewati bebatuan, dan menyusur jembatan sirotol mustakim. Ketika matahari mulai menampakkan diri, baru terlihat kanan kiri jurang menganga.
Ketika sedang menuruni tebing dan kemudian melihat ke bawah, selintas aku melihat sebuah ponsel di dasar jurang sana. Langsung aku cek kantung saku jaket. Ah sudah ketutup ritsletingnya. Tidak terbayang kalau jatuh. Musnah juga berpuluh-puluh gambar yang bakal menjadi saksi kita pernah ke sini.
Sampai campsite 7 kami lantas beberes. Mengisi perut, menata barang untuk dimasukkan ke keril, dan besiap-siap turun. Aku merasakan tubuh sudah lelah. Tapi jika berhenti lama, maka tambah lelah untuk memulainya. Maka aku pun turun seperti zombie. Tanpa berpikir yang macam-macam. Hanya ada satu kata, melangkah! Tak seberapa lama dari campsite 6 hujan turun. Terpaksa memakai jaket dan memasang raincover keril. Lumayan, hujan menjadi pembasuh lelah badan.
Sampai di basecamp sekitar jam 7 malam. Langsung mandi dan melakukan peregangan. Tidak sempat mengalami kram setelah itu memang, seperti yang aku alami saat tidur di tenda gegara tidak maksimal peregangannya, rasa nyeri di paha masih berasa sampai di hari kedua usai pendakian.
Kapok? Tentu tidak. Puncak gunung selalu memanggil, dan perjalanan menuju ke sana selalu menorehkan cerita yang berbeda-beda.
(Foto-foto yang ada di blog ini hasil selain jepretan sendiri juga jepretan teman-teman seperjalanan yang sudah kumintaizinkan diunggah di sini sebagai pelengkap cerita.)
gussur.com – Hujan menderas jelang start Coast to Coast (CTC) Night Ultra Trail kategori 50K pukul 22.000 di Parangtritis Geomaritime Science Park.
“Wah, malas bener kalau hujan pas start gini,” keluhku.
Mm Mm Mm Mm …
In noreni per ipe / in noreni cora / tira mine per ito / ne domina.
In noreni per ipe / in noreni cora / tira mine per ito / ne domina.
In noreni per ipe / in noreni cora / tira mine per ito / ne domina.
…
Namun entah mengapa suara lagu Gregorian dalam alunan orkestra itu membuatku semangat. Meski aku menangkapnya sebagai musik ke pemakaman seorang kesatria yang pasti dikagumi. Megah. Menggugah untuk meneladani sikap-sikap kestaria yang telah berpulang.
Maka, aku pun meloncat ke tempat start. Sudah kadung. Ini acara yang tertunda selama pandemi. Terakhir 2019 ikut di kategori 25K dan DNF! Saatnya membayar utang. Kali ini ambil 50K.
(Coast to Coast Night Ultra Trail yang ke-6 pada 11-12 Juni 2022 kali ini melombakan lima kategori: 70K, 50K, 25K, 13K, dan 5K. Dua kategori pertama start dilakukan pada 11 Juni – 70K pukul 18.00 dan 50K pukul 22.00 – sementara sisanya pada 12 Juni 2022 – 25K pukul 04.00, 13K pukul 05.00, dan 5K pukul 06.00.)
Memang berbeda suasana lokasi start kali ini. Tidak terdengar deburan ombak. Juga desir angin laut. Butuh waktu sekitar 10 menit untuk bisa merasakan itu. Hujan berubah menjadi rintik manakala tapak-tapak kaki memasuki lautan pasir pantai laut Selatan. Terkadang berhenti sehingga ada beberapa peserta yang mencopot mantol terawang yang biasa dijajakan di pinggir jalan manakala hujan turun atau jaket waterproof mereka.
Lokasi start/finish CTC 2022
Entah, hampir di setiap pelarian, aku lebih suka menikmati guyuran hujan. Sepanjang kepala terlindungi topi tubuh lebih nyaman berjaketkan hujan. Meski membawa jaket penahan hujan atau angin, hanya aku pakai kala berhenti agak lama di water station (WS).
Melintasi tiga sungai kecil, satu diberi jembatan bambu – sebelum akhir lintasan pasir hujan kembali turun, dan makin deras kala menanjak menuju jalan raya yang menghubungkan kawasan Parangtritis dan daerah Gunungkidul sisi selatan. Jalur ini menjadi bagian Jalur Lintas Selatan yang mimpinya merentang antara Banten sampai Banyuwangi.
Aku mulai merasakan ada yang salah dengan sepatu yang kupakai. Kali ini memakai Skecher Go Trail yang lama tidak kepakai. Ketika dipakai buat menapak di tanjakan beton basah karena hujan ternyata gigitannya kurang tajam. Terasa ada licin di setiap langkah. Membuat harus hati-hati ketika tanjakan curam.
“Duh, bisa terkuras tenaga nih kalau modelnya gini,” kataku.
Bahkan gigitan pun kurang keras ketika menapak di aspal. Rute awal di aspal ini memang langsung disuguhi tanjakan curam. Di sini peserta mulai terseleksi, dan terbagi-bagi dalam rombongan kecil. Aku mengikuti rombongan tiga orang yang sepertinya satu komunitas.
Malam menjelang menuju puncaknya, dan hujan masih saja menemani kami. Rute mulai masuk ke perkampungan. Beberapa orang, terutama para pemuda, masih terlihat berjaga di gardu. Ada juga yang sudah tidur. Berkat dana desa, jalan-jalan perkampungan kini sudah dibeton. Meski tidak sepenuh lebar jalan. Hanya ada dua jalur yang menyisakan kontur asli di bagian tengah. Pada rute datar aku melewati beton, tapi ketika turunan atau tanjakan ketika beton tidak diberi garit-garitan untuk memberi efek gigitan pada tapak ban kendaraan, aku memilih di tengah meski konsekuensinya harus hati-hati sebab tidak semuanya datar. Konstruksi jalan di kawasan Gunungkidul adalah batu-batu gamping yang disusun.
Di sini rombongan sudah terpisah-pisah jaraknya. Kadang sorot lampu masih bisa terlihat. Tapi semakin malam kabut juga mulai turun. Beruntung aku sudah terbiasa dengan kondisi seperti itu di masa lalu. Tidak terbersit rasa takut meski sendirian menyusuri jalan perkampungan.
Begitu juga ketika melintasi kuburan. Suasana singup masih kental di sini. Bahkan beberapa kuburan masih menggunakan cungkup atau semacam rumah kecil. Terbersit, ada apa di dalam sana?
Salah satu kuburan di wilayah Gunungkidul
Aku jadi teringat dengan lagu pengantar start tadi. Ya seperti mengantar ke pemakaman. Ada sekitar lima kuburan yang aku lewati. Khas perkampungan di Jawa adalah kuburan terletak tak jauh dari pemukiman dan kadang malah berada di pinggir kampung. Jadi kalau melihat kuburan, berarti tak perlu khawatir. Tak jauh dari situ pasti ada perkampungan.
Toh meski dulu sewaktu kecil disuruh menemani orangtua yang tirakatan di kuburan leluhur tetap saja aku merasa takut. Terlebih ada suatu momen ketika sedang berlari sendirian di sebuah lembah, sudah lewat tengah malam, gerimis, tiba-tiba seperti melihat sorot lampu dari sebuah kuburan. Aku pikir peserta juga. Makanya aku segera memacu lari biar ada teman. Tapi begitu mendekat kuburan kok di depan tidak ada sorot lampu lagi?
Mala petaka terjadi ketika rute memasuki jalur setapak. Rute ini sepertinya jalan setapak penduduk menuju ke ladang mereka. Atau jalan pintas jika ingin ke kampung sebelah. Jalanannya menanjak ke sebuah bukit dan kemudian turun. Hujan masih saja turun membuat jalan setapak ini menyisakan genangan dan jalan becek. Tipikal jalan setapak di Gunungkidul adalah batu-batu gamping dengan penutup tanah di antaranya. Ketika hujan turun tanah ini hanyut dan menyisakan lubang antarbatu.
Bisa jadi kurang hati-hati dan memang daya cengkram sepatu yang gak maksimal, pada suatu turunan di jalan setapak seperti ini kaki kiriku keseleo. “Krek!”
Aku pingin berhenti sebenarnya, tapi di belakangku ada peserta lain dan jalur tidak menyisakan sisa untuk menyalip. Jadi aku menahan nyeri dan terus melangkah sampai kemudian bertemu jalan raya. Segera aku “membenahi” kaki kiri agar nyaman kembali.
Yang selalu bikin salut di CTC ini adalah WS-nya dan petugasnya yang ramah dan melayani.
“Mau pop mie?” begitu tanya petugas WS saat aku sampai di WS 4 selepas Gua Cerme. Langsung saja aku iyakan sekalian minta tolong bidon diisi air ion. WS ini berjarak sekitar 21 km dari titik start. Jadi sudah saatnya mengisi “bensin pertamax”. Penomoran WS ternyata mengacu ke kategori 70K. soalnya kalau mengacu ke 50K, ini WS ke-3.
Rasa sakit akibat terpelecok tadi makin merembet ke mau kram di betis. Terlebih waktu dipakai untuk melibas turunan. Akhirnya di WS 6 masuk ke ruang “ketok magic”. Baru kali ini berkenalan dengan alat getar yang bikin merem melek. Ada sekitar 15 menit kaki kiri, terutama betis, diketok pakai alat getar tadi. Kucing garong (istilah teman untuk menyebut kram) yang mau keluar tadi akhirnya masuk kandang lagi. Betis siap digunakan tanpa masalah.
Keluar dari WS 6 ini aku sendirian. Teman seperjalanan sudah mendahului jalan. Tapi begitu melangkah ke jalan raya, kebetulan WS 6 ada di pinggir jalan raya yang menghubungkan daerah Giriasih menuju Parangtritis, ternyata masalah lari ke ujung selangkangan sebelah kiri. Nyeri begitu menjerit ketika kaki diajak melangkah. Apakah balik ke ruang ketok magic lagi dan kehilangan waktu?
Aku memutuskan terus sambil menekan ujung selangkangan kaki kiri ketika digunakan untuk melangkah. Lumayan membantu, sambil mikir apa bisa dibebat saja? Tapi tidak menemukan tali atau semacamnya. Ya sudah, nyatanya semakin jauh semakin nyaman, dan tekanan pun bisa dihilangkan. Hanya untuk lari masih terasa sakit.
Rute kembali masuk ke perkampungan. Beruntung program listrik masuk desa sudah dilaksanakan berpuluh-puluh tahun silam. Jadi selama di perkampungan jalanan terang karena setidaknya tiap 20 m ada lampu penerangan jalan. Aku pasti yakin ini swadaya masyarakat sebab di kampung halamanku yang masih satu provinsi pun melakukan hal yang sama.
Agak kaget juga melihat banyak motor diparkir di pinggir jalan atau depan rumah penduduk. Yang mengherankan, sempat melihat beberapa kunci motor masih tergantung di motornya. Awalnya mengira pemilik motor lupa. Tapi kok kemudian ada beberapa motor yang kunci masih menggantung. Aku mencoba melihat rumah-rumah apakah masih ada kegiatan. Namun hanya sepi kusua. Waktu memang sudah lewat tengah malam menuju subuh. Berarti daerah ini aman.
Aku pun tak merasa takut meski kemudian perkampungan lewat dan masuk ke tegalan atau hutan kecil. Tak ada lagi lampu penerangan jalan. Jadi mengandalkan lampu sendiri. Gerimis masih memandikan tubuhku yang lelah. Jalanan masih becek. Aku sudah tidak peduli lagi sepatu menginjak genangan. Sesekali melihat ke belakang siapa tahu ada sorot lampu menuju ke arahku. Tapi harapan itu sirna. Kembali menjumpai makam, pohon beringin besar, dan sendang. Kombinasi yang sering kita jumpai di wilayah Gunungkidul ini. Setidaknya pohon (beringin) besar dan sendang atau telaga. Kata orang di pohon beringin besar itu ada penunggunya. Tapi aku gak akan mencarinya, dengan menyorotkan lampu ke atas atau sekelilingnya. Cukup fokus ke depan.
Penampakan sebagian lokasi CTC dari atas. (Foto: ctcultra.com/gallery)
Terlebih setelah rute kuburan dan pohon besar ini adalah turunan melewati jalur air. Terpaksa harus ekstra hati-hati setiap melangkah. Bahkan tak jarang harus jongkok untuk turun sembari tangan menapak di sisi kanan kiri saluran air agar bokong tak menyentuh dasar saluran yang berupa batuan padas.
Hari mulai terang ketika membaca penunjuk arah “Gua Jepang”. Wah, tinggal sebentar lagi. Sebentar di sini sekitar 15 km. Aku masih setia untuk jalan kaki. Sesekali jalan kaki dipercepat. Namun begitu melihat di depan ada fotografer langsung mengumpulkan tenaga buat berlari haha …. Begitu manipulatifnya aku ya. Tapi aku pikir rerata peserta akan berbuat begitu. Terlihat tak bermasalah ketika akan didokumentasikan di sebingkai imaji diam. Kecuali si fotografer melakukan foto diam-diam. Kena deh sifat asli kita.
Di Gua Jepang ada WS dan aku berhenti untuk minta kompres di sisi dengkul bagian luar kaki kiri yang mulai terasa linu lagi. Tak lupa pula di sini berfoto untuk pertama kali sejak start. Ada spot untuk medsos yang menarik perhatian. Kebetulan ada peserta yang juga berfoto di situ. Jadi sekalian minta tolong difotokan. Bergaya melupakan segala penat pun aku lakukan. Setelah itu baru sadar, bukannya ini spot jarang dirawat semenjak pandemi? Aku perhatikan lantai spot juga berlubang di sana-sini. Ah, beruntung tidak rubuh waktu aku duduk di spot yang berbentuk bulan sabit ini.
Rute selepas Gua Jepang adalah dominan turunan. Nikmat membawa sengsara sih sebenarnya, sebab kaki kiriku akan bertambah sakit untuk menapak turunan. Dan kembali mala petaka kedua menimpaku. Justru ketika suasana gelap sudah berubah terang, meski sinar mentari juga belum nongol. Di salah satu turunan jalan setapak, kembali aku kena masalah. Kali ini terpeleset dan meski kedua tangan bisa menahan pantat tak menghantam jalan, namun ada batu gamping menghantam tulang ekor.
Salah satu spot foto di Gua Jepang.
Seketika aku diam saja menahan nyeri yang merayapi punggung. Ketika di belakang ada peserta yang lewat aku diam saja. Mereka mencoba mencari jalan lain. Salah satu dari mereka bertanya apa aku aman-aman saja. Kujawab aman, sambil atur napas menghilangkan nyeri dan menggeser badan ke sisi yang aman untuk duduk.
Agak lama aku duduk, dan entah berapa peserta melewatiku. Di rute ini sudah bergabung peserta kategori 25K yang notabene banyak pesertanya dan masih bugar-bugar bagi mereka karena baru melewati sekitar separo rute.
Ketika sudah agak mendingan aku mulai bangkit dan berjalan lagi. Kali ini sambil menoleh ke belakang sebab jalan ini hanya bisa dilalui satu orang dan takut menghambat mereka. Jadi ketika melihat ada peserta di belakang, aku langsung mencari area yang agak longgar dan menepi.
Semenjak tulang ekor menghantam batu praktis aku hanya bisa jalan kaki. Turunan pun tak bisa lagi lari-lari kecil. Di WS teakhir, sekitar lima kilo dari titik finish aku tak mengambil apa-apa. Toh jalanan tinggal datar dan masuk ke gumuk pasir.
Akhirnya aku masuk gumuk pasir. Dulu pas ikut 25K, akibat salah baca peta, rute gumuk pasir ini justru aku susuri di awal. Padahal ini rute akhir. Makanya ketika DNF dan tidak diperbolehkan masuk rute ini aku bilang sama marshal, tadi aku sudah lewat mas hehe….
Di gumuk pasir aku sempat selfi karena terbujuk rayu plang “Spot Foto”. Latar belakang barisan pohon tal sebanyak 11 menjadi spot menarik di sini. Pohon tal di zaman dulu menjadi media dokumentasi tertulis. Masih ingat dengan istilah rontal? Itulah jasa pohon tal. Ron adalah istilah untuk daun, sehingga rontal adalah daun pohon tal. Dulu daun ini diolah sedemikan rupa sehingga bisa dijadikan lahan untuk menulis. (Jadi ingat dengan tanaman rondo bolong kan?)
Spot foto di Gumuk Pasir Parangtritis
Akhirnya dengan segala keremukan badan, terutama bagian pusar ke bawah, aku pun finish 11 jam lebih sekitar 3 menit. COT adalah 12 jam. Akhirnya terlunasi sudah utang 2019 silam. Begitu menerima medali aku langsung menuju bagian fisioterapi untuk minta dilakukan peregangan agar kaki tidak nyeri di kemudian hari.
—
In nomino tirmeno / ne nomine to fa / imaginas per meno per imentira
Mm Mm Mm …
Lagu yang sama ketika melepas start masih menggema. Menderu-deru menusuk kalbu membuat aku jadi penasaran. Lagu siapa? Apa judulnya?
Dua hari kemudian aku baru tahu lagu itu. Lagu yang menjadi theme song film 1492: Conquest of Paradise itu karya komponis Vangelis yang memiliki nama panjang Evangelos Odysseas Papathanassiou ini. Kelahiran 1943 di Yunani ini ternyata salah satu filmnya, Chariots of Fire, menang Oscar pada 1981. Evangelis meninggal dunia pada pada 16 Mei 2022 dalam usia 79 tahun.
Begitu penasaran dengan lagu itu aku googling dan tidak menemukan arti dari lirik yang ternyata mengantar Columbus menemukan benua Amerika.
Entah sugesti dari lagu itu, atau karena sebelum ikut CTC ini aku mendaki Gunung Raung, rasa nyeri di kaki yang biasa aku rasakan setelah ikut lomba lari ultra dengan persiapan ala kadarnya tak terasakan. Bahkan ketika finish pun aku merasakan ada kegairahan yang baru. Semangat yang melesat menyelusup setiap pembuluh darah.
Atau seperti yang dikatakan Dean Karnaez, seorang pelari ultra dan juga pengarang, “ … If you want to talk to God, run an ultra,” itu semua adalah buah dialog dengan Tuhan?
gussur.com – Beberapa kali naik Gunung Gede dan foto-foto narsis di gerumbulan edelweis, belum sekalipun merasakan dinginnya malam padang sabana ini. Makanya ketika Joy ngajak untuk kemping ke sini aku pun mengiyakan saja.
“Kapan saja oke. Wong pensiunan kok. Asal jangan weekend saja,” begitu katanya ketika kutanya soal waktu.
Akhirnya ditetapkanlah akhir Juni 2022 sebagai waktu kemping. Bermula dari ajakan ini kemudian beberapa teman ikut bergabung. Ada Mas Nug dan Dimas yang sudah pensiun dari Kompas Gramedia juga, lalu Soni dan Rokhmat yang masih berstatus karyawan tapi bisa WFA. Rencana Dimas mau mengajak istri dan anaknya. Namun karena istrinya kemudian berhalangan, jadilah hanya anaknya, Arka, yang akhirnya ikut.
Belakangan Rokhmat undur diri karena alasan kerjaan. Jadilah kami berenam: aku, Joy, Mas Nug, Dimas, Arka, dan Sony. Ditetapkan pintu masuk Gn. Putri sebagai basecamp.
Kami menginap di Wisma Kompas Cipanas sebelum paginya diantar ke pintu masuk Gn. Putri. Ini kali pertama aku kemping ke Gn Gede via Gn. Putri. Sebelumnya pernah kemping tapi di Mandalawangi, Cibodas. Jalur Gn. Putri pernah kulintasi tapi saat turun dan malam-malam lagi. Tidak begitu apal juga. Waktu itu cuma bertiga dan statusnya tidak boleh mendaki karena kawasan Gepang ditutup untuk umum. Naik Cibodas, turun Gn Putri.
***
buka nesting buat masak ala-ala chef
Dibandingkan dengan jalur Cibodas, jalur Gn Putri ini lebih nyaman buat kaki menurutku. Karena didominasi jalan tanah. Tidak seperti Cibodas yang dari awal sudah berbatu-batu. Memang medannya berat karena didominasi tanjakan. Namun karena jaraknya relatif pendek dibandingkan dua jalur lainnya (Cibodas dan Selabintana) maka waktu tempuhnya pun bisa lebih singkat dibandingkan jalur lainnya.
Jalur pendakian Gunung Gede via Putri terletak di Kp. Gunung Putri, Desa Sukatani, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur. Jalur ini bisa dibilang sebagai jalur yang ramah pemula karena kondisi jalur dan penanda arah yang cukup jelas. Terkait pos pendakian Gunung Gede via Putri terdapat 5 pos yaitu pos informasi, pos Legok Leunca, pos Buntut Lutung, pos Simpang Maleber, dan pos ke-5 Alun-alun Suryakencana Timur.
Dari terminal angkot Gn Putri, ke pintu pengecekan sudah langsung menanjak melewati jalan beton, sekitar 1 km. Selepas itu masih ada jalan beton sebelum akhirnya ketemu dengan jalan setapak tanah. Pemandangan sudah menyejukkan mata. Bahkan sebelum Resort Gn Putri kita akan melihat air terjun mini yang jatuh ke sungai kecil nun jauh di sana.
Tak jauh dari sini kemudian kita disuguhi jalan menanjak ngehek sebelum akhirnya masuk hutan pinus. Di sini tempat terakhir kalau kita ngojek dari bawah. Tapi kalau dipikir-pikir, agak ngeri juga naik ojek. Mending jalan kaki pelan-pelan.
Dari gerbang sampai pos 5 di Alun-Alun Surya Kencana sisi timur kita akan menyusuri jalur di rindangnya pohon. Beberapa terasa pepat sehingga matahari tidak tampak. Jalur banyak didominasi tanah. Jadi bisa dibayangkan kalau naik pas hujan.
Enaknya lewat jalur Gunung Putri, banyak wargun, alias warung gunung yang menjual makanan pengganjal perut. Jadi jangan khawatir kelaparan. Dari mi gelas sampai goreng-gorengan tersedia. Aku sempat “terjebak” enaknya pisang goreng. Apalagi pas mentas dari penggorengan. Teman-teman yang lain juga mengakui enaknya pisang goreng ini.
ada lima pos yang akan kita lewati. Pos pertama berada di ketinggian 1880 mdpl. Ada sebuah gazebo sederhana yang bisa digunakan untuk berteduh beberapa orang. Selain itu, di depan gazebo ada wargun yang menjual kopi, buah-buahan, gorengan, hingga nasi bungkus.
Selepas pos 1, perjalanan menuju Pos 2 Legok Leunca akan melewati medan yang didominasi akar pepohonan dengan kontur yang mulai menanjak. Jarak pos 1 ke Legok Leunca ini sekitar 500 meter. Pos 2 ini berada di ketinggian 1.993 mdpl. Ada wargun juga tapi waktu itu belum buka.
Menuju ke Pos 3 Buntut Lutung jalurnya masih sama. Bercanda dengan akar pepohonan sembari ngos-ngosan karena medan tetap menanjak dan jarak lebih jauh, sekitar 1 km. Ada semacam gazebo yang lagi-lagi ada wargun dan kali ini buka. Di sinilah saya merasakan enaknya pisang goreng! Dibandingkan dengan pos-pos sebelumnya, di Pos 3 ini kita akan berjumpa dengan banyak pendaki. Sepertinya ini menjadi tempat ideal untuk berhenti. Bahkan waktu itu ada yang mendirikan tenda di sini.
Jika Anda bertanya mengapa banyak kita temui pendaki di Pos 3, jawaban itu ada ketika kita sampai di Pos 4 Simpang Maleber. Ternyata, jalur Pos 3 menuju Pos 4 bisa dibilang sebagai jalur terberat di rute pendakian Gunung Gede via Putri. Masih bercumbu dengan akar pepohonan, kali ini harus ditambah dengan goyang patah-patah melewati ranting atau pohon tumbang. Apalagi kontur seperti tak menyisakan kaki buat ambil napas. Pelit jalur landai soalnya. Makanya, di jalur ini akan kita temui pos bayangan (Lawang Saketeng) di ketinggian 2.490 mdpl. Jarak pos 3 ke Pos 4 ini sekitar 1 km. Ketinggiannya 2.627 mdpl. Aku tidak melihat adanya gazebo di sini. Apa terjajah oleh wargun? Kembali merasakan enaknya pisang goreng yang masih panas karena baru entas dari penggorengan.
Di Pos 4 Simpang Maleber ini kita sudah bersua dengan pohon cantigi. Pertanda puncak sudah dekat. Medan sudah mulai ditingkahi jalur landai. Begitu keluar dari rerimbunan pohon dan melihat padang sabana menghampar di depan, perjalanan seperti sudah sampai di tujuan. Pos 5 ini berada di tepi sisi timur Alun-Alun Suryakencana. Kalau sudah terasa lelah dan kesorean, bisa saja mendirikan tenda di sini. Cuma Puncak Gede masih jauh dan sumber air tidak ada. Makanya banyak pendaki yang berkemah di sisi barat Alun-Alun Suryakencana yang berjarak sekitar 1,5 km.
Kecuali Mas Nug dan Sony, kami tiba di sisi barat Alun-Alun Surken sebelum kabut pekat menjerat kami. Termasuk kloter awal sehingga masih bisa memilih tempat untuk mendirikan tenda, yakni di sepanjang sisi aliran “kali”. Lebih tepatnya selokan dengan air yang jernih. Aku sempat menyusuri mata air ini dan ternyata gak jauh dari lokasi kami berkemah. Semakin ke bawah semakin besar selokan ini dan sekitar 300 m ke bawah sudah membikin air terjun mini dengan danau kecilnya.
Tenda berdiri dan kami pun istirahat sembari menunggu masakan matang.
***
cuaca cerah di alun-alun suryakencana
Gelap menyergap, dan dingin mulai menggigilkan badan. Membuat malas untuk keluar tenda apalagi perut sudah kenyang. Di luaran masih banyak pendaki yang baru datang. Dari balik kelambu penutup pintu aku bisa melihat mereka mulai mendirikan tenda. Sepertinya gerimis mulai turun.
Meski perut kenyang dan ongap-angop (berkali-kali menguap), namun mata ini susah sekali terpejam. Cuaca begitu dingin sekali menurut badan saya yang tipis ini. Mencoba memakai kaos kaki dobel dan long john, tetap saja dingin menusuk, terutama bagian kaki.
Yang terjadi tidur sebentar, bangun lagi membetulkan kantung tidur. Tidur lagi, bangun membenarkan posisi yang enak. Begitu seterusnya dan sesekali lihat jam. “La baru jam delapan?” begitu batinku ketika perasaan sudah lama tidurnya dan berharap subuh menjelang.
Sampai sekitar jam sebelas malam, karena tidak kuat menahan rasa pingin pipis, membulatkan tekad keluar tenda. Begitu pintu kebuka dan kaki menginjak bagian luar tenda, brrrr …. jadi ragu-ragu mau terus atau balik. Sempat kepikiran untuk kencing di dalam tenda tapi tidak menemukan botol aqua atau tas plastik.
Ya sudah, sambil melihat suasana malam saya pun keluar tenda. Di sekitaran kami sudah banyak tenda-tenda berdiri. Mau pipis di tempat tersembunyi tidak kuat menahan dingin. Akhirnya ke belakang tenda dan melampiaskan kegelisahan akibat kantung kemih yang mulai penuh terisi.
Meski masih susah tidur, tapi sudah lebih mendingan dibandingkan sebelumnya.
Ketika hari terang, aku pun keluar tenda. Meski masih menahan dingin, tapi sudah tidak sedingin malam tadi. Melihat hamparan sekeliling aku jadi paham mengapa semalam begitu dingin. Hamparan rumput yang kemarin berwarna hijau pagi itu keperak-perakan. Ketika melihat tenda, lempengan-lempengan es menempel, sebagian mulai mencair.
Kami sarapan dan setelahnya berencana naik ke Puncak Gede.
***
lempengan es di atas tenda kami
Agak terkejut ketika mendaki ke Puncak Gede lewat jalan setapak di kerindangan pohon cantigi. Undakan batu lebih tertata rapi. Ini pertama kali ke Puncak Gede lewat Putri. Jadi dari Alun-Alun Surken menanjak. Beberapa kali ke Gunung Gede selalu dari pintu Cibodas. Jadi ke Alun-Alun Surken-nya turun. Dulu ketika ikut lomba turunan ini begitu mengasyikkan karena kita bisa berpegangan batang-batang atau ranting pohon cantigi.
Berbeda dengan cuaca-cuaca sebelumnya, pagi itu puncak G Gede begitu cerah. Menurut seorang penjaga wargun, hampir seminggu sebelumnya cuaca di puncak kurang bersahabat. Bahkan malam pun sering terjadi hujan badai.
Kami pun berswa foto dengan latar belakang G Pangrango dan tentu saja tugu triangulasi G Gede.
Puas berfoto dan menikmati kecerahan cuaca pagi itu, kami pun turun dan memasak kembali untuk memberi tenaga tubuh.
Usai perut kenyang, saatnya membereskan peralatan makan, membongkar tenda, merapikannya, dan memasukkan ke dalam keril kami masing-masing. Sudah saatnya meninggalkan Alun-Alun Surken yang sangat bersahabat di pagi ini.
Turun relatif tak bermasalah. Bahkan Mas Nug yang berangkat keteteran, turun kali ini ngacir. Sempat berencana ngojek dari tepian hutan pinus, nyatanya setelah kami tunggu di dekat Resort Gunung Putri kami bisa turun bersama kembali sampai di terminal.
Sore kami sudah di Wisma Kompas kembali. Mandi-mandi bentar lantas makan di warung tak jauh dari Wisma.
“Siapa yang turun? Jan***k! Ini karena kegoncang dan turun sendiri kaki,” kataku membela diri. Aku terpaksa mengumpat karena ini sudah kedua kali kakiku turun dari pijakan boncengan motor.
Pengojek itu masih ngoceh meski kami terjatuh di tanjakan tanah dengan jalur ban yang agak dalam. Karena jalur ban ini membuat kami terjatuh tidak menimbulkan luka sama sekali. Hanya celana saya bagian dengkul kiri kotor kena tanah karena jatuh miring ke kiri. Aku tak memperhatikan kondisi mas-mas pengojek itu.
Dia masih mengomel dan aku mau meladeni kalau tak ingat hal itu hanya memperburuk keadaan. Dia masih muda dan sepertinya ingin menunjukkan eksistensi bisa membawa penumpang dengan yang paling cepat.
Kami waktu itu bersebelas, sedang beriringan menuju ke Pos Mata Air 1, tempat awal kami akan mendaki G. Argopuro. Dalam banyak kasus mengojek menjadi pilihan ketika kita berburu waktu atau kelelahan. Tapi yakinlah, kami memburu waktu. Bagaimanan lelah? Wong baru mau mulai mendaki.
Kami tiba di Basecamp Baderan ketika hari menjelang siang, Jumat 14 Oktober 2022. Bertemu di Stasiun Pasarturi, kami bersebelas menyewa Elf menuju ke Baderan Situbondo.
“Maaf kondisi elf-nya ya. Saya tidak menyangka akan begini kondisinya,” kata Om Gio seperti memahami kebengongan kami. Soalnya, dalam beberapa perjalanan yang aku ikuti bersama rombongan ini, ini Elf dengan kondisi seadanya. Ada lubang AC di atas kepala sisi kanan kiri penumpang. Tapi di pojokan kursi penumpang di belakang kepala pak sopir, bertengger “AC” yang tak lain tak bukan kipas angin. Hehehe…
Tapi yang namanya anggun, anak gunung, kondisi apa pun tak masalah. Jika hanya karena kondisi seperti ini saja mengeluh, tak bisa dibayangkan saat mendaki nanti.
Baiklah, kita lanjutkan tragedi jatuhnya motor yang aku tumpangi tadi. Setelah itu aku diam saja. Ketika disuruh memegang keril yang ditaruh di cekungan motor bebek tempat kaki berpijak aku menurut saja. Tidak seperti yang lain, mas ini tidak mengikatkan keril ke badannya. Jadi sering bergeser posisinya dan sama dia dibenerkan posisinya dengan mendorong keril menggunakan dengkulnya.
Jika keril miring ke kiri, dengkul kiri beraksi. Begitu sebaliknya. Rupanya ini mengacaukan keseimbangannya. Aku pun disuruh menjaga ketegaklurusan keril. Tapi ya mana bisa, karena aku juga bergoyang mengikuti kondisi jalan yang gak rata.
Dalam obrolan selanjutnya mas pengojek bilang bahwa selama aku tdak menurunkan kaki pasti bisa sampai ke atas. Aku pun berpikir mas ini sudah jago mengatasi kontur jalan tanah menanjak dengan jalur ban yang sudah ambles mulai dari sekitar 5 cm hingga sepertiga ban motor bebek.
Akhirnya dalam tanjakan yang cukup curam dan jalur ban cukup dalam, mas pengojek terjebak. Gak bisa naik tapi turun juga ketahan rem. Aku akhirnya turun dan menunggu di atas, di akhir tanjakan. Tanjakan ini agak menikung sehingga aku tidak tahu apa yang terjadi dengan mas pengojek tadi. Hanya ketika sampai di atas ternyata yang bawa motor sudah orang lain.
Mau ketawa takut masnya tersindir. Aku hanya diam melihat muka masnya tertunduk ketika berjalan menapaki tanjakan mendekati motornya yang sudah terparkir di akhir tanjakan.
Melihat di depan ada tanjakan lagi aku pun berinisiatif jalan kaki lagi dan menunggu di atas.
“Sini Mas, gak usah jalan kaki,” teriak mas pengojek. Aku pun berbalik arah dalam diam, dan naik ke boncengan. Hanya kali ini masnya sudah mereda emosinya, terbukti dengan mengajak ngobrol dalam bahasa yang datar. Tidak meledak-ledak seperti sebelumnya. Toh aku tetap tak nyaman di belakang dia. Apalagi bau mulutnya seperti belum gosok gigi. Jangan bilang itu bau mulutku, sebab aku sebelum naik sudah gosok gigi. Juga sudah mandi.
Akhirnya sampai juga di Pos Mata Air 1. Tidak lagi yang pertama, tapi sudah urutan ke sekian.
Aku pun bersyukur dan menambah daftar kengerian ngojek dalam pendakian. Sebelumnya merasakan kengerian yang sama ketika mau mendaki Sumbing via Segarung.
Alhamdullilah, pos mata air tak berubah menjadi pos air mata.
Setelah berkumpul semua dan berdoa bersama, sekitar pukul 13.00 kami bergerak menuju Pos Mata Air 2. Jalanan masih sopan. Hawa juga masih terasa sejuk. Mendung sedikit menggantung, membuat kami berdoa semoga tidak hujan di sepanjang jalan.
(Aku kali ini ikut bersama komunitas pendaki gunung NOLB, No One Left Behind: Om Daru, Om Toni, Om Wiko, Om Gio, Om Tono, Om Eza, Om Inu, Nte Fitri, Nte Widhi)
Hujan dalam pendakian memang membuat suasana syahdu. Tapi itu hanya di angan-angan saja. Percayalah, lebih baik tidak hujan daripada hujan ketika sedang mendaki. Biarlah hujan turun pas tenda sudah berdiri. Itu pun jangan hujan badai dan berhenti ketika kami akan melanjutkan perjalanan. Itulah maunya manusia hehe….
Entah mengapa, aku kok berada di rombongan depan. Bersama Om Daru dan Om Toni. Jadi ingat ketika mendaki G Raung, kami menjadi yang terdepan. Bagiku sebenarnya tidak masalah berpencar sebab tidak semua memiliki pace yang sama. Hanya saja setiap pos atau jarak tertentu kami regrouping. Baik dalam grup separo atau penuh.
Soalnya, kalau kita (kita …. aku sih tepatnya; tepatnya menurut perasaanku hehehe ….) berjalan di bawah atau di atas pace bikin capai. Soalnya kita membawa keril yang beratnya paling tidak 10 kg. Semakin lama menahan beban tentu semakin menurunkan daya tahan kita.
Begitulah, di pondok sebelum pos mata air 2 kami regrouping kembali. Di sini aku melihat tongkat kayu tersandar di sebuah dinding pondok. Langsung aku samber dan kucoba kekuatannya. Cukup kuat dan kok ya panjangnya sesuai dengan tinggi badan. Bahkan pada posisi dipakai untuk menapak jalan datar, ada coakan di pegangan tangan. Jadi seperti ngegrip di pegangan tangan.
Setelah berkumpul kembali, kami melanjutkan. Rute masih hampir sama. Menanjak pelan dan jalan tanah. Ketika sampai di Pos Mata Air 2, aku, om Daru, om Toni, dan om Tono yang tiba duluan setelah agak lama menunggu rombongan belakang akhirnya bergegas kembali menuju Cikasur, tempat kemping di malam pertama.
Dari pos mata air 2 ini kemudian kita akan berjumpa dengan sabana kecil. Untuk seterusnya sampai base camp Cikasur, lanjut ke Cisentor, banyak sabana akan kita lalui. Ada yang rata, ada yang berbukit-bukit. Kadang bertemu dengan bermacam burung yang tiba-tiba saja terbang mendengar langkah kita.
Melewati sabana dengan beban keril ternyata butuh keseimbangan yang bagus sebab kita melewati jalan setapak yang rerata lebarnya sekitar 20 cm. Jadi langkah kita harus lurus bak peragawati berlenggak-lenggok di jalan kucing. Andai tak bawa keril gak masalah. La ini keril itu bergoyang dan tidak bisa kita kendalikan goyangannya sehingga …. kapal oleng Bos!
Tapi, sungguh, alam terlalu indah di tempat-tempat yang jarang terjamah.
Di sabana kecil kami kembali regrouping. Di sini aku mulai melihat ada tapak-tapak yang masih baru. Baik tapak kaki atau tapak trekpole.
“Kayaknya di depan kita ada orang nih. Belum lama kelihatannya,” kataku kepada om Daru.
Ada sekitar tiga sabana kami lalui sebelum akhirnya bertemu persimpangan. Kedua jalur setapak ini dalam pandangan kami bertemu di satu jalur. Hanya saja yang satu menurun ke sebuah sungai yang berkelak-kelok. Kelokan sungai kecil ini membuatku teringat akan Ngarai Sihanok. Sementara satu jalur lainnya lebih memutar menghindari turunan tajam ke sungai. Di seberang sana, sabana luas terhampar. Ah, andai bawa drone bisa mengambil gambar saat melintas di hamparan dua sabana yang terpisah sungai kecil ini.
Sebelum menemui jalur persimpangan ini om Daru sudah bilang di depan seperti ada tenda. “Bukan, kayak plang pengumuman itu,” kataku.
Kami mengambil jalur yang memutar. Ketika sudah berpindah punggungan di tepi sabana satunya lagi, keindahan kelokan sungai itu makin membiusku.
Sore sudah menjelang. Kami pun melanjutkan dan ternyata sudah sampai Cikasur. Di depan kami terhampar sabana amat luas. Di sisi kiri kami, sekitar pukul 10.00 terlihat sebuah pohon tinggi dengan pagar tanaman perdu mengelilingi. Di sekitar pukul 08.00 ada bangunan dengan atap seng. Sepertinya toilet. Atap seng ini yang dikira tenda oleh om Daru. Di sekitar pukul 09.00 ada bangunan semi permanen yang menarik perhatianku. Aku mendekat ke bangunan ini sementara om Daru menuju plang Cikasur yang sejajar dengan pohon besar berpagar perdu tadi.
Sementara di kejauhan sana terlihat dua manusia berfoto ria. Benarlah dugaanku bahwa ada pendaki lain yang di depan kami.
Pohon besar tadi ternyata menyediakan lahan yang cukup untuk mendirikan sekitar 15-an tenda kapasitas dua orang. Di sinilah kami melihat tenda dua manusia yang sedang berfoto ria tadi.
Lantas apa bangunan semi permanen yang menarik perhatianku? Ternyata seperti shelter yang tak terawat. Sekilas aku membaca ada grafiti bertuliskan “… PERBAKIN”. Tidak jelas kata apa di depan PERBAKIN tadi. Tinggi bangunan ini sekitar 60-an cm, berukuran sekitar 3 x 3 m persegi. Tak jauh dari bangunan utama ini ada reruntuhan bangunan lebih kecil, sudah tanpa atap.
Saat gelap memeluk hamparan sabana Cikasur, rombongan besar akhirnya sampai. Di sini pula untuk pertama kali aku mendirikan tenda minimalis (tarp tent) dengan susah payah. Dan masih belum terpasang dengan benar!
Sabana Cikasur memang menjadi tempat menenda ideal. Meski, Buketu was-was dengan Bagas. Sempat terkesiap, apa itu Bagas? Ternyata kepanjangan dari Babi Ganas. Sepanjang jalur memang kita bisamelihat jejak-jejak babi hutan atau celeng ini. Dan memang celeng bisa menjadi pengacau sebuah perkemahan karena hidungnya tajam mengendus makanan dan akan disantapnya. Jadi teringat dengan Emon, babi ganas di G Papandayan. Makanya, untuk mengatasinya, sisa-sisa bahan makanan yang masih ada harus digantungkan di pepohonan.
Akan tetapi Cikasur memiliki banyak sisi. Misteri dan keindahan alam. Bentang alam Cikasur amat luas dan berupa sabana. Makanya, dulu digunakan sebagai landasan pesawat terbang. Juga tempat latihan tentara. Sementara dari sisi misteri ceritanya seperti tak berbatas.
Ada yang bilang menjadi tempat bermain Dewi Rengganis. Terkadang dia menampakkan diri di kejauhan. Diiringi kereta kudanya. Hanya orang-orang tertentu yang bisa melihatnya. Aku? Sore menjelang malam itu aku hanya melihat kesepian. Ada plang tidak boleh melewati sabana di sisi timur yang luas itu karena bukan jalur pendakian.
“Dengar derap sepatu lars enggak?” tanya temanku ketika tahu aku baru saja bermalam di Cikasur.
Malam itu aku hanya mendengar suara burung. Habis itu lelap dalam tidur. Sisa makanan yang masih teronggok di luar tenda tak kupedulikan. Kalau bagas datang dan menyeruduk tendaku ya pasrah saja.
Malam itu aku nganyari banyak hal. Tenda tarp, sleeping bag yang nyaman sampai 5 derajat Celcius, dan jaket bulang.
(*bulang = bulu angsa)
Pukul 04.00 aku bangun. Agak kaget karena tempat tidur sempit. Ya, tenda enteng yang aku pakai memang berkapasitas satu orang. Hotel kapsul saja masih lebih lega. Toh aku menikmatinya.
Pendakian G Argopuro menjad pendakian unik di Jawa karena jalurnya panjang dan tidak berakhir di basecamp yang sama. Kalau tidak Baderan – Bermi, ya Bermi – Baderan. (Ingat ya Bermi. Jangan salah tulis menjadi Bremi.) Ada banyak titik yang harus disinggahi kalau mau tahu keindahan G Argopuro ini. Untuk mencapai semua titik itu terlalu jauh kalau untuk balik ke titik awal. Semisal dari Baderan ke Taman Hidup, kalau mau balik ke Baderan lagi bisa ultra-hiking. Sementara tinggal sepertiga jarak saja sudah sampai Bermi. Begitu pula sebaliknya, dari Bermi sayang sekali kalau tidak ke Cikasur.
Argopuro sendiri memiliki makna “Gunung Pura”. Argo bermakna “gunung’” dan puro bermakna “Pura’” yakni tempat beribadahnya umat agama Hindu. Hal ini tergambar oleh pemandangan di kawasan puncaknya yang dipenuhi oleh puing-puing bangunan yang dilihat dari strukturnya terlihat seperti sebuah bangunan Pura.
G. Argopuro sendiri memiliki tiga puncak yang berdekatan. Rengganis, Argopuro, dan Hyang. Dua puncak terakhir berada dalam satu punukan. Sementara Rengganis di punukan lain dan di sinilah kita bisa membaui belerang karena tak jauh dari sini ada kawah. Di P Rengganis ini ada petilasan yang konon katanya tempat tinggal Putri Rengganis. Di sini juga berkembang cerita misteri dan ada yang menjadi mitos. Seperti harta karun peninggalan raja-raja yang ingin mempersunting Rengganis. Ada mitos jika kita memungut harta karun ini akan memperoleh kesulitan di kemudian hari.
Hampir semua dari kami adalah pekerja kantoran, Senin – Jumat, 08.00 – 17.00. Jadi mendaki lebih dari dua hari menjadi masalah besar. “Cutiku belum disetujui,” kata seorang dari kami sebelum hari H tiba.
Padahal, Argopuro butuh setidaknya empat hari tiga malam (4D3N) untuk menikmati segala keindahan dan misterinya. Makanya, ketika kami selesai pendakian dan tak menemukan kisah aneh sepanjang perjalanan, Om Wiko bilang, “La dedemitnya baru dandan kita sudah pergi.”
Dengan modal tiga hari dua malam (3D2N), maka ketiga puncak tadi kami selesaikan dalam waktu sesingkat-singkatnya. Yang penting bisa foto di bawah bendera di ketiga puncak. Itu sebagai penanda kami benar-benar menyambangi tiga tetenger Argopuro.
Jadi, begitulah. Dari Cikasur kami bergegas sekitar pukul 07.00. Molor dari rencana 6.30. Tambah molor ketika kami selfie-wefie dulu di plang nama Cikasur.
Dari Cikasur tujuan kami selanjutnya adalah Sabana Lonceng. Ini persimpangan menuju ke tiga puncak tadi. Jaraknya dari Cikasur sekitar 13 km. Karena berpindah punggungan, maka rute ini menawarkan jalur yang variatif. Melewati sabana, menerobos perdu, serta menyusuri hutan pinus. Konturnya naik, turun, datar. Yang datar tidak perlu diceritakan. Yang perlu diperhatikan ya naik turunnya itu.
Pada beberapa segmen turunnya curam dan terkadang berundak, baik berbatu atau jalinan akar. Di beberapa tempat kita akan melihat tebing-tebing batu di sisi kanan kita. Mengingatkan akan tebing batu Arjuno-Welirang.
Sementara, naiknya kadang sopan, di banyak tempat menguji nyali dan hati. Tidak mengumpat maksudku hati di sini. Dengan membawa keril sundul kepala, menjadi repot ketika menyusuri rute ini karena beberapa pohon tumbang melintang di jalur. Antara menerobos di bawah pohon tumbang atau memutar mencari celah untuk melewati pohon tumbang itu.
Di Cisentor kita bisa mengisi air karena melewati sungai kecil yang bening. Untuk menuju ke sini kita melewati jalur turunan yang curam melewati jalinan akar. Hati-hati kalau enggak mau tersandung akar.
Sumber air selanjutnya di Rawa Embik. Sebelum sampai sini, di tengah jalan setapak aku melihat kotoran hewan segede gaban. “Kotoran apa itu?” Aku mendengar suara Om Daru bertanya.
“Kambinglah. Kita kan mau sampai Rawa Embik atau Rawa Kambing,” jawabku. Membayangkan sebuah rawa dengan kambing sedang merumput. Kambing piaraan Dewi Rengganis, batinku.
Tapi begitu sampai plang Rawa Embik, aku jadi penasaran. Mana rawanya? Mana kambingnya yang mengembik?
Ternyata, seperti yang sudah disinggung tadi, Gunung Argopuro merupakan sebuah kompleks kerajaan yang dipimpin oleh Dewi Rengganis. Keratonnya berpusat di Puncak Rengganis. Nah, Alun-Alun Rawa Embik merupakan padang rumput untuk menggembala hewan peliharaan kerajaan.
Dewi Rengganis sendiri merupakan putri dari Prabu Brawijaya yang diasingkan. Ia adalah putri dari salah satu selir Brawijaya.
Begitu saudara-saudara ….
Kami – aku, om Daru, dan Om Toni, sempat kebingungan mencari jalan setapak menuju ke Sabana Lonceng. Petunjuk arah sedikit membagongkan. Menyisir sungai ternyata jalur tidak ketemu. Akhirnya membuka peta digital. Ternyata jalur ke Sabana Lonceng mengarah ke atas.
Dari Rawa Embik ke Sabana Lonceng sekitar 3 km. Namun jalurnya nanjak dengan variasi gradien di angka 9 – 10 persen. Serta menemui pohon-pohon tumbang. Sebelum sampai Sabana, mesti melewati lembah cukup curam dan saat itu ada pohon tumbang menutup jalur. Terpaksa meniti batang pohon. Beruntung hari itu tidak hujan. Bisa dibayangkan betapa licinnya kalau batang pohon ini kena hujan.
Jelang siang kami sudah berkumpul di Sabana Lonceng. Ada yang rebahan, ada yang sembahyang, ada yang masak mie. Setelah semua beres, baru kami mendaki ke Puncak Rengganis.
“Cuma 10 menit paling,” kata Mas Mul, porter yang mendampingi kami. Ternyata memang tidak jauh ke Puncak Rengganis. Sayangnya, waktu yang terbatas tak memberi ruang banyak untuk mengeksplor puncak ini. Rasanya bener yang dibilang Om Wiko, Rengganisnya capek dandan kalau kami hanya sebentar berkunjung.
Dari Rengganis kami kembali ke Sabana Lonceng. Mengambil keril kami yang untuk sementara berpisah punggung. Memberi jeda mereka menikmati sepi sabana yang siang itu terasa menghangatkan badan.
Jika waktu berlebih, maka berkemah di Sabana Lonceng akan memberikan suasana baru. Apalagi konon ada mitos tersembunyi di sini. Yakni, salah seorang di antara rombonganmu akan mengalami mimpi basah. Hal ini sudah sangat sering terjadi, banyak pendaki yang meyakini bahwa mitos ini memang benar adanya.
Cuma ada guyon, mimpi basah orisinal hanya untuk pendaki akil balik. Kalau pendaki berumur, mimpi basah yang lain. KW. Yakni mengompol. Merasa pipis di bawah pohon. Padahal masih tidur.
Karena tidak menginap di Sabana Lonceng maka kami pun melanjutkan perjalanan untuk menapak puncak yang lain, Argopuro dan Hyang. Butuh ketahanan berlebih untuk mendaki ke dua puncak ini. Dari sabana tadi jalur langsung menanjak, merayap di bawah kerimbunan pohon pinus. Beruntung tidak banyak pohon tumbang yang menutup jalur.
Jika jalur ini tidak tertutup pepohonan, akan terlihat dari bawah sebagai jalur yang relatif lurus. Tanpa berkelak-kelok sebagai jurus lelah. Jadi ingat dengan jalur serupa di Tanah Papua, khususnya Wamena. Mereka pragmatis meski bikin badan capai.
Lokasi puncak Argopuro menurutku amat sempit dibanding puncak gunung lain yang aku daki. Bisa jadi karena kurangnya muncak aku. Yang jelas tak bisa banyak bergerak di sini. Pemandangan juga kurang oke dibandingkan Puncak Rengganis misalnya. Tapi, ya di sinilah puncak tertinggi kawasan Dataran Tinggi Hyang.
Dari puncak Argopuro lanjut ke Puncak Hyang. Menurun dan melewati jalur di kerimbunan pohon pinus. Sama seperti Puncak Argopuro, puncak Hyang pun sempit. Semacam punukan dan dikasih tetenger. Namun konon kabarnya di sini tempat situs pura. Ada semacam pintu gerbang dan undak-undakan.
“Nanti kita ke sana,” kata Mas Mul menunjuk tempat menenda berikutnya. Tempat yang ditunjuk tak terlihat karena tertutup kabut. Yang terlihat, Mas Mul duduk di batu yang katanya merupakan salah satu pintu gerbang itu.
Sama seperti naik ke Puncak Argopuro, turun dari Puncak Hyang menuju Danau Taman Hidup tempat menenda pun sama sulitnya. Terjal dan berbatu. Bahkan ada segmen yang diberi webbing sebagai alat bantu turun.
Naas, om Tono yang menggunakan webbing ini terjatuh karena tali webbing dah getas. Beruntung sudah agak di bawah. Namun tulang keringnya terluka.
Habis turunan ini ada percabangan dan kita harus hati-hati. Sebab kalau salah ambil jalan bukannya menuju Taman Hidup, tapi ke Sabana Lonceng lagi. Kejadian ini menimpa sebuah rombongan yang bertanya ke kami dari mana sewaktu istirahat di Sabana Lonceng sebelum muncak ke Rengganis.
Eh tapi aku sendiri sempat menyasar rute ke Sabana Lonceng ini. Untung belum jauh dan kalau dilihat di peta memang jalan ke Sabana Lonceng. Jadi ya kembali ke pertigaan tadi dan ambil jalan yang benar. Yakni ke kanan kalau dari puncak Hyang.
Turun dari puncak ke Taman Hidup mengingatkanku ketika turun dari Pasar Bubrah di G Merapi ke Selo beberapa tahun silam. Bukan soal jalur, tapi kakiku menderita akibat sepatu yang kurang pas. Turunan yang curam membuat ibu dan anak-anak jari-jari kaki menjerit karena terkena ujung sepatu.
Pendakian kali ini aku memakai sepatu hiking Quechua. Praktis dan enak dipakai sih. Ada lubang-lubang ventilasi di sekeliling sepatu. Terus talinya menggunakan sistem penguncian yang tinggal tarik saja. Masalahnya, karena banyak turunan ekstrem, kuncian ini kalah melawan gerak turun kaki. Alhasil jebol, agak susah dibukanya.
Jadilah aku meringis setiap kali jalanan menurun. Dari Sabana Lonceng menuju Taman Hidup vegetasi mulai berganti dari pohon pinus ke perdu setinggi sekitar 2 m. Sampai cemoro limo jalanan mulai agak landai. Memutari bukit dan memasuki hutan lumut kakiku mulai membaik. Soalnya jalanan banyak datarnya.
Selepas Pos Cemoro Limo ini aku merasa diphp dengan plang petunjuk saat tak jauh dari puncak Hyang. Harusnya di sekitar Pos Cemoro Limo ini sudah sampai Taman Hidup. Nyatanya masih sekitar 4 km lagi. Awalnya aku membayangkan bakal sampai gelap tiba di Taman Hidup. Membayangkan jalur yang harus dilalui adalah mirip jalur sebelumnya.
Sempat berpapasan dengan tiga pendaki yang berangkat dari Bermi. Dua cowok dan satu cewek. Aku perhatikan sepatu yang cewek sudah ditali sol bagian depannya. Dua-duanya. “Duh, kasihan sekali. Padahal perjalana masih jauh dan menanjak lagi,” batinku.
Posisiku saat itu tertinggal dari rombongan depan, tapi masih agak jauh dari rombongan belakang. Sempat galau antara menunggu sambil jalan pelan atau jalan cepat mengejar rombongan depan. Akhirnya memutuskan mengejar karena hari sudah mau gelap.
Menjadi keuntungan karena yang ada di paling depan rombongan depan adalah Buketu yang imut sehingga ada jeda sejenak ketika harus melewati batang pohon yang ambruk melintang jalur. Kemudian juga ketika menemui turunan agak curam. Dalam kondisi seperti itu aku berucap terima kasih banyak kepada trekpole organik yang kutemukan di pondok setelah pos mata air 1.
Pelan tapi pasti akhirnya aku membuntuti rombongan depan dengan buntut om Gio. Ini bukan rombongan terdepan sebab paling depan ada om Daru dan om Toni. Begitu nempel, aku seperti memperoleh tenaga cadangan. Kontur memang sudah banyak datar dan tanahnya lembek. Sepertinya habis hujan.
Sesekali melirik jam dan terlihat sudah jam lima sore. Tapi meski di kerimbunan pohon jalanan masih terlihat jelas. Sempat mau usul untuk pakai lampu tapi kereta sepertinya sedang on fire. Ngegas terus …. Aku sesekali melihat jam tangan dan tercatat kecepatan jalan kami berkisar di angka 5 km per jam. Sebuah kecepatan rerata berjalan di jalan datar dalam kondisi tanpa beban.
“Hmmm … jika konstan begini terus sampai danau belum gelap ini,” aku membatin,
(Keesokan harinya baru tahu hutan yang kami lewati itu namanya hutan lumut. Bukan karena permukaan hutan tertutup lumut. Bisa kepleset-pleset dong jalannya. Namun lumut-lumut itu menempel di pepohonan yang ada di hutan ini. Ketika turun ke Bermi memang terlihat pepohonan diselimuti lumut.)
Rombongan kami akhirnya tiba di Taman Hidup ketika harus menjelang gelap. Masih bisa mendirikan tenda tanpa penerangan. Begitu tenda berdiri, aku segera meringkuk. Sebelumnya mempersiapkan nasi instan. Harapannya tengah malam aku bangun dan makan.
Kembali aku tertidur pulas dalam balutan kantung tidur Forclaz. Sekitar pukul 02.00 bangun dan makan. Tidak sempat melihat keluar tenda karena malas. Habis makan, kumur, dan diam mendengarkan suara alam. Keramaian di pinggir danau sudah menepi. Tadi sewaktu habis selesai mendirikan tenda terdengar suara keriuhan di pinggir danau. Sepertinya ada rombongan pendaki yang mendirikan tenda di dekat danau.
Taman Hidup ini juga penuh dengan mitos. Terlebih danaunya. Dibandingkan Ranu Kumbolo, aura mistis lekat di Danau Taman Hidup ini. Konon di sini menjadi salah satu tempat bermainnya Dewi Rengganis.
Nah, ketika kabut gelap tiba-tiba menyelimuti danau, disertai hujan dan badai, itu pertanda Dewi Rengganis marah. Bisa jadi ada tindak-tanduk pengunjung yang tak mengena di hati sang dewi. Selain itu, tersebar luas berita dan kabar bahwa banyak pendaki yang hilang di jalur pendakian dan Danau Taman Hidup karena tidak tahu medan perjalanan.
Banyak yang mengatakan bahwa pendaki yang hilang itu dibawa oleh Dewi Rengganis, masuk ke dalam Danau Taman Hidup tersebut. Banyak yang percaya, pendaki yang hilang tersebut digoda oleh dayang-dayang dari sang dewi untuk menceburkan dirinya ke dalam danau. Memang, hanya sedikit petualang yang mempunyai nyali besar dan berani mengambil risiko untuk berenang di danau ini.
Soal kabut tadi, ada mitos lain. Apabila kita berteriak di depannya, maka seketika kabut tebal akan turun dan menutupi pemandangan indah danau tersebut. Mau mencoba?
Dibanding hari pertama, kali ini kami agak santai untuk berkemas-kemas. Perjalanan ke Bermi sekitar 3 jam kata Mas Mul. “Berapa kilometer jaraknya?” Mas Mul selalu menjawab dengan patokan waktu. Tentu ia menjawab berdasar pengamatannya terhadap kecepatan kami berjalan.
Dalam perjalanan kembali ke Bermi baru tahu lumut yang mendekap pepohonan. Hutan hujan tropis yang begitu lembab ini memang menjadi habitat lumut. Pohon-pohon di sini tinggi menjulang.
Aku sempat berhenti di sebuah tempat datar agak tinggi. Ada pohon besar dan plang nama. “Kawasan Suaka Margasatwa Dataran Tinggi Hyang”, begitu judul papan nama itu. Di bawahnya ada larangan-larangan yang harus dipatuhi saat berada di kawasan ini.
Selepas ini jalanan turun terus dan terlihat jalur motor. Ah, ini motor trail atau ojek? Kalau melihat corak gerusan tanah sih ojek. Mengikuti jalur ojek ini memang terasa mengasyikan. Berkelak-kelok. Hanya saja karena habis hujan relatif licin. Untuk menghindari kelicinan itu, ada jalur pejalan kaki. Memotong. Terkadang harus melewati undakan akar-akar dengan jarak undakan relatif tinggi. Jurus jongkok tak jarang dikeluarkan. Tak apalah, dari pada terpeleset.
Di jalur ini aku di belakang om Wiko dan jadi saksi beberapa kali terpeleset. Jalur ini mengingatkanku akan jalur pendakian G. Gede di Jawa Barat via Gunung Putri.
Di akhir tutupan vegetasi, kita akan berjalan di hutan pohon damar. Jalur setapak sudah mulai dibeton di sini. Ojek juga sudah menawarkan jasanya jika berminat. Ongkosnya Rp50 ribu sampai Bermi. Sempat ngobrol dengan pengojek di sini dan ketika aku bercerita soal kengerian naik ojek di Baderan, mereka kompak menolak disamakan dengan pengojek di Baderan.
“Kami tidak ugal-ugalan membawa penumpang. Ada kartu anggota. Siapa yang ketahuan ugal-ugalan bisa dikenai sanksi,” kata salah seorang pengojek sambil mengeluarkan kartu anggota.
Oya, di Bermi ini kita akan melintasi Bermi Eco Park, taman wisata murah meriah yang dikelola oleh Bumdes Bermi. Saat aku lewat ramai pengunjung. Maklum hari Minggu.
Kami tiba di basecamp Bermi sesuai target. Sebelum jam satu siang. Setelah makan dan mandi, kami pun naik Elf menuju Surabaya.
Sedikit drama terjadi dalam perjalanan ke Surabaya ini. Awalnya mau menjajal lontong kerang. Sopir tahunya di Bangil tetapi sebagian besar dari kami ingin lontong kerang di Surabaya. Alhasil, sudah lewat Bangil tapi makannya lontongnya tidak jadi.
Eh, ketika di Surabaya, mengandalkan aplikasi Google Maps menuju Lontong Kerang tersasar di sebuah jalan buntu. Posisi warung ada di sebuah gang. Sempat terjadi debat kecil sebelum akhirnya balik arah dan menuju ke Stasiun Pasar Turi.
Aku sempat mau komentar, coba pakai aplikasi Waze. Tapi gak mau memperkeruh perut yang sudah kelaparan. “Nanti makannya di dekat stasiun aja. Sambil bawa keril gak masalah,” terdengar suara saran dari belakangku.
Kami pun tiba di Stasiun Pasar Turi dan segera berkemas. Eh, aku naik keretanya lain sendiri. Dari Stasiun Gubeng. Nah, di sini aku pun mengalami drama yang tak kalah serunya.
Sama Pak Sopir Elf diturunkan di Stasiun Gubeng Lama. Karena masih lama (tiba di Stasiun Gubeng sekitar pukul 19.00 sementara kereta yang akan aku tumpangi baru berangkat pukul 23.10. Sambil menunggu aku pun mengecas ponsel yang sudah kehabisan daya. Awalnya depan colokan dikuasai mbak-mbak yang mau ke Malang. Begitu kereta ke Malang mau berangkat, langsung sepi.
Sekitar pukul 21.00, ruang tunggu mulai sepi. Aku didatangi petugas keamanan dan ditanya mau ke mana. Ketika aku jawab mau ke Jogja, “Oh, bukan di peron sini. Tapi di seberang sana. Gubeng Baru. Peron ini mau ditutup karena kereta lokal sudah berangkat semua.”
Bergegas aku berkemas-kemas. Ketika itu aku sedang mengetik di laptop. Lampu ruang tunggu sudah dimatikan. Aku memasukkan laptop di tas ransel dan segera mengangkat keril di belakang dan tas ransel di depan.
Ketika menuju ke peron Gubeng Baru, lewat Indomaret. Aku pun masuk dan ingin membeli minuman dan penganan untuk mengganjal perut ketika di kereta nanti.
Saat mau bayar pakai aplikasi, kaget. La ponselku enggak ada. Langsung teringat tadi aku ngecas ponsel dan karena buru-buru hanya kepala dan kabel charger yang kumasukkan. Bergegas kembali ke peron Gubeng lama dan kebetulan ada petugas keamanan yang sedang mengunci pintu peron.
Aku lega ketika menemukan ponselku masih tergeletak di kursi tempat aku duduk tadi.
Tak terbayangkan kalau hilang. Aku belum sempat mencetak tiket dan info soal itu ada di ponsel.
Ah, di awal dan akhir pendakian Argopuro ini aku harus senam jantung ternyata.
gussur.com – “hidup adalah soal keberanian. Menghadapi jang tanda tanja Tanpa kita bisa mengerti, tanpa kita bisa menawar Terimalah, dan hadapilah”
Mandalawangi Pangrango – Soe Hok Gie
Kata Mandalawangi menyeruak dalam WA-ku pada Rabu 16 November 2022. Pengirimnya Cikgu yang menanyakan apakah mau ikut ke Mandalawangi pada Sabtu minggu itu. Belum terbersit itu adalah nama lembah edelweis di Puncak Pangrango. Maka aku pun bertanya setelah sedikit tahu konteksnya. Mandalawangi Pangrango? Setelah dijawab iya aku pun mengiyakan ajakan tadi.
Hampir saja aku membatalkan ajakan itu manakala Jumat 18 November 2022 sudah lewat tapi pekerjaan belum selesai. Sudah mengetik pesan pembatalan ketika pekerjaan selesai pada 01.06. Dengan kesepakatan kumpul pukul 04.00 di bilangan Sudirman Jakarta, aku pun menghapus pesan pembatalan tadi.
Aku segera mengepak barang-barang yang sebelumnya sudah kusiapkan. Termasuk sleeping bag karena Cikgu berpesan untuk membawa sleeping bag mengantisipasi jika jalanan macet sepulang dari puncak Pangrango dan menginap sementara di warung jujugan. Ingat sleeping bag malah aku melupakan sarung tangan yang sebenarnya sudah aku siapkan pula. Balik Jakarta sekitar pukul 03.00.
Entah berapa lama terlelap tidur, sekitar pukul 3.15 aku sudah bangun. Masih 15 menit dari alarm yang kuset, tapi aku malas melanjutkan tidurku. Takut malah kebablasan dan tidak mendengar dering alarm. Jadi aku segera melakukan ritual tiap bangun pagi. Sekitar 3.58 aku sudah di atas ojek menuju tikum.
Kali ini datang tanpa menimbulkan waswas teman seiring. Dibandingkan waktu ke Salak, yang ikut ke Pangrango ini lebih banyak. Ada Om Daru, Om Mamat, Om Cepi, selain Bunda sebagai pemasok logistik. Ini mirip tim waktu mendaki ke Arjuno Welirang. Satu lagi Om Abdul ketemu di Cibodas.
Sekitar 4.35 akhirnya kami berangkat. Aku duduk di kursi belakang dengan kaki menyamping, merengkuh ransel, dan mencoba membungkus calon mimpi yang hampir bertunas kala tidur di rumah tadi. Tak bisa nyenyak tentu, tapi lumayan membantu memulihkan tenaga. Lamat-lamat aku mendengar obrolan teman-teman. Namun antara sadar dan tidak, sehingga tidak ikut nimbrung. Takut salah omong kan bisa berantakan mimpiku.
Baru tersadar ketika Cikgu menyinggung Mang Ade. Ini warung di puncak yang menjadi basecamp para pesepeda. Aku lantas teringat tentang warung ini yang sudah sangat berubah dibandingkan awal-awal suka bersepeda offroad di seputaran Puncak.
Perjalanan relatif lancar dan kami pun sudah siap memuncak Pangrango pada pukul 7.10. Sebelumnya aku sudah mengganjal perut dengan mie instan rebus plus satu telur. Juga berbekal roti lapis yang aku tenteng.
Seperti dalam perjalanan-perjalanan sebelumnya, Cikgu dan Om Daru jadi leader. Aku mencoba mengikuti mereka tapi akhirnya keteteran sebelum Telaga Biru. Regrouping di Pos Panyangcangan, sebelum akhirnya tim tercerai berai lagi sekilo setelah itu.
Aku mulai merasakan efek kurang tidur menjelang menyeberang air panas. Ada warung di situ dan sempat tergoda meneguk segelas kopi hitam. Namun bisa jadi malah keasyikan dan berhenti lama. Melewati air panas setidaknya menyegarkan badan dan kaki. Toh selepas Kandang Batu kantuk kembali membelaiku. Aku membayangkan nanti pas ikut UM-ITB hari kedua kira-kira begini. Jam tidur kurang, masih harus berlari. Jadi ingat dengan Run to Care Medan. Sempat jalan sambil memejamkan mata.
Jalanku mulai terseok-seok. Beruntung kontur tidak menanjak galak. Jadi masih bisa kukontrol langkah kaki. Ketika sampai Kandang Badak, aku lihat Cikgu dan Om Daru sudah menunggu. Juga Om Abdul yang lupa menyalipku di mana. Cukup lama kami berhenti di sini. Mengobrol dengan pendaki lain yang kebetulan berhenti di warung itu. Aku akhirnya bisa meneguk secangkir kopi di sini.
Lebih dari setengah jam menunggu rombongan belakang, akhirnya kami bersepakat untuk lanjut lagi. Dari Kandang Badak ini bertemu dengan perempatan. Lurus ke Puncak Gede, ke kiri jalan larangan, ke kanan Puncak Pangrango.
Soal jalan ke kiri, Om Daru pernah bercerita kalau itu bisa tembus di bawah kawah G Gede. Sempat terwacana selesai summit Pangrango menengok jalur itu.
“Tapi sekarang sudah ada larangan tidak boleh lewat,” kata Om Daru.
Wah … alamat gagal deh.
Jalur ke kanan ke Puncak Pangrango baru kali itu kulewati. Belum sampai sekilo sudah ada pohon tumbang melintang jalur setapak. “Ya begini nanti jalur ke puncak,” kata Om Daru.
Memang, sepertinya dibandingkan dengan jalur ke Puncak Gede menuju ke Puncak Pangrango mesti berupaya lebih. Setelah semakin masuk ke dalam, aku mulai membayangkan jika membawa keril. Apa ini yang membuat pendaki malas membuka tenda di Puncak Pangrango dibandingkan Puncak Gede? Ternyata jawabannya tak hanya soal jalur. Tapi juga soal lain yang nanti kuceritakan di bawah.
Jalur ke Puncak Pangrango sepertinya berawal dari jalur air. Ketika semakin lama jalur air ini semakin dalam dan terkadang meninggalkan undakan yang tinggi, terus mencoba menjadi jalur di kiri-kanan. Namun ujung-ujungnya nanti kembali ke jalur air. Mirip dengan jalur ke Salak via Cimelati. Hanya saja, melihat bekas jalur air ini, sepertinya air yang mengalir dari Puncak Pangrango ketika hujan sangat deras.
Beberapa aku harus membungkuk melewati batang pohon yang tumbang. Juga melewati jalur air yang sudah semakin dalam membentuk selokan dengan lebar tak lebih dari ubin lawasan. Karena banyak jalur tadi, kami kemudian terpisah. Beruntung aku mengekor Om Daru yang dengan setia menunggu di beberapa titik ketika aku hilang dari radarnya. Juga mengambil beberapa foto seperti di bawah ini.
Salah satu jalur pendakian ke Puncak Pangrango. (video: Om Daru)
Tutupan hutan di sini juga rapat. Begitu juga dengan pohon-pohon cantiginya. Pohon kebahagiaan menurutku sebab ketika sudah bersua pohon ini, puncak tak lama lagi sampai.
Triangulasi Puncak Pangrango bentuknya tugu setinggi sekitar 2 m. Di sebelahnya ada shelter dengan separo atap hilang, dan dudukan salah satu tiang hilang. Sehingga tiang pendukung ini menggantung, mengandalkan “belas kasihan” ketiga tiang lain yang masih punya dudukan.
Pelataran triangulasi tidak terlalu luas. Paling sekitar 20 m2, dengan kontur agak menurun. Siang itu pemandangan yang ada hanya “tembok” saja. Jika cuaca cerah dengan membelakangi tugu triangulasi kita bisa memandang Puncak Gede, sama seperti ketika kita berdiri tak jauh dari triangulasi Puncak Gede bisa memandang Pangrango.
Siang itu matahari on-off memancarkan sinarnya. Cukup membantu tanganku yang beberapa ujung jari mulai terasa membeku. Jadi aku sesekali memasukkan telapak tangan ke dalam saku celana demi memperoleh kehangatan. Di sini letak penyesalanku tidak mengecek lagi barang-barang yang kubawa.
Begitu Om Abdul sampai, kami segera membuka bekal masing-masing. Nasi yang dibungkus daun pisang. Lauknya teri kacang dan sambal pete dari Om Abdul. Karena teri kacangnya cukup pedas, aku ambil sedikit saja. Untuk sambalnya aku “menculik” pete-petenya. Bumbu paling top adalah rasa lapar dan satu bungkus nasi ternyata kurang.
“Dulu kami minta dibungkuskan nasi. Agak besar sedikit, tapi padat. Ternyata banyak yang gak habis. Makanya kami minta dikurangi ukurannya,” kata Cikgu. Hmmm… jangan-jangan kepadatannya dikurangi juga. Kalau tulang kena osteoproosis nih. Mirip-mirip kami yang sudah mulai berumur.
O ya berbeda dengan tugu triangulasi G Gede, tugu triangulasi Pangrango ini agak tersembunyi dari jalur pendakian. Soalnya tutupan di sekitar tugu ini rapat. Mirip pitak di kepala yang masih punya rambut tebal. Eh, pitak di kepala botak gak bisa dibedakan juga ya? Makanya ketika ada tanda-tanda orang datang, kami mengira rombongan kami. Ternyata beberapa kali rombongan datang, bukan rombongan kami. Nah, jika sudah begitu, kami pun bertanya. “Apakah melihat bla … bla … bla? Masih jauh bla…bla….”
Ketika akhirnya yang ditunggu datang, kami pun dapat sepotong apel. Lumayan mengganjal perut. Apalagi apelnya juga ikut-ikutan dingin.
Sembari menunggu yang lain makan, aku turun ke Mandalawangi. Aku kira tadi ke Mandalawangi beramai-ramai. Ternyata sebagian besar sudah tidak berminat lagi. Jadilah aku ditemani Om Daru, dan kemudian disusul Om Abdul menuju ke Mandalawangi.
Jaraknya tidak terlalu jauh dan medannya ramah kaki yang sudah kecapaian. Beda banget dengan Alun-Alun Suryakencana (Surken) yang menjadi sejoli Puncak G Gede.
Meski jauh luas dibandingkan Surken (luasnya sekitar 50 ha, sedangkan Mandalawangi sekitar 5 ha), namun menurutku lebih berkesan Mandalawangi. Small is beautiful, bisa jadi karena alasan itu. Namun suasana berbeda ketika Om Daru menunjukkan tempat biasa berkemah. “Di sebelah sana ada tempat datar. Biasa untuk kemping. Kalau sumber air di sebelah sana,” kata Om Daru menunjuk dua arah yang berlawanan.
“Agak spooky ya,” kata Om Abdul saat memasuki tempat untuk berkemah. Kesan yang kutangkap juga saat aku sendirian tadi masuk ke sini. Tempat itu memang luas dan agak datar dibandingkan di lembah Mandalawangi tadi. Juga terlindungi tutupan pohon cantigi dan pohon entah apa namanya. Tiga pohon raksasa, satu di tengah tempat yang luas tadi, dan dua di sisi berdekatan, dengan lumut tebal membalut batang dan dahan memang mengingatkan pada pemandangan film horor. Belum air yang menetes dari lumut-lumut itu menimbulkan bebunyian ditingkahi deru angin.
Tak lama di Mandalawangi karena waktu memburu. Segera kembali ke tugu triangulasi untuk bersiap-siap kembali. Berfoto keluarga di tugu menjadi kalimat terakhir kami dalam menulis kenangan Puncak Pangrango. Semoga suatu ketika bisa berkemah di Mandalawangi.
Turun tak semudah naik juga. Butuh kehati-hatian agar tak kepleset atau jatuh mencium akar atau tanah. Aku tidak tahu apakah jalur turun sama seperti jalur naik tadi. Yang penting kaki mengarah turun. Membayangkan kalau turun pas hujan mengguyur kawasan ini. Pasti celana basah karena mau tak mau harus jongkok untuk titik-titik tertentu dan air deras dari belakang siap “mendorong” tubuh.
Sampai Kandang Badak aku tidak melihat Om Daru dan Cikgu. Tanya ke tukang warung tempat nongkrong pas naik tadi, dijawab sudah turun. Wah, ya sudah. Aku pun bergegas turun. Kali ini mencoba nonstop sampai tempat parkiran. Menguji seberapa jauh hasil latihan bersama Koch Sem, yang aku persiapkan juga untuk mengikuti lomba lari ultra UM-ITB awal Desember nanti.
Dalam keheningan menuruni jalan berbatu-batu itu aku baru tersadar. Ternyata ada burung gagak yang seperti memandu langkahku. Aku lupa persisnya, tapi setidaknya lima kali menjumpai burung gagak itu tiba-tiba sudah ada di depanku. Sejak lihat pertama sudah aku ajak ngomong. Sepertinya gagak itu perhatian. Pikirnya siapa orang gila ngajak ngomong aku hehe ….
Di catatan segment Strava, ternyata dari Kandang Badak sampai gerbang pendakian dengan jarak sekitar 7,2 km itu aku mencatat waktu 2 jam 22 menit. Bukan soal waktu, tapi aku merasa tidak ada rasa pegal atau terlilit kram selama turun itu. Hanya ujung-ujung jari saja terasa sakit karena ukuran sepatu yang kurang lega.
Nah, justru memperoleh masalah ketika mencari warung tempat ngumpul tadi pagi. Sudah bertanya-tanya tapi belum dapat arahan pasti akhirnya telepon Cikgu yang kebetulan duduk di luar warung sehingga bisa melihat aku yang kebingungan mencari arah.
kiri jalur naik, kanan jalur turun (kesasar hilang orientasi)
Turun lebih cepat daripada muncak. Aku segera melakukan peregangan dan kemudian memesan makanan. Habis itu mandi dengan air dingin.
Ketika merebahkan tubuh aku membayangkan bagaimana jalur ke Mandalawangi Pangrango dulu saat Gie sering mendaki. Ada rentang 50 tahun lebih. Mandalawangi lekat dengan sosok Gie. Baik sebagai bagian dari komunitas Mapala UI atau sebagai pribadi. Mapala sering mengadakan kegiatan di sini, termasuk jambore. Di sini pula sisa abu Soe Hok Gie yang meninggal pada 16 Desember 1969 disebar ke segala penjuru Mandalawangi.
Soe Hok-Gie memang sempat dimakamkan di Tanah Abang, Jakarta sebelum abunya dibawa ke Gunung Pangrango pada 17 Desember 1975. Mantan wartawan Harian Kompas, Jimmy S. Harianto dalam tulisannya di buku Soe Hok-Gie: Sekali Lagi menulis abu jasad Soe Hok-Gie ditabur di Lembah Mandalawangi. Abu jasad Soe Hok-Gie diantar ke Lembah Mandalawangi oleh 35 orang pendaki yang berasal dari Jakarta, Bogor, dan Bandung termasuk Jimmy.
“Satu-satu, telapak tangan itu diisi dengan abu tulang Soe yang putih kecoklat-coklatan dan abu-abu. Setelah di atasnya ditaburi bunga, abu ditaburkan ke segala penjuru lembah ke arah yang mereka suka,” tulis Jimmy dalam artikel berjudul “Hok-gie ke Pangrango untuk Hilang,”.
Pangrango juga menarik bagi peneliti. Pendaki pertama yang berhasil mencapai Puncak Mandalawangi (Gunung Pangrango) adalah dua orang peneliti asal Belanda bernama Kuhl dan Van Hasselt. Mereka berkirim surat kepada Reindwart, teman mereka yang pendiri Kebun Raya Bogor (KRB). Keduanya berkabar telah mencapai Puncak Mandalawangi pada Agustus 1821. Mereka menuturkan bahwa perjalanannya menuju puncak dimudahkan oleh jalur yang telah dibuat oleh badak jawa di sana. Jalur tersebut dimanfaatkan untuk menembus lebatnya hutan Gunung Pangrango saat itu.
Gunung Pangrango memang telah banyak menarik perhatian para ahli dan peneliti. Tanahnya yang subur menghamparkan hayati yang beraneka ragam. Peneliti Thunberg malah meneliti dalam jangkauan yang lebih luas lagi pada 1777, yakni kawasan wilayah Gede-Pangrango.
Jalur Cibodas digunakan pertama kali oleh Blume. Kemudian ahli botani asal Inggris yang terkenal, Wallace mengikuti jejak Blume ini.
Aku beruntung, pada akhirnya bisa menggenapkan kata Gepang, Gede-Pangrango, dalam satu helaan napas. Bersyukur bahwa kemarin tidak ditemani hujan. Namun justru hujan mendahului langkahku, terlihat dari jejak-jejak batu yang masih basah. Mengingatkan aku untuk berhati-hati.
Hidup memang tentang keberanian menghadapi yang tanda tanya. Namun kehati-hatiaan adalah teman sejatinya.
gussur.com – Awalnya berpikir ambil 150 K di Run To Care (RTC) 2022 Toba – Medan karena ada waktu untuk mempersiapkannya. Terus terang ini tiga digit terbesar yang pernah aku ambil. Sebelumnya di Ultramarathon ITB 2019 ambil kategori Relay 2 yang berarti sekitar 100 km. Di tengah persiapan menuju hari-H pada 29 Juli 2022, aku ikut lomba CTC 2022, Coast to Coast Night Ultra Run kategori 50k. Aku pikir bisa menjadi pancatan sebelum mencapai kondisi puncak dan siap tempur di RTC 2022.
Manusia berharap, Tuhan menentukan, kata pepatah. Saat ikut CTC 2022, aku mengalami cedera. Tidak sekali tapi dua kali. Pertama keseleo kaki kiri, kedua terpeleset dan jatuh dengan tulang ekor menghantam batu gamping khas Pegunungan Seribu Gunungkidul. Sebenarnya tangan sudah reflek menyangga tubuh, tapi batu gamping itu menonjol dan ndilalah tepat menyentuh tulang ekor.
Beruntung tak ada retak di tulang ekor, Tapi rasa jarem tak hilang dalam beberapa hari. Oleh dokter diberi obat antinyeri dan voltaren. Plus neurobion. Sekitar seminggu kondisi membaik tapi aku malah terserang malas latihan. Aku hanya menghibur diri bahwa di RTC leg 3 atau 50 km terakhir jalanan menurun. Dengan bekal CTC masih bisa untuk menyelesaikan 100 km pertama dan pasrah di 50 km terakhir.
Untuk menjaga kebugaran aku hanya berlatih strength dan naik turun tangga. Ini terpaksa karena rumah mungilku banyak tangga untuk menuju kamar kerja. Dengan status kerja di rumah, aku mencoba untuk setiap dua jam ambil minuman di lantai dasar dan menuju ke ruang kerja di mezzanine. Lumayan ada sekitar 30 anak tangga. Bolak-balik 60 anak tangga.
Kemudian karena membeli sepatu baru buat RTC ini, maka aku terpaksa mencobanya untuk “break in” ini sepatu. Tercatat lima kali berlari masing-masing sekitar 10 km. Untuk nutrisi aku sudah menabung makan seminggu sebelum hari-H. Yang terlewatkan adalah tidur. Ini benar-benar kecolongan karena ada kondisi darurat. Dua malam menjelang keberangkatan ke Medan, tidurku jauh dari kata ideal. Hanya tiga jam semalam. Tapi entah karena euforia menjalani tiga digit terjauh pertama membuat rasa kantuk tak mampir juga.
***
Kamis siang 28 Juli 2022 siang aku mendarat di Bandara Silangit, Siborongborong, Tapanuli Utara. Bandara ini menjadi pintu masuk jalur udara ke kawasan wisata Danau Toba. Baru pertama kali mendarat di sini. Sebelumnya ke Danau Toba lewat Puncak Tele dalam acara Jelajah Sepeda Sabang Padang.
Sebelum ke penginapan mampir ke rumah dinas Bupati Toba untuk makan siang. Dari rumah dinas ini kita bisa memandang ke salah satu sudut Danau Toba. Bupati banyak bercerita tentang Danau Toba dan pariwisata, salah satunya akan diadakannya lomba balap boat. Dari sini kemudian menginap di Wisma Pemda USU Pora-pora. Malam tiba di sini sehingga tidak banyak eksplore daerah sekitar.
Paginya niat mau lari sambil melihat-lihat daerah sekitar. Ternyata niatan teman-teman yang mau ke Tomok dan menyusuri Danau Toba membuat aku gamang. Akhirnya memutuskan ikut karena rencana balik lagi siang sekitar pukul 13.00. Masih ada waktu untuk tidur siang sebelum menuju lokasi start pukul 23.00.
Nyatanya sampai pelabuhan lagi sudah hampir pukul 15.00. Ketika yang lain menuju ke Kaldera berfoto di kursi tempat Presiden Jokowi berpose bersama Ibu Iriana, aku kembali ke penginapan. Mandi dan mencoba tidur tapi enggak bisa. Sampai akhirnya ambil RPC, dan malam setelah makan malam menaruh barang untuk nanti dibawa ke CP1 dan CP2.
***
Pada akhirnya aku tak bisa tidur juga dan sebelum pukul 23.00 WIB sudah berada di lokasi start. Setelah beberapa sambutan dan menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya, maka RTC Toba – Medan pun dimulai. Sejauh apa pun jarak, semua berawal dari langkah pertama. Begitulah, sebentar lagi aku akan mencatatkan jarak terjauh dalam hidupku untuk lomba lari.
Malam itu jalanan masih cukup ramai. Warung-warung berlabel halal juga masih banyak yang buka. Beberapa orang yang di pinggir jalan bertanya, mau ke mana, acara apa, dll. Bisa jadi mereka keheranan dengan banyaknya orang berlari di malam gelap gulita ini.
Berlari di tengah malam dan melewati subuh beberapa kali aku alami. Namun untuk kali ini ada yang hilang dari rutinitas sebelum menjalani aktivitas ngalong. Ya aku kurang nabung tidur. Itu mulai terlihat ketika lewat tengah malam kantuk mulai menyerang. Lariku mulai goyang kanan kiri. Aku harus menahan kantuk itu terlebih jalanan ternyata gak rata. Ada lubang di sana-sini karena sedang diperbaiki. Ketika sampai WS-2 aku pun bersyukur. Bisa tidur sebentar.
Di WS-2 ini aku baru tahu ada peserta yang terjatuh di jalan rusak tadi. Terlihat darah mengucur di lututnya. Ah aku bersyukur bisa melewatinya meski terkantuk-kantuk. Mencoba rebahan aku merasakan otot-otot kaki meregang. Baru ingat bahwa di sini ada Sam, terapis yang menyertai rombongan kami. Aku pun mencari Sam dan minta dipijat. Otot-otot mulai rileks dan aku pun tertidur sebentar.
Ketika mulai meninggalkan WS-2, tak lama kemudian aku bertemu dengan orang yang tadi terjatuh. Lututnya dibalut perban dan mulai kesulitan berjalan.
“Jangan memaksa Om. Masih jauh. Balik saja mumpung belum jauh,” kataku melihat BIB dia yang ternyata ikut Individu alias 150 Km. Sementara WS-2 baru sekitar 20-an km.
Di kilometer seperti ini distribusi pelari sudah mulai menyebar. Kita hanya bertemu dengan satu dua peserta saja. Meski merasa sudah jauh, namun ternyata di sisi kiri masihlah Danau Toba. Kegelapan di bawah sana semakin menguatkan aura keagungan Tuhan yang menciutkan nyali. Mirip ketika mendaki gunung di malam hari dan tiba-tiba di depan kita sudah berdiri puncak gunung itu dalam kebisuan.
Beruntung bahwa jalan mulai banyak menurun. Aku menyapa WS-3 ketika hari mulai terang tanah. Makan mi seduh dan teh manis hangat membuatku terjaga. Bentar lagi matahari mulai menampakkan diri. Jalanan menurun. Aku pun semakin terpacu untuk segera sampai di CP1. Jalanan turun ternyata tidak sampai CP-1. Ada seksi membosankan sebelum sampai CP1. Jalan lurus tak berujung. Padahal CP1 hanya berjarak beberapa ratus meter dari ujung jalan ini.
Kantukku mulai menyerang dan aku tak tahu bagaimana mengatasi rasa kantukl di jalan datar nan panjang ini. Tanpa terasa mata terpejam sementara kaki melangkah. Beruntung pagi itu jalanan relatif sepi sehingga keolenganku tidak menimbulkan bahaya.
Begitu sampai ujung jalan aku seperti sudah sampai tujuan. Memasuki CP1 yang aku pikirkan hanya segera ke toilet. Buang hajat yang memang menjadi rutinitas pagiku. Sekalian mandi tentunya.
“Kenapa mandi segala Mas?” begitu tanya seorang peserta ketika kami ngobrol di ruang makan setelah tahu saya mandi di CP1.
“Biar seger dan ilang kantuknya Mas,” jawabku. Dan memang habis mandi aku menjadi segar dan siap melanjutkan ke CP2.
***
CP 1 menuju CP2 menjadi pelarian di siang hari. Menuju Berastagi, kota dingin di atap Medan. Jalan siang enaknya bisa menikmati pemandangan, namun harus menghadapi teriknya panas. Plus, ternyata ada sebagian jalan yang sedang diperbaiki bahu jalannya. Sementara kendaraan di sini jalannya kenceng-kenceng. Asal sudah kasih klakson mereka seperti dapat akses untuk mengebut. Aku hampir kesamber truk karena bahu jalan sedang digali untuk perbaikan gorong-gorong sehingga harus ke badan jalan.
Rute dari CP1 ke CP2 di luar jalan yang sedang diperbaiki tadi lumayan menebus “keindahan” Danau Toba di malam hari. Saribudolok, Barus, Karo. Jadi tahu daerah-daerah ini. Juga makam-makam bercungkup di tengah kebun atau ladang. Kebun nanas dan jeruk yang menggoda untuk mencicipinya.
Di jalur ini aku mulai kesakitan dengan tali sepatu yang menggigit sakit punggung kaki. Rincon 3 ini memang baru aku beli beberapa minggu sebelum Run to Care ini. Tapi menurutku kurang nyaman dipakai untuk lari lebih dari 50 km.
Yang membuat bingung adalah tali sepatunya. Sudah dicoba berbagai cara menalikan, namun hasilnya tetap saja menjepit punggung kaki lama kelamaan. Jadilah aku merasa kesakitan saat melangkah. Akhirnya aku kendorkan dengan konsekuensi bagian tumit sedikit bergerak naik turun karena longgar. Itu lebih bagus daripada punggung kaki kesakitan.
Di WS 6 aku berhenti cukup lama dan ternyata muncul Mas DL yang Relay 3 dan Bang Asro yang ikut 100K. Akhirnya kami sepakat untuk berangkat bareng menuju CP2. Jalanan dari WS 6 ini relatif sepi karena seperti keluar dari jalan kabupaten atau provinsi. Kami bertiga jalan sambil ngobrol. Sesekali lari. Aku berbagi soal bagaimana tips berlari – jalan dengan konsisten. Pakai patokan tiang listrik. Selang-seling berjalan dan lari sesuai jarak antartiang.
Melintasi wilayah ini melewati perkebunan nanas. Tanah Karo memang dikaruniai tanah yang subur. Selain nanas juga ada perkebunan jeruk dan tentu sayur-mayur. Pingin mencicipi nanas tapi tidak ada orang di kebun yang aku lewati.
Di WS 7 sore sudah menjelang dan rasa kantuk mulai datang lagi. Aku pun setelah ganti baju mencoba tidur di mobil tim support. Sepertinya terlelap selama sekitar 15 menit aku. Lumayan badan jadi segar kembali.
Pace kami bertiga mulai tidak bisa dikompromikan lagi ketika ternyata menuju ke CP2 waktu mulai menimbulkan was-was apakah kesampaian atau tidak. Kami sebenarnya tidak lagi bertiga karena bertemu dengan dua peserta lain. Jadinya kami beriringan berlima di jalanan yang relatif sepi tapi mulus. Di sisi barat matahari mulai menampakkan keramahannya. Berbeda ketika dua atau tiga jam sebelumnya yang garang sekali.
Aku segera menaikkan pace dan mulai meninggalkan rombongan. Soalnya kalau kelewat COP, cut off point, otomatis langkahku mandeg di CP2. Padahal membayangkan dari CP2 ke finish tinggal “glundhung” saja sebab Brastagi di tempat tinggi dibandingkan dengan Medan.
Sekitar 5 km menuju CP2 ternyata jalanan menanjak tipis. Selain itu jalanan mulai gelap karena penerangan lampu jalanan minim. Sementara kendaraan mulai ramai berlalu lalang menuju ke Berastagi, yang mirip dengan Puncak di wilayah Bogor. Menjadi tempat “healing” orang-orang, khususnya anak muda.
Masih mengandalkan lari jalan lari aku mulai bersemangat ketika kehidupan sebuah kota mulai terlihat. Toko yang masih buka, pedagang kaki lima, lampu lalu lintas, serta kedai-kedai makanan. Selepas melewati sebuah perempatan yang ramai, petunjuk mengarahkan belok kanan. Aku lihat ada plang peringatan bagi pengendara motor atau mobil untuk berhati-hati karena ada pelari.
Dari plang tadi ternyata CP2 tak jauh lagi. Gerbang penyambutan gelap namun ada petugas yang mengarahkan. Setelah BIB dicatat aku pun menuju tempat fisioterapi. Kebetulan ada yang mau selesai. Jadi aku menunggu di bed yang kosong. Sambil menunggu aku mencopot semua “perabotan” yang menempel di tubuh. Lampu kepala, vest, buff, topi, nomer BIB, serta sepatu. Semua aku taruh di dalam topi dan kuletakkan tak jauh dari barang-barang mas Aji, rekan sekelompok dalam RTC kali ini, yang sebentar lagi selesai di-fisio.
Selama di-fisio aku tak memperhatikan lagi “perabotan” tadi. Namun kaget begitu selesai di-fisio dan mau mengambil makanan, lampu kepala tidak ada. Aku mencari-cari mas Aji ternyata sudah tidak ada di lokasi. Aku telepon tidak diangkat. Sempat kelabakan bagaimana dengan penerangan nanti? Untung ada mas DL yang sudah selesai lari dan lampu kepalanya sudah purna tugas. Aku pinjam dan segera setelah selesai makan malam yang tidak habis aku bersiap-siap melanjutkan etape terakhir menuju titik finish.
***
Jalanan ramai dan aku tak mengira bahwa rute turunan yang dalam bayangan tinggal “glundhung” saja itu ternyata menjadi jalur neraka. Ketika memasuki awal turunan jalanan terang. Aku pikir karena lampu jalanan. Namun mendadak gelap ketika kendaraan tak ada yang lewat. “Hah, mati lampu?” Aku menengok ke atas dan memang gelap sekali.
Ketika kemudian kendaraan mulai melintas baru sadar ternyata di kiri kanan jalanan tidak ada lampu penerangan. Jalur sempit dan semakin ke bawah ternyata semakin ramai kendaraan membuat aku tak leluasa berlari. Akhirnya ke bahu jalan yang penuh bebatuan. Sekitar dua kilometer kemudian jalanan mulai sepi dari kendaraan namun kondisi jalanan curam dan pasir berserakan di atas beton bahu jalan. Ternyata jalanan ini baru dibetonisasi.
Tak bisa memanfaatkan efek turunan membuat aku menjalani turunan dengan santai saja. Selain capek juga sudah mulai mengantuk. Sekitar 10 km turunan jalanan akhirnya mendatar. Jalanan mulai sepi karena sudah hampir tengah malam. Aku mulai sendirian. Rasa-rasanya juga paling belakang sebab tadi sewaktu start dari CP2 sudah mendekati akhir COP.
Jalanan sepi membuat harus lebih waspada. Soalnya bus dan truk di sini jalannya seperti tidak mengenal rem. Seperti sebelum-sebelumnya, ketika sudah memberi klakson sebagai penanda kehadiran mereka seolah layak berjalan tanpa rem. Sekali lagi aku hampir terserempet truk karena memaksa berlari di atas aspal. Habis itu kapok untuk memaksa berlari di atas aspal. Begitu ada klakson langsung menepi ke bahu jalan.
Di WS 9 akhirnya aku tidur setelah diurut sama Sam. Cukup lama tidurnya dan cukup membuatku segar. Jalanan kembali menurun curam. Aku memanfaatkan turunan ini untuk mengejar waktu. Meski tidak bisa kencang-kencang karena kaki masih terasa kaku. Di WS 10 mencoba berhenti dan membikin kopi. Subuh menjelang dan semoga kopi mengantar jiwaku menyambut pagi dengan bregas waras.
Ketika mau berlari lagi, ada peserta yang ingin bareng. Sebenarnya bukan tipeku lari bareng karena sulit untuk menyamakan pace. Dan ada rasa sungkan bagiku untuk menolak, tapi tidak tahu bagaimana kalau nanti aku meninggalkan dia. Jarak tinggal sekitar 30-an km. Sedangkan COT tidak begitu ramah.
Kami sempat berbarengan sekitar 5 km sebelum aku meninggalkan dia karena pace kami tidak lagi seragam. Masih dengan metode lari – jalan – lari, aku pun bergegas menuju WS 11. Jalanan sudah datar dan memasuki wilayah Medan. Aku pikir akan datar seterusnya. Ternyata beberapa kilometer sebelum finish jalanan masih menanjak dan seperti berputar-putar di perkampungan.
gussur.com – “COT jam berapa ya?” meski sudah tahu tapi aku iseng bertanya saja. Waktu itu sekitar pukul 09.10. Aku barusan menyentuh WS15, WS terakhir sebelum finish di Sabuga Bandung. Aku sudah berlari sekitar 170-an km dalam event ITB Ultramarathon 2022 ini. Sudah melewati jarak terjauhku di Run to Care Toba – Medan yang sekitar 159km.
“Jam 12. Dtambah 1 jam karena ada kasus pembegalan kemarin,” kata mbak-mbak di WS15.
Langsung seketika hatiku anyep. Harapan untuk selesai di bawah batas waktu membuncah. Menjadi yakin bahwa aku bisa!
Sebenarnya tanpa ditambah aku pun meyakini bisa. Hanya saja tubuh harus di-push to the limit. Ketika di WS14 Situ Ciburuy aku tinggal punya waktu 3,5 jam agar bisa sampai di Sabuga sebelum pukul 11.00. Total jarak tersisa 23 km. “WS14 – WS15 12,5 km. Terus ke Sabuga sekitar 10-an km,” kata penjaga WS 14.
Aku pun berhitung, 2 jam untuk menyelesaikan WS14 – WS15 dan sisanya untuk sampai finish. Ternyata WS14 – WS15 bisa di bawah 2 jam. Jadi ada tambahan waktu. Jadi bertambah manakala dengar kabar “berkah akibat musibah” tadi.
***
Bukan kali pertama aku harus waswas dengan COT. Dulu pas ikut Relay 2 ajang yang sama, juga mepet COT. Ada semacam peziarahan batin ketika harus membawa beban ke batas yang diinginkan.
ITB UM 2022 menjadi upacara kenaikan kelasku dari sebelumnya yang Relay 2 di 2019 tadi. Berbekal Run to Care aku pun meyakini bisa selesai. Juga latihan dengan Kots Sem dari Skolari.
Tapi kendala berasal dari faktor luar. Tiba-tiba aku diserang kantuk yang luar biasa setelah melewati jarak HM. Aku berpikir apakah karena makan terakhir terlalu mepet sehingga tenaga masih digunakan untuk mencerna makanan? Tapi mengapa kantuk masih saja menyerang meski sudah tidur cukup lama? Dari catatan Strava, ada waktu istirahat 15 jam lebih. Dipotong message empat kali masing-masing setengah jam, maka istirahat dan tidur menghabiskan waktu lebih 13 jam. Lantas aku membayangkan kalau istirahat dan tidur cukup 5 jam ada defisit 8 jam. Sehingga total waktu menempuh Jakarta – Bandung 31 jam. Tak jauh dari perkiraan awalku yang 30 jam.
Kantuk terberat aku alami ketika meninggalkan WS13. Padahal aku sudah sempatkan merebahkan tubuh di warung Bu Ela itu. Ada sekitar 15 menit. Tapi begitu bangun dan mulai berlari, biasanya masih kuat untuk jarak 5 km. Ini baru beberapa meter saja langsung oleng. Bisa jadi karena jalanan menanjak.
Hanya jalan yang bisa kulakukan sambil sesekali sempoyongan. Sempat melipir lagi di kios penjual buah alkesa. Mak lep, dan agak geragapan ketika ada bapak-bapak sudah duduk di sampingku. Ternyata dia yang punya warung dan mau buka warungnya. Aku bangun, berucap terima kasih dan maaf tidak permisi (tapi permisi ke siapa wong tadi kosong gak ada penghuni).
Lumayan dapat tenaga baru, dan melihat SPBU di sisi kanan jalan aku pun bergegas ke sana. Sudah saatnya buang hajat. Sekalian mau beli Kratingdaeng di Alfamart sebelahnya. “Minum Kratingdaeng aja biar tidak ngantuk,” begitu saran Bapak-bapak yang menyopiri mobil pikap pengangkut logistik ITB UM ketika kami bertemu di WS10. Saran itu kuabaikan karena aku sudah lama sekali tidak minum minuman suplemen seperti itu. Takut kenapa-kenapa malah bikin pelarian ini berantakan.
Now or never. Begitu saat aku selesai buang hajat yang ternyata begitu susah kali ini. Kaki sudah begitu kaku sementara WC SPBU model jongkok. Untuk jongkok saja harus berpegangan ember dan juga tembok WC.
Akhirnya aku ambil keputusan minum Kratingdaeng. Di pagi yang mulai menyemburatkan sinar mentari itu aku menenggak minuman cap Banteng. Jadi inget ketika pertama kali menenggak minuman cap Tikus hehe….
Bener saja. Kantuk langsung hilang beberapa saat kemudian. Aku pun kembali merayapi tanjakan berkelok Citatah.
Ketika puncak tanjakan terlewati dan jalanan menurun aku gas pol menuju Situ Ciburuy WS14. Minta dipijat untuk terakhir kali aku biar bisa tambah gas menuju WS15.
Begitulah, ternyata di WS15 dapat kabar menggembirakan tadi.
***
Serba mepet COT(P) menjadi pengingat ultra marathon kali ini. Hanya di WS4 yang menjadi CP1 aku memiliki waktu lega. Sayangnya ada tragedi menggelikan di sini. Di WS4 ini aku mengirimkan tas berisi jersey dan sepatu ganti. Soalnya setelah berlari sekitar 40 km telapak kaki akan mengembang. Jadi butuh sepatu dengan desain lebar di depan. Sepatu itu yang kukirim ke WS4 ini.
Ternyata panitia salah memasukkan ketika aku menaruh empat tas di Titik Start. Di sini pun sempat terjadi ketegangan ketika aku mau menaruh tas yang akan dikirim itu dikatakan sudah tutup. “La nggak ada keterangan dropbag tutup jam berapa. Lagian ini masih sejam sebelum start,” sergahku. Petugas pun sedikit ogah-ogahan. Bisa jadi karena itu terjadi salah masuk.
Nah tas untuk WS4 ternyata dimasukkan ke tas untuk WS16 atau di titik finish. Sementara tas finish itu dimasukkan ke WS4. Tentu saja tidak ada sepatu sebab di finish aku biasanya nyeker. Sudah tidak lagi berlari mengapa harus bersepatu?
Dengan memaksa tetap menggunakan sepatu yang sempit bagian depannya sementara telapak kaki mulai mengembang, maka kesakitan mulai kurasakan ketika sampai di WS5 Taman Malabar Bogor. Aku segera membuka dan minta terapis memijat telapak kaki. Cukup lama istirahat di sini sembari tidur.
Jalur Tajur – Ciawi menjadi jalur awal peziarahan. Bertanya pada diri sendiri, menengok masa lalu, menerawang masa depan. Panas mulai membasuh tubuhku dan godaan es teh manis tak bisa aku tolak. Beli es teh manis plastikan langsung menjadi hiburan mulut melawan hawa panas matahari.
Tak lagi kantuk musuhku sekarang. Hawa panas dan tanjakan bersatu menyerang keyakinanku. Sudah benarkah latihanku selama ini? Jika COP WS4 nyaman aku kejar, kini COP WS8 seperti jauh di awang-awang. Raga masih kuat tapi jiwa mulai meronta-ronta.
“Ojek …,” tiba-tiba saja seorang tukang ojek sudah berhenti di depanku.
“Gak, kalau mau naik motor di belakangku ada,” kataku sambil menoleh. Eh ternyata tukang ojek pengawalku sudah ada di depan.
Di jalur menuju WS8 ini entah untuk keberapa kali aku beli es teh manis. Dan sekali es kelapa muda. Yang berbahaya ketika jalur menjadi satu arah ke bawah. Ke Jakarta. Kendaraan langsung pada tancap gas. Yang membuatku waswas, banyak motor naik ke atas yang seharusnya tidak boleh. Toh mereka kenceng-kenceng juga mengendarainya. Ketika ternyata dua jalur jalan dipakai mobil ke arah Jakarta, para penyerobot jalur ini otomatis menepi dan beberapa kali nyaris menyerempet tanganku.
Sampai akhirnya di tikungan terakhir betapa senangnya diriku. Langsung lapor panitia, menuju ke dropbag, dan mencari mobil Sam terapisku. Ganti baju dan menyiapkan sepatu. Waswas dengan sepatu sebab sebenarnya ini sepatu cuma sampai CP 3 atau WS12 saja dan ganti sepatu yang seharusnya dipakai dari CP1 (WS4) ke CP2 (WS8) ini. Tapi ya sudahlah. Lihat saja nanti.
***
Paruh kedua ITB UM ini aku jadikan sebagai paruh pembalasan dendam. Setidaknya sampai Citatah konturnya dominasi turun. Namun aku juga tahu diri, jaraknya masih panjang. Jadi gas pelan-pelan dulu.
Begitu lewat perbatasan Bogor – Cianjur aku mulai memanaskan dengkul. Hotel Puncak Pass menjadi awal mulai berlari lagi. Sekitar 3 km menurunkan pace. Begitu berulang-ulang sampai ketika tubuh nyaman maka saya berlari sepanjang turunan.
Dari Melrimba sekitar pukul 16.00, gelap mulai menyapa ketika sudah di ujung tanjakan Cipanas. Aku segera memakai headlamp. Tapi baru sadar kalau pengawalku tidak mengikuti. Sisa-sisa hujan masih membekas. Bahu jalan kadang tergenang air yang meluber dari selokan mampat. Sampah-sampah berserakan. Terutama sampah plastik. Karena gelap minim penerangan lampu jalan, maka head lamp kuarahkan ke belakang dengan mode flashlight. Takut kesamber kendaraan karena aku kelupaan bawa lampu kedip untuk di belakang.
Untuk panduan jalan ke depan, beruntung marka jalan masih bagus. Cukup lama lari sendirian di jalur gelap ini sehingga akhirnya aku membuka ponsel dan WA tanya teman-teman kok pengawalku tidak kelihatan. Tak lama berselang ada telepon masuk dari pengawalku. Mengabari kalau dia habis salat.
Sungguh beruntung aku sebab ketika pengawal datang membuntutiku tak lama kemudian hujan turun. Aku makin kesetanan dalam berlari. Melewati tikungan tajam berkelok yang mistis menjadi teringat ketika naik sepeda Bandung – Jakarta. Sampai di sini sore hari dan sepertinya ada yang gondeli pas gowes.
Tak jauh dari turunan mistis ini aku dengar ada yang manggil-manggil dari seberang jalan. Tapi aku terlalu fokus ke jalanan. Tak seberapa lama orang tadi sudah di belakangku. Ternyata peserta lari juga. Mas Haenri TK85. Kami pun berbarengan dan saling ngobrol.
“Masih kuat lari Mas?” tanyanya.
“Karena hujan jadi harus lari biar gak dingin. Apalagi turunan,” kataku.
Di WS11 aku minum jahe anget. Sementara Mas Haenri aku lihat lari duluan. Hujan sudah tidak begitu deras. Aku mencoba membuka jaket. Lantas berlari mengejar COP WS12.
Di tengah jalan aku menyalip Mas Haenri. Agak kaget dia karena mengira aku sudah di depan.
(Belakangan baru aku tahu Mas Haenri menjadi korban pembacokan saat melintasi jembatan Ciranjang. Ketika tertidur di WS12 aku terbangun oleh suara ambulans dan kaget melihat salah seorang peserta Ferris Yulianto kena sabet di pergelangan tangan tak jauh dari WS12.)
Dari kasus pembacokan itu, panitia menawarkan pengawalan ketika aku siap-siap start dari WS12. Namun aku sudah membawa pengawal sendiri sehingga tawaran panitia aku tolak.
***
WS12 ke WS13, lanjut WS14 kontur jalan mulai menanjak. Menuju Citatah dengan tebing-tebing kapur di kanan kiri yang sayangnya aku lewati pas dini hari.
Awalnya masih bisa lari ketika jalanan datar atau tanjakan tipis. Turunan wajib lari agar COT terkejar. Namun lama kelamaan kantuk mulai menyerang kembali. Perut juga mulai mual. Rasanya pingin muntah.
Konvoi motor RX King yang bersliweran membuatku sedikit terjaga. Warung-warung yang masih buka dan keramaian di jembatan Rajamandala menguji batinku untuk mampir menikmati es cincau. Setiap gowes Jakarta – Bandung atau sebaliknya, titik ini menjadi titik wajib berhenti.
Selepas jembatan agak kaget ternyata kehidupan lebih meriah meski di dalam ruangan. Ya, banyak kafe di pinggir jalan setelah jembatan Rajamandala ini. Di jelang waktu lingsir tengah malam ini masih terlihat teteh-teteh berdandan menggoda keluar rumah dan berjalan menuju kafe-kafe tadi.
Sementara aku kelelahan dan ngantuk menyusuri jalan.
Apa yang kamu cari Gus?
Kombinasi lari jalan lari tetap aku praktikkan. Bahu jalan yang dibeton membuat nyaman untuk bergerak. Meski sambil sempoyongan tidak membuatku khawatir celaka.
Sampai di WS13 aku rebahan sebentar. Di depan ada tanjakan terakhir. Tanjakan penentuan apakah aku cukup kuat menyelesaikan ultramarathon ini atau menyerah.
Dan Kratingdaeng menjadi salah satu penyelamatku. Keputusan yang tepat.
Finish di Sabuga menjadi sebuah katup pelepas semua kelelahan dan kecapaian sepanjang Jakarta – Bandung.
Sambutan di finish dari teman-teman memang di luar perkiraan. Melewati garis finish aku langsung disuruh naik mamanukan. Prosesi yang biasanya untuk anak sunatan. Ya, memang aku bisa dibilang habis disunat. Ada yang hilang dari tubuh ketika menyusuri jalan Jakarta – Bandung. Ketika sampai rumah dan menimbang badan, tubuhku berkurang 3 kg!
gussur.com – Waktu kecil, pada bulan-bulan tertentu kami umat separoki melakukan ziarah ke Gua Maria Sendangsono di kawasan Perbukitan Menoreh Kulonprogo. Yang aku ingat, dari pelataran gereja, perjalanan dimulai dengan berjalan kaki dan berhenti di relief yang menggambarkan kisah sengsara Yesus. Prosesi yang dikenal dengan jalan salib ini akan berakhir di sebuah gua yang berisi patung Bunda Maria, di bawah kerindangan pohon sono. Tak jauh dari sini ada mata air yang selalu mengucurkan air dan ditampung dalam sebuah sendang.
Jalan dari gereja ke gua itu cukup melelahkan bagi banyak umat. Jaraknya tak terlalu jauh sebenarnya, sekitar 1 km aku pikir. Di kemudian hari ternyata jalur ini kian sepi karena akses ke dekat Gua Maria semakin bagus. Bahkan kita bisa memarkirkan kendaraan tak jauh dari gua tadi. Tinggal jalan kaki sebentar dan sampai di depan patung Bunda Maria.
Pengalaman berjalan kaki menuju Gua Maria di masa kecil itu masih hidup dalam benakku. Terkadang ketika tidak sabar, aku dan beberapa teman tidak lagi ikut rombongan. Namun ikut rombongan lain yang sudah berada di depan. Dengan begitu bisa cepat sampai di Sendang.
Kenangan itu bangkit kembali ketika seorang teman mengajak ikut Napak Jero. Kali ini jaraknya lebih jauh. Sekitar 90 km. Dilakukan dalam tiga hari. Hmmm … boleh juga, pikirku. Teman itu juga kirim brosur lengkap tentang kegiatan ini.
Jalan kaki setiap hari antara 20 – 30 km tentu bukan hal susah bagiku yang sudah menjalani aktivitas luar ruang lebih dari itu. Apalagi saat ini aku juga sedang mempersiapkan diri untuk lari amal sejauh 150 km dari Semarang ke Yogyakarta. Ada perasaan menganggap mudah jalan kaki.
Namun semesta mempunyai banyak cara untuk mengajarkan manusia agar tetap rendah hati. Di hari pertama, dengan jarak sekitar 22 km ternyata aku mengalami blister atau kaki (tepatnya di salah satu jari kaki bagian bawah) melepuh.
Mencari pembenaran adalah salah satu sifat manusia. Itu sempat aku lakukan. Meski jauh-jauh hari sudah ditetapkan jadwal Napak Jero, dan aku sudah mempersiapkan segalanya, tapi di jam-jam sebelum aku berangkat ternyata ada pekerjaan mendadak yang harus kuselesaikan. Tepat ketika harus segera meninggalkan rumah, beberapa barang yang sudah aku pak justru terlupakan.
***
View dari ketinggian di Jalan Lingkar Barat Batu.
Napak Jero diselenggarakan oleh Institut Karmel Indonesia yang berpusat di Batu Malang. Start dari Novisiat Biara Karmel di Batu Malang dan berakhir di Gua Maria Sendang Purwaningsing Donomulyo Kabupaten Malang. Kalau di peta, Batu ada di atas dan Donomulyo di bagian bawah. Sementara Kota Malang ada di tengah sebelah kanan. Jadi perjalanan akan menuju ke Selatan melewati lereng G Kawi yang terkenal dengan tempat ngalap berkah.
Kegiatan berjalan kaki ke suatu tempat berhari-hari ini sebenarnya menjadi bagian dari tradisi para biarawan dan frater Ordo Karmel. Kemudian beberapa awam tertarik ikut dan akhirnya dibikinlah Napak Jero. Dari tiga kali penyelenggaraan Napak Jero, titik awal selalu di Biara Karmel Batu Malang. Titik akhir saja yang berbeda-beda. Pertama, 2019, titik akhirnya di Gua Maria Puhsarang Kediri; kedua (2022) di Rumah Doa Syanti Argo Nongkojajar Pasuruan, dan kali ini (2023) di Gua Maria Sendang Purwaningsih Donomulyo. Ada jeda dua tahun karena adanya pandemi Covid-19 yang melarang kegiatan beramai-ramai.
Dalam penjelasannya, Romo Andik yang menjadi “panitia” mengatakan bahwa Napak Jero itu artinya melangkah yang dalam. Napak = melangkah, Jero = dalam. Bagaimana memaknai melangkah yang dalam itu sangat personal. Satu peserta dengan peserta lain bisa berbeda makna. Intinya ini adalah peziarahan melalui jalan sakit. Rasa sakit ini bisa begitu terasa mendalam sehingga tapak yang kita lakukan akan selalu terpatri di benak. Kira-kira begitu pengertian yang aku serap.
Aku sendiri saat ditanya motivasi ikut Napak Jero adalah mencari pencerahan karena setelah terkena lay-off perusahaan masih belum menemukan langkah apa yang harus aku lakukan.
Jelang pagi.
Setelah semua berkumpul di Pusat Ordo Karmel Indonesia Jalan Talang 3 Malang, kami dibawa ke Biara Karmel Batu menggunakan tiga Elf.
Aku kebanyakan tidur sepanjang perjalanan sehingga tidak tahu arahnya ke mana. Tahu-tahu kendaraan sudah masuk ke Biara Karmel Batu.
(Tapi entah mengapa, sejak pertama kali datang sampai kemudian berjalan kaki meninggalkan Biara Karmel ini, otakku mengirim sinyal ke tubuh bahwa aku sedang berada di Lembang. Kebetulan di sana juga ada Pertapaan Karmel.)
Malam itu kami berkenalan, saling berbagi motivasi ikut Napak Jero. Lalu dapat kesempatan langka, makan di ruang makan biarawan. Beberapa biarawan ikut bersama makan dengan kami. Salah satunya sempat ngobrol lama denganku. Menarik juga mendengar ceritanya tentang panggilan imamat yang dijalaninya. Berasal dari Jakarta, dapat panggilan sejak SMA, namun harus meredamnya karena orangtua menyuruhnya untuk kuliah dan bekerja dulu. Namun yang namanya panggilan, tinggal menunggu waktu saja. Setelah enam bulan bekerja akhirnya ia kini menapaki tahun kedua menjawab panggilannya itu.
Keasyikan ngobrol membuatku telat ikut misa di kapel biara.
***
Sekitar jam 3 pagi kami sudah bangun dan bersiap-siap. Aku tidak mandi, hanya melakukan ritual pagi. Semalam sudah mandi dan pagi ini akan mulai jalan kaki. Toh berkeringat nantinya. Setelah semua siap, kami melakukan pemanasan biar kaki dan tubuh tidak kaget sewaktu diajak ber-NapakJero.
Ketika ayam jantan sedang mempersiapkan nada kokoknya, kami ber-30-an orang meninggalkan Biara Karmel menuju Kolumbarium dan Rumah Doa di Paranti Jati. Menembus malam yang sudah di ujung kariernya, pikiranku masih terpaku juga dengan Lembang. Padahal ini di Batu.
Hari pertama dengan semangat yang masih anget. Secara posisi Batu di atas dibandingkan titik finish di Kolumbarium dan Taman Doa Karmel, Paranti Jati. Akan tetapi, seperti hidup yang tak selalu bisa diperkirakan konturnya, rute hari pertama pun naik turun. Bahkan belum lama menghirup udara subuh, kami sudah disuguhi tanjakan menuju Jalan Lingkar Batu. Beruntung masih gelap dan penerangan jalan minim sehingga kemiringan tanjakan tak tampak.
Sempat tersasar, tepatnya mencari jalur karena lintasan di peta ternyata berbeda di lapangan. Sudah ada bangunan menutupi jalur yang harus dilalui. Terpaksa memutar dan kembali ke jalur yang semestinya. Memasuki perkebunan dan jalan setapak yang membuat Napak Jero memperoleh rohnya. Sepi. Kontemplasi. Sampai dimanakah diri ini menyusuri hidup?
Yang membekas di rute hari pertama ini adalah kebun jeruk. Ternyata kami melintasi Desa Wisata Petik Jeruk Selorejo. Hanya saja, aku perhatikan tidak ada yang jaga. Padahal ranum buah jeruk sangat menggoda di pagi menjelang siang itu. Beberapa jeruk jatuh ke tanah tanpa daya.
Ujung dari kawasan kebun jeruk ini adalah Balai Desa Selorejo yang menjadi tempat penuntasan buang hajatku.
Tempat lain yang membekas adalah pitstop di Rumah Panti Jompo Bela Kasih. Ada makanan dan minuman, serta penyambutan yang hangat dari tuan rumah. Sebuah “prasasti kayu” berisi ujaran St Yohanes Salib mencuri perhatianku.
Untuk memiliki segalanya, janganlah ingin memiliki apa pun.
Untuk menjadi segalanya, janganlah ingin menjadi apa-apa.
Untuk mengetahui segalanya, janganlah ingin mengetahui apa-apa.
Entah sampai kapan aku bisa mengerti kalimat itu.
Di sini pula aku melihat kearifan lokal dalam penggambaran sosok Bunda Mari dan kanak-kanak Yesus. Bunda Maria digambarkan dalam rupa dan busana Jawa. Mengingatkanku pada penggambaran Bunda Maria di Wamena, Papua.
Ketika akhirnya tiba di Kolumbarium dan Taman Doa, aku memperoleh pelajaran yang sangat berharga untuk hari itu. Jangan pernah menyepelekan setiap hal. Karena persiapan terburu-buru dan menganggap remeh sekadar jalan kaki (tanpa mengecek kontur jalanan) sebuah jari kaki melepuh (blister). Ini di luar perkiraan sebab blister terakhir aku alami ketika ikut lomba lari lintas alam sekitar enam tahun silam.
Aku mengecek kondisi jari kaki dan belum begitu besar melepuhnya sehingga tidak aku tusuk.
Di Kolumbarium yang berarti rumah abu ini, aku bisa merenung akan kehidupan setelah kematian.
Kontur rute hari pertama.Bekal nasi kepal.Di bawah rimbun pohon bambu.Bunda Maria dan Kanak Yesus.Selfie.Ibu kehidupan.Berdoa.Hari pertama.
***
Hari kedua, ritual awal seperti hari kemarin. Hanya beda di bekal saja. Tidak lagi nasi, tapi arem-arem. Tujuan hari kedua adalah Gereja Stasi Ngrejo. Kontur jalanan menurun dahulu sebelum di pertengahan menanjak menuju gerbang Pasarean Gunung Kawi. Dibanding hari pertama, jaraknya lebih jauh. Hari pertama sekitar 22 km, hari kedua berkisar 35 km.
Sempat ketemu jembatan ambrol karena mengikuti arahan GMaps. Terpaksa balik dan mencari jalur alternatif. Hari kedua lebih banyak menanjak, namun memperoleh bonus pemandangan G Kawi di sisi kanan. Di hari ini aku mulai mengagumi trio manula (Ci Liliana, Ko Akheng, dan Pak Mun). Dengan usia sudah di atas 60 tahun mereka masih sigap berjalan. Bahkan ketika menanjak tanpa kesulitan mereka melangkah satu demi satu. Aku sempat mengobrol dengan Ko AKheng dan Pak Munandar yang kakak beradik. Banyak nilai-nilai hidup, terutama rohani, yang bisa kuserap dari keduanya.
Ketika mereka berhenti untuk menumpang ke toilet di sebuah rumah penduduk, aku menemani Romo Agung meneruskan perjalanan. Titik henti di Precet Forest Park tinggal beberapa kilometer tapi jalannya menanjak. Sampai kemudian melihat papan peringatan untuk menggunakan gigi 1. Semoga pemakai motor matik tidak bingung nyari gigi. Ketika berhenti sebentar di Precet, lalu melanjutkan perjalanan kembali, ternyata rombongan trio manula tidak lewat Precet. Ada jalan memotong menuju Pasar Gunung Kawi.
Ya sudah, aku kembali berdua dengan Romo Agung dan memperoleh siraman rohani yang membuatku “basah kuyub”. Menarik juga mendengar wejangan Romo yang ternyata latar belakangnya dokter gigi ini. “Sekarang masih bisa nyabut gigi gak Mo?” aku iseng bertanya.
Begitu sampai Pasar G Kawi, kami akhirnya bertemu dengan trio manula lagi. Sempat terbersit di hatiku untuk naik ke Pesarean G Kawi. Mumpung sudah sampai gerbangnya. Namun niat itu musnah melihat nanti harus jalan sendirian sementara jarak masih sekitar 5 km.
Jika hari pertama bertemu dengan kebun jeruk, hari kedua bertemu dengan ladang tebu. Ya, Malang bagian selatan ternyata menjadi gudang tebu. Ada dua pabrik gula (PG) di Malang, yakni PG Krebet Baru yang merupakan bagian dari jaringan PG Rajawali, dan PG Kebon Agung.
Apesnya, menyusuri kebun tebu ini di saat matahari di atas kepala. Beberapa ladang sudah dipanen, terlihat truk pengangkut parkir di pinggir jalan. Melihat ladang tebu jadi teringat dengan masa kecil di kampung yang di sekitar kampung banyak ladang tebu. Dulu suka mencuri tebu dan dihanyutkan ke sungai. Kadang harus lari terbirit-birit kalau ketahuan yang punya ladang.
Kini, tak ada lagi anak-anak nakal seperti kami dulu. Ketika aku minta sepotong tebu sama petugas yang sedang memanen, malah langsung dikasih satu batang utuh. Akhirnya kujadikan tongkat.
Tiba di Gereja Stasi Ngrejo yang menjadi tempat istirahat di hari kedua ini ternyata kena zonk. Pagernya masih terkunci. Bersama Arik dan Getta aku pun menunggu di warung tak jauh dari gereja. Pesan teh manis dan sekaligus pinjam pisau, aku pun menguliti masa lalu. Mengupas tebu untuk melihat kenangan-kenangan kala bocah. Menyesap air tebu. Zaman berubah. Rasa tebu pun berbeda.
Di gereja ini aku baru tahu, Gunung Kawi juga terkenal dengan ubinya. Pantas dari gerbang Pesarean Gunung Kawi sampai gereja sering lihat warung menjual ubi mentah.
Sayangnya, kelezatan ubi G Kawi tak membuatku tidur nyenyak malam itu. Konser solo seorang peserta dengan suara baritonnya memaksaku untuk begadang.
Kontur rute hari kedua.Bersiap menjemput rizki.Tetap bekerja.Setapak demi setapak.Pelan tapi pasti.Ladang tebu dan panenan.Tebuku menunggumu.Hari kedua.
***
Pagi hari ketiga sebelum berangkat, Arik membisikkan sesuatu ke telingaku. Bukan berbisik sebenarnya. Hanya karena aku tidak pakai hearing aid jadi seperti berbisik. Tapi pesan yang disampaikan bisa kupahami. Baiklah!
Bulan purnama sempat menemani kami sampai ia hilang di ufuk barat. Kali ini aku akan melatih kesabaran dalam berjalan. Setelah jeda minum teh hangat dan membuka bekal selepas 5 km berjalan, pelatihan kesabaran itu berbuah indah. Rute melintasi sawah yang sedang menumbuhkan padi dengan bakal bulir yang mengintip. Sejauh mata memandang hamparan padi menyejukkan pagi. Di kejauhan perbukitan kapur menjadi dinding hamparan sawah ini.
Menyusuri selokan di sini mengingatkanku pada Selokan Mataram di Yogya. Hanya saja sisi selokan jalan setapak. Bisa digowes juga sih. Terbukti beberapa sepeda terparkir di beberapa titik jalan setapak ini. Sepeda para petani yang sedang mengecek sawah mereka. Sebagian sudah menggunakan sepeda motor. Sama seperti di kampung di Bantul tenggara yang sepeda onthel petani tergeser motor kreditan. Siapa yang tak tergoda dengan moda yang cepat bisa mengantar ke mana saja? Bisa jadi jalan kaki sudah tidak zamannya lagi. Makanya, beberapa petani yang kami temui bertanya mau ke mana kami? Dari mana kami? Jalan kaki?
Blister di kaki mulai terasa sakit. Tak lagi satu, tapi sudah tiga. Satu di kaki kanan, dua di kaki kiri. Dengan berjalan lebih lambat, kesakitan itu semakin meresap. Tapi seperti katak yang direbus dengan api yang kecil, rasa sakit itu pelan-pelan menghilang. Menjadi mati rasa. Seperti katak yang akhirnya terkapar tanpa dia bisa melompat keluar dari panci.
Makanya, ketika lepas dari penyeberangan Waduk Karangkates, dan berhenti di Warung Sederhana untuk minum es teh, aku membuka sepatu dan mengecek blister di kaki. Sudah ranum. Saatnya dipetik! Aku lantas mengeluarkan jarum pentol yang aku minta dari koster Gereja Ngrejo kemarin sore. Ah leganya ketika cairan blister itu keluar. Bebas. Seperti ketika aku melepaskan sepatu yang mengungkung jari-jari kaki yang mengalami blister tadi.
Perjalanan terus berlanjut sambil menenteng plastik berisi es teh manis. Kembali memasuki ladang tebu. Sampai kemudian bertemu dengan tanjakan yang tiada berakhir. “Itu tanjakan bolu. Orang sini saja gak ada yang mau jalan kaki lewat situ,” kata pemilik warung mi bakso tak jauh dari ujung tanjakan. Mi bakso di sini menjadi warung satu-satunya yang aku sua. Waktu di akhir tanjakan bertanya ke seorang penduduk apakah ada warung makan? Tanjakan dan hari sudah siang membuat perut harus diisi.
“Sampeyan lapar? Mari makan di rumah saya?” begitu ajakan bapak yang kutanya tadi. Dengan halus aku tolak dan aku menuju ke warung yang disebutkan tadi.
Perkampungan tadi menjadi jeda sebelum kembali masuk kebun tebu. Bedanya dengan kebun tebu di hari kedua, kondisi jalan makadam di sini mulai didominasi batu gamping. Khas wilayah pesisir pantai selatan Jawa. Dari sini ke Pantai Ngliyep paling tinggal 20 km saja. Sementara kalau dari Kota Malang, Pantai Ngliyep berjarak sekitar 60 km.
Lihat…!
Aku sempat rebahan dan akhirnya tertidur di sebuah gardu ketika Arik dan Mbak Ning beristirahat. Begitu terbangun agak kaget juga, kok bisa sampai tertidur pulas. Di kejauhan sana tidak ada lagi Arik dan Mbak Ning. Cek ponsel ada pesan kalau Arik sudah jalan duluan. Tidak tega membangunkan diriku yang seperti orang mati.
Berjalan kaki di jalan makadam membelah kebun tebu memang melelahkan. Beberapa kali kami berhenti. Istirahat sambil menikmati pemandangan. Menjelang sore itu aku terbius dengan hamparan tebu dengan pucuk-pucuk glagah menjulang tertimpa sinar mentari. Dulu waktu kecil glagah-glagah itu kami bikin menjadi mainan. Salah satunya kereta.
Menemukan Indomaret kami seperti menjumpai peradaban. Sudah menginjak Donomulyo. Titik finish tinggal berbilang tiga kilometer. Seperti sudah berakhir. Meski ternyata jalannya tidak rata. Masih turun naik sebelum naik lagi. Kami berpapasan dengan rombongan ibu-ibu yang usai menjalan salat Maghrib.
Ketika gerbang Gua Maria Sendang Purwaningsih terlihat dalam gelap, hatiku bersyukur. Usai sudah perjalanan ini. Sambil menjaga langkah Mbak Ning yang menaiki tangga, sesekali berhenti, tak jarang sedikit oleng, akhirnya perjalanan Napak Jero pun usai. Aku segera mandi dan kemudian bersimpuh di depan Bunda Maria.
Selesai sudah ….
Kontur hari ketiga dengan Tanjakan Bolunya.Jarak tempuh per hari.Misi hari ketiga.Hamparan sawah.Siap menyeberang.Berlindung.Terperangah glagah.Menjemput malam.Hari ketiga.
gussur.com – Baduy Dalam merupakan salah satu suku di Jawa yang belum terpengaruh modernisasi dan masih memiliki tradisi serta adat khas yang hampir sepenuhnya terasing dari dunia luar. Suku ini tinggal di kawasan Pegunungan Kendeng, Kab Lebak, Banten. Tempat ini bisa menjadi tempat menyepi karena di sini tidak ada listrik, tidak boleh menggunakan alat elektronik, dan banyak pantangan lain yang umumnya sudah biasa dilakukan di dunia luar. Beberapa alasan itulah yang membawaku ke Baduy Dalam di awal tahun 2024.
Sebenarnya, sekitar 5 tahun silam aku sudah pernah ke Baduy Dalam. Khususnya Kampung Cibeo. (Baduy Dalam sendiri memiliki tiga kampung: Cikeusik, Cibeo, dan Cikertawana). Lewat Cijahe yang relatif lebih cepat dan jalurnya dominan datar. Hanya waktu itu tidak menginap. Sementara ke Baduy Luar pernah juga lewat pintu masuk yang populer: Ciboleger. Di sini menginap semalam.
Waktu pertama ke Baduy Dalam itu keluar masuk lewat pintu Cijahe. Jalurnya tanah dan relatif datar. Sehingga masuk pagi sekitar pukul 09.00, sore hari sudah keluar lagi. Begitu terkesannya dengan kehidupan masyarakat sini, keinginan untuk kembali selalu menyelinap di hati. Makanya, ketika ada ajakan untuk menginap ke Baduy Dalam, aku bungah sungguh.
Awalnya direncanakan tanggal 16 – 18 Januari 2024. Menginap semalam di Baduy Dalam, dan semalam lagi di Baduy Luar. Masuk dari Cijahe dan keluar di Ciboleger. Apa daya, pada tanggal itu Baduy Dalam sudah memasuki bulan Kawalu, yang menutup diri dari orang luar selama tiga bulan. Ada prosesi dan puasa yang hanya diikuti oleh orang Baduy Dalam. Karena menunggu tiga bulan terlalu lama, dan mungkin durian sudah habis, kami pun menyegerakan perjalanan itu. Ketemu tanggal 11-12 Januari 2024. Cuma semalam menginap di Baduy Dalam. Gerak cepat pun dilakukan, termasuk memesan transportasi antar-jemput Stasiun Rangkasbitung – Terminal Ciboleger dan Terminal Cijahe – Stasiun Rangkasbitung.
***
Kami, aku-Joy-Mas Nug-Om Yupa, bertemu di Stasiun Rangkasbitung. Aku nyampe terakhir di Stasiun Rangkasbitung. Joy dan Mas Nug yang rumahnya berdekatan berangkat dari Stasiun Jurangmangu. Om Yupa yang berangkat kepagian dari Stasiun Palmerah pun turun di Stasiun Jurangmangu dan bergabung dengan Joy dan Mas Nug. Sementara, aku yang dari awal pesimis bisa berangkat pagi, naik kereta jadwal berikutnya.
Meski berjarak sekitar 105 km, Stasiun Rangkasbitung masih tercakup dalam jaringan kereta komuter Jakarta. Dari Stasiun Tanahabang sebagai titik awal sampai Stasiun Rangkasbitung sebagai titik akhir, melewati 17 stasiun antara hanya mengeluarkan uang Rp6.000. Lama perjalanan 1 jam 49 menit. Jarak antar kereta sekitar 30 menit sehingga tidak perlu khawatir tertinggal terlalu lama.
Usai sarapan di warung legendaris di Rangkasbitung, RM Ramayana dengan menu sop dan sate, kami pun beranjak menuju Terminal Ciboleger.
“Lewat sini saja ya. Jalan pintas,” kata Isra, sopir Elf yang membawa kami ke Terminal Ciboleger. Kami mengiyakan saja.
Agak-agak lupa dengan jalur angkot, namun jalur alternatif ini lebih sempit dan banyak rollingnya. Awal masuk dapat jalan rusak. Kemudian mulus beberapa saat, sebelum akhirnya terguncang-guncang lagi akibat jalan aspal yang mulus kala Hayam Wuruk berkuasa saja. (Ini guyon teman-teman kalau nyebut jalan aspal yang berlubang di sana-sini. Pasti pernah mulus terus dibiarkan saja sampai kemudian berlubang di sana-sini.)
Di beberapa ruas sedang dilakukan betonisasi, sehingga diberlakukan sistem buka tutup. Namun karena kami pergi di hari kerja, kondisi lalu lintas tidak begitu ramai.
“Wah dibeton untuk meraih suara nih,” celetuk salah satu dari kami. Pemilu yang tinggal menghitung hari memang menjadi bahan obrolan menarik di masyarakat saat-saat ini.
Meski terguncang-guncang, aku masih bisa terlelap beberapa jeda. Semalam memang kurang tidur. Sekitar 2,5 jam kami pun sampai di Terminal Ciboleger. Tempat ini belakangan menjadi titik panas bagi goweser atau penjelajah sebagai titik awal untuk meresapi kehidupan masyarakat Baduy, utamanya Baduy Luar. Ya, hanya melangkah beberapa depa saja kita sudah memasuki dunia Baduy Luar. Kita bisa lebih meresapi lagi dengan menginap di salah satu rumah penduduk.
Di Terminal Ciboleger inilah kami kemudian bertemu dengan Sapri, penduduk Baduy Dalam yang akan mengantar kami ke rumahnya. Dia ditemani adiknya. Karena masih belum lapar akibat sarapan yang kesiangan di RM Ramayana tadi, kami akhirnya membungkus saja di warung tempat Sapri menunggu. Nantinya akan kami buka di tengah perjalanan ketika perut sudah mulai menunjukkan tanda-tanda lapar.
Siang itu, dalam gerimis hujan yang awet, kami memulai perjalanan ke Baduy Dalam. Mencari keheningan yang hakiki. Melepaskan diri dari hiruk pikuk dunia modern (aka digitalisme).
Selepas membayar tiket masuk sebesar Rp5.000 per orang, kami pun masuk ke kawasan Baduy Luar. Jalan berbatu masih basah oleh gerimis. Di kanan kiri berjajar warung sekaligus rumah. Menjajakan kerajinan khas Baduy, utamanya tenun. Di beranda beberapa perempuan Baduy menenun. Kita bisa bertanya-tanya soal proses menenun itu yang masih menggunakan alat tenun bukan mesin.
Yang khas di setiap pergantian dan awal tahun adalah buah durian. Belakangan Baduy menjadi sumber pasokan durian di Jakarta dan sekitar. Ketika musim durian tiba, kita terbiasa melihat hilir mudik orang Baduy menggotong pikulan berisi durian untuk dibawa ke Terminal Ciboleger. Dari sini kemudian durian-durian itu melalangbuana ke Jakarta dan sekitar. Belum dalam skala besar, namun mobilitas sporadis itu sudah tampak.
“Kita ambil jalan pintas saja,” kata Sapri ketika di sebuah pertigaan aku ambil jalan ke kanan yang cenderung rata. Aku ingat ini jalan menuju ke rumah yang dulu aku pernah menginap di Baduy Luar. Jalan memintas itu belok kiri naik! Setelah menyusuri jalan ini kami tiba di sebuah perkampungan. “Ini kampung baru,” jelas Sapri. Berbeda dengan Baduy Dalam yang tak bisa menambah kampung, Baduy Luar diperbolehkan membuka kampung baru. Sejauh ini setidaknya ada sekitar 50 kampung Baduy Luar. Sementara Baduy Dalam hanya ada tiga, seperti yang disebut tadi. Cikeusik, Cibeo, dan Cikertawana.
Melintasi beberapa jembatan sampai kemudian tiba di Jembatan Gajeboh. Di sinilah dulu titik terakhir aku jalan-jalan saat menginap di Baduy Luar. Jembatan bambu yang melintasi S Ciujung itu begitu ikonik. Mirip dengan jembatan akar yang melintasi S Cisemet.
Dulu waktu di jembatan Gajeboh ini dibilang Baduy Dalam tidak jauh lagi. Ternyata setelah melewatinya kemarin, konsep tidak jauh lagi itu memang perlu ditelaah lagi. Terutama siapa yang bilang. Waktu itu yang bilang orang Baduy Luar.
Setelah kemarin melaluinya baru paham seberapa dekat itu versi akamsi. Ternyata jalurnya masih mendaki permanen dan ketemu beberapa kampung lagi. Sama seperti di kampung-kampung lain, di sini beberapa perempuan mengerjakan tenunan dengan alat tenun bukan mesin. Di kampung kedua setelah jembatan Gajeboh kami berhenti di sebuah warung. Membuka bekal yang kami bawa.
“Itu yang ada rumpun bambu, itu batas hutan lindung. Di bawahnya kampung Sapri,” tunjuk Sapri ke kejauhan. Sore masih menampakkan terangnya meski mendung masih juga menggayut. Di kejauhan sana itu kami akan berlabuh. Mengantisipasi datangnya gelap, kami mulai membuka peralatan penerangan.
Jalanan mulai didominasi jalan setapak tanah. Tidak seperti sebelumnya yang diperkeras dengan bebatuan. Untung gerimis sudah berhenti. Sebab jika masih turun akan menyulitkan langkahku. Memakai sendal Pyopp Fledge ini memang nyaman ketika jalan kering atau kalau basah di aspal atau bebatuan. Ketika tanah naik ke permukaan sendal, yang ada harus ekstra perhatian sebab menjadi licin. Di sebuah pertigaan kami berbelok ke kiri.
“Kalau lurus ke Cijahe. Tadi Sapri sama Doni lewat jalan ini pas Pak Agus bilang sudah berangkat menuju ke Ciboleger,” kata Sapri. Bagi Sapri dan masyarakat Baduy jalan kaki berkilo-kilo jauhnya bukan masalah. Apalagi bagi Sapri yang memang tidak diperbolehkan menggunakan kendaraan dalam mobilitasnya.
Dari pertigaan tadi jalanan menurun. Selepas melewati sebuah jembatan kecil, Sapri memetik beberapa pucuk daun pakis. Untuk disayur, katanya. Namun tak sembarang pakis. Sebab ada yang tidak enak disayur. Bukan karena beracun, tapi terlalu keras daunnya.
Akhirnya kami sampai di jembatan pemisah Baduy Dalam dan Baduy Luar. Segera kami berfoto-foto berlatar belakang jembatan yang melintasi S Ciujung sebelum tidak bisa memotret di Baduy Dalam. “Ini tanjakan terakhir yang saya bilang tadi,” kata Sapri. Sebelumnya kami membahas soal tanjakan panjang selepas jembatan Gajeboh. Sapri bilang di depan masih ada tanjakan yang lebih terjal. Dan memang tanjakannya terjal dan tanah. Kanan kiri ladang yang saat itu ditanami padi. Di atasnya terhampar beberapa jaring. Beberapa kelelawar tersangkut, membusuk, dan bahkan ada yang sudah tinggal tulang belulangnya.
Tak jauh dari akhir tanjakan kami mampir ke rumah ladang adiknya Sapri. “Sambil nunggu yang di belakang,” kata Sapri sambil bergegas meninggalkan aku dan Joy. (Mas Nug, Om Yupa, dan Doni masih tercecer di belakang.) Ketika kembali menemui kami, di tangan Sapri terlihat beberapa bunga kecombrang.
Karena Mas Nug dan Om Yupa belum kelihatan juga, kami pun melanjutkan perjalanan. Tinggal sebentar lagi kata Sapri. Memang, tak seberapa kemudian kami sudah memasuki perkampungan. Beberapa perempuan Baduy terlihat seperti pulang dari ladang. Ada yang menggendong anak mereka. Ada pula yang berjalan bersama anak mereka yang sudah bisa berjalan kaki.
Terus terang, saya takjub dengan gerakan kaki-kaki mungil itu. Tanpa alasa kaki, kaki mereka lincah bergerak di antara bebatuan. Ketika menyeberang jembatan kecil dari bambu, tanpa ragu mereka melangkah. Tak ada ketakutan jika semisal terpeleset. Alam telah mengajarkan banyak hal sehingga mereka bisa menyatu.
Kami menyalip beberapa perempuan itu, yang ternyata salah satunya masih kerabat Sapri. Akhirnya kami tiba di rumah Sapri, tempat kami akan menginap, sebelum gelap. Setelah beres-beres barang, aku minta diantar ke sungai untuk mandi.
“Mau di pancuran atau di sungai?” tanya Sapri.
Setelah ditunjukkan mana pancuran dan mana sungai, aku memilih pancuran. Pancuran ini letaknya tak jauh dari sungai. Ada pancuran dari anak sungai dan jatuh di semacam bak kayu. Sebagai gayungnya adalah separo batok kelapa.
Ketika selesai dan mau kembali ke rumah Sapri, Sapri bertanya mau menunggu dia yang mau mandi atau kembali sendirian? Aku merasa pede dan ingat jalan ke rumah Sapri makanya memilih pulang sendiri. Tak tahunya, kebingungan saat mau masuk gang ke rumah Sapri. Sudah agak gelap dan semua rumah mirip. Akhirnya mencari-cari sebelum dipanggil oleh Sapri yang sudah duluan tiba!
***
Tak seberapa lama Om Yupa dan Mas Nug sampai. Setelah mereka berdua mandi dalam kegelapan hari, akhirnya kami semua ngariung di ruang keluarga rumah orangtuanya Sapri. Datang juga adik-adiknya Sapri. Sebagaimana rumah Baduy, rumah orangtua Sapri adalah rumah panggung. Terbuat dari kayu tanpa menggunakan paku dan beratap daun rumbia.
Ketika semua sudah selesai mandi dan ngariung di ruang tengah, makanan pun mulai disiapkan.
“Mau duren dulu?” kata Bapaknya Sapri, yang langsung dijawab serempak, “Mau ….” Salah satu tujuan kami ke Baduy memang berburu duren.
Berbiji-biji duren terbelah, dan sekejap daging buahnya masuk ke mulut-mulut kami. Duren lokal Baduy ini bijinya besar. Warna buah dagingnya dominan putih. Beda dengan montong yang kuning dan biji kecil. Tak lupa aku, Mas Nug, dan Joy menyodorkan kotak kemasan untuk membawa pulang sebagian duren.
Setelah puas makan duren kami pun melanjutkan makan malam. Di momen inilah kami merasakan nasi dari padi lokal yang katanya (sebagian) sudah disimpan puluhan tahun. Benar-benar nasi organik karena penanaman padinya tidak menggunakan pestisida. Air yang digunakan pun dari sumber mata air yang terjaga kemurniannya. Di Baduy Dalam kita tidak boleh mandi menggunakan sabun, sampo, dan semacamnya.
“Ini daun pakis tadi?” tanya kami ke Sapri.
“Iya.”
Siapa nyana pucuk tanaman liar dari hutan itu begitu lezat di mulut. Padahal bumbu yang dipakai minimalis banget. Hanya kecombrang, garam, dan bawang. Sebagai teman lauk ada pete dan kencur. Iya, kencur! Ternyata enak juga kencur “dikletus” sembari menyuap nasi.
Oya, di Baduy Dalam juga tidak ada perabotan modern. Makan menggunakan alas daun makata (?). Mangkok terbuat dari kayu yang dicongkel-congkel tanpa pahat, namun begitu halus dan presisi antarsisi. Gelas menggunakan ruas bambu. Sendok sayur dan nasi berbahan dasar kayu.
Usai makan kami pun ngobrol ngalor-ngidul. Dari soal budaya sampai politik.
Karena sudah mengantuk berat, aku tak ikut sampai selesai. Langsung menarik sarung dan tidur. Sekitar jam 2 dini hari perasan ingin kencing muncul dan spontan aku bangun. Namun kaget sebab kondisi sekitar gelap gulita. Di luar terdengar suara gerimis. Sapri sebelumnya sudah bilang kalau pingin kencing di samping rumah enggak apa-apa. Tapi kondisi gelap dan gerimis membuatku urung. Rela menahan rasa kencing sampai esuk hari.
Tidur dengan lampu minyak mengingatkan masa-masa kecil di kampung sebelum program Listrik Masuk Desa menerangi desa kami. Namun saat itu ketika tidur, orangtua tidak mematikan semua lampu. Hanya saja lampu besar (teplok) diganti lampu kecil (sentir). Jadi remang cahaya masih ada menerangi kamar kami.
Paginya sekitar pukul 05.00, aku memberanikan diri untuk kencing di luar. Selain itu keluarga Sapri juga sudah melakukan aktivitas pagi mereka. Di luar masih gelap. Gerimis tinggal rintiknya saja.
***
Rutinitas pagiku, buang hajat, kulakukan sembari mengingat (lagi) masa kecil. Ya, apalagi kalau bukan pup di kali. Kali ini aku ditunjukkan lokasi yang berbeda dari kemarin sore.
“Dari sini belok kiri, lurus aja. Nanti ketemu jembatan. Ambil jalan kiri turun ke sungai. Terus belok kiri, di situ ada batu besar. Nah buang hajat bisa di balik batu itu,” kata Ajja adik Sapri.
Meski gerimis mulai membesar aku menerobosnya, dengan berlindung di bawah mantol kresek murah meriah. Soal ini tidak bisa ditahan-tahan sebab kalau jebol bisa berabe. Beda sama buang air kecil.
Sesuai petunjuk, aku langsung menemukan batu besar itu dan mulai jongkok menghadap ke arah jembatan. Pagi itu tinggal beberapa orang saja hilir mudik lewat jembatan. Sudah terlalu siang untuk ke ladang.
Ketika limbah perut itu mulai keluar perlahan, reflek aku menoleh. Tindakan yang hampir kami lakukan kala masa kecil waktu buang hajat ramai-ramai di kali. Bahkan sampai ada lomba siapa yang paling panjang tanpa putus tainya, dia yang menang. Meski sering tanpa ada hadiahnya, tapi yang menang sudah senang.
Kami pun memandangi tai kami masing-masing sampai hilang ditelan aliran air kali. Begitu juga pagi itu, aku menoleh sampai hasil hajatan itu hilang dari pandangan mata.
Aku tidak mandi pagi itu. Karena tidak tahu di mana pancuran di lokasi ini. Habis buang air besar langsung balik ke rumah Sapri. Kali ini tanpa nyasar.
Hanya semalam kami menginap di Baduy Dalam. Jadi setelah makan pagi dan beberes barang, kami pun pamit pulang. Kali ini tidak lewat jalur kemarin, namun menuju Terminal Cijahe yang tidak terlalu jauh.
Sayangnya, meski dekat jaraknya namun jalannya dominan tanah. Tak ada pengerasan dengan batu selayaknya jalur Ciboleger – Baduy Dalam. Sementara hujan semalam masih menyisakan genangan air di banyak ruas jalan. Jadilah aku agak kerepotan ketika sendal sudah membawa lapisan tanah baik di solnya maupun di permukaan bagian atas. Licin dan bertambah berat. Terkadang jadi seperti terkena lem sehingga sendal susah diangkat.
Sempat terpeleset cukup jauh, untung masih bisa menjaga keseimbangan sehingga tidak sampai terjatuh.
Kontur jalur Cijahe ini sangat ramah buat pemula. Lebih banyak datarnya. Memang kalau musim hujan becek tapi tak seberapa sulit. Melewati banyak ladang yang sedang ditanami padi dan kencur sebagai tumpang sarinya. Ada juga yang ditumpangsarikan dengan pohon pisang.
Setelah melewati jembatan yang melintasi S Ciujung, kami pun keluar dari kawasan Baduy Dalam. Boleh kembali memotret. Makanya, ketika melewati perkampungan Baduy Luar dan melihat lesung panjang kami pun berhenti berfoto-foto.
“Wah, belum pernah lihat lesung sepanjang ini. Kalau pendek namanya lesung pipit,” kata Om Yupa yang segera mengeluarkan ponselnya.
Selepas perkampungan itu tak lama kemudian kami pun sampai di Terminal Cijahe. Agak kaget aku melihat kondisi terminal yang makin ramai. Dulu masih sepi dan tidak terlalu luas.
Dibandingkan dengan jalur Ciboleger, jalur Cijahe hanya sekitar sepertiga jaraknya dan medannya sangat ramah.
“Beberapa link di sini adalah tautan afiliasi. Ketika kamu memutuskan untuk membeli melalui tautan tersebut, aku akan menerima komisi tanpa biaya tambahan bagimu. Dengan begitu, kamu membantu saya untuk terus menjalankan situs ini dan terus memberikan informasi penting lainnya yang bisa bermanfaat bagi kamu. Terima kasih atas dukungannya!”
gussur.com – Saya pernah merasakan keganasan rayap ketika mengetahui buku-buku yang disimpan di rak di lantai bawah digerogoti rayap dengan senyap. Buku-buku ini relatif jarang saya buka karena beberapa sudah ada bentuk digitalnya. Jadi saya hampir tidak peduli keberadaannya. Ditambah dengan kondisi rak sendiri yang nyaris taka da sesuatu yang harus diperhatikan.
Sampai suatu ketika saya mesti mencari buku yang kebetulan versi digitalnya tertinggal di kantor. Begitu pintu rak terbuka, lalu saya ambil buku yang dimaksud, barulah sadar ternyata bagian bawah pojok yang menempel tembok sudah gompel termakan rayap. Akhirnya hari itu saya membongkar seluruh isi rak dan menemukan rayap pelan-pelan menikmati lumbung “padi” mereka.
Rak buku itu memang tak berjarak dengan lantai dan tembok rumah. Dari sinilah koloni rayap membangun rumah baru bertumpukan buku-buku yang nyaris tak tersentuh pengawasan.
Kerugian yang saya alami tak terlalu banyak karena kebetulan buku-buku itu ada versi digitalnya. Namun data dari Asosiasi Perusahaan Pengendalian Hama Indonesia (ASPPHAMI) tentang kerugian akibat hama rayap ini ditaksir mencapai Rp 2,8 triliun setiap tahunnya. Sangat fantastis kan?
Karena sifatnya yang menyerang secara diam-diam tadi, maka kita perlu mencegah serangan rayap. Buku hanyalah sampingan saja, sebab yang menimbulkan banyak kerugian adalah diserangnya perabotan. Mulai dari kursi, lemari, bahkan rangka atap rumah. Untuk mengatasi serangan rayap itu, kini mulai banyak rumah yang memasang rangka atap dengan baja ringan. Begitu juga dengan kusen pintu dan jendela mulai mengadopsi bahan non-kayu.
Jika tempat tinggal kita diketahui rawan terhadap serangan rayap, maka sebelum mebangun rumah akan lebih baik jika tanah disuntik dengan antirayap terlebih dahulu. Memang butuh biaya tambahan, namun untuk jangka waktu beberapa tahun kita tak perlu was-was dengan serangan rayap. Suntikan antirayap ini dilakukan di beberapa titik dan nanti setelah obatnya habis (jangkanya bisa beberapa tahun) disuntik lagi.
Selain dengan obat kimia, sebenarnya rayap bisa dibasmi dengan obat non-kimia. Hanya saja butuh waktu dan ketelatenan. Salah satunya dengan minyak atsiri seperti minyak jeruk dan minyak neem. Bahan ini dapat membunuh rayap secara perlahan seiring waktu dengan menghambat kemampuannya untuk merontokkan kulit atau bertelur. Caranya cukup dengan mencampurkan dua cangkir air plus beberapa tetes sabun cuci piring dengan sekitar 10 tetes minyak atsiri. Kocok dan semprotkan pada kayu atau bahan yang sekiranya terdapat rayap.
Jika ingin solusi yang praktis dan senyap karena tinggal sat set saja, produk antirayap semprot bisa jadi pilihan. Sekali semprot bahkan bisa berefek sampai lima tahun ke depan. Mirip dengan pemilu saja kan? Kali ini bukan pemilihan umum, tapi penyemprotan umum. Produk ini memiliki beberapa kelebihan seperti bekerja secara bertahap, dalam artian rayap tidak akan segera mati untuk memberi kesempatan menularkan racun ke rayap lainnya; bekerja untuk beberapa varian rayap; tidak berwarna dan tidak berbau menyengat; membunuh koloni rayap hingga ke ratunya.
Cara pemakaiannya juga praktis. Tinggal semprotkan ke area yang terpapar rayap. Hanya saja jika bahan yang terpapar rayap terlindungi lapisan semisal cat tahan cairan, lubangi sedikit agar cairan bisa meresap ke dalam bahan.
gussur.com – Gereja Ganjuran, tepatnya Gereja Hati Kudus Yesus Ganjuran, menjadi bagian penting dalam sejarah penyebaran agama Katolik di kawasan selatan DIY. Gereja Ganjuran ini diresmikan pada 16 April 1924 dan menjadi gereja Katolik pertama di Bantul. Meski besar di Bantul, namun tak banyak kenangan masa kecil dengan gereja ini. Justru Gereja Klodran yang berlokasi sekitar 7 km ke utara yang bersemayam di memori masa kecil. Dulu sering mengikuti misa di sini dibandingkan dengan di Gereja Ganjuran. Yang teringat dari Ganjuran justru rumah sakitnya yang menyatu dengan kawasan gereja ini.
Mengenal Gereja Ganjuran justru dari teman luar Jogja yang ingin datang ke sini. Baru tahu bahwa gereja ini menjadi salah satu tujuan wisata ziarah rohani karena ada patung Yesus di dalam sebuah candi. Candi ini terletak di sebelah timur bangunan gereja, dan dibangun oleh Schmutzer bersaudara pada 1927. Awalnya, bangunan yang terletak di depan rumah keluarga Schmutzer ini dibangun sebagai monumen atas keberhasilan Pabrik Gula Gondanglipuro yang dikelola oleh keluarga Schmutzer yang berhasil lolos dari krisis keuangan yang melanda dunia saat itu.
Schmutzer bersaudara adalah Joseph Ignaz Julius Maria Schmutzer dan Julius Robert Anton Maria Schmutzer. Mereka bukanlah pastur, tapi pengelola pabrik gula Gondang Lipuro di Ganjuran. Pada tahun 1920-an itu, Yogyakarta dikenal sebagai Land of Sugar karena ada 19 pabrik gula di sini. Salah satunya ya PG Gondang Lipuro tadi.
(Sebelum menjadi penghasil gula, Yogyakarta dikenal sebagai daerah penghasil nila. Indigoplanter. Ketika kemudian muncul pewarna sintetis, harga nila pun anjlok. Salah seorang pengusaha nila kemudian mengubah perkebunannya menjadi perkebunan tebu. Langkah ini diikuti oleh pengusaha nila lainnya, sampai kemudian muncul 19 pabrik gula di kawasan Yogyakarta.)
Jika pakai istilah kiwari, pembangunan gereja merupakan salah satu tanggung jawab sosial Schmutzer terhadap masyarakat sekitar. Terutama bagi karyawan pabrik gula. “Cikal bakal Katolik di Gereja Ganjuran … ya, para pekerja pabrik gula itu,” tutur Windu Hadi Kuntoro, pengurus Gereja Ganjuran seperti dikutip Kompas.com. Arsitek pembangunan gereja ini adalah J Yh van Oyen, seorang arsitek berkebangsaan Belanda.
Sebagai Raja Jawa
Gereja Ganjuran, atau Gereja Hati Kudus Yesus Ganjuran, diresmikan pada 16 April 1924 dan menjadi gereja Katolik pertama di Bantul, DIY. Meskipun besar, penulis memiliki lebih banyak kenangan masa kecil di Gereja Klodran. Gereja ini dikenal juga karena adanya candi yang dibangun oleh Schmutzer bersaudara pada 1927, yang menjadi tujuan wisata ziarah rohani.
Kompleks gereja ini adalah hasil pembangunan sosial Schmutzer bersaudara, yang mengelola Pabrik Gula Gondanglipuro dan mendirikan volksschool untuk mengajarkan agama Katolik. Arsitektur gereja memadukan gaya Eropa, Jawa, dan Hindu-Buddha.
Gereja Ganjuran mengalami renovasi setelah gempa pada Mei 2006. Patung Yesus di candi bergaya Jawa, dengan detail-detail yang mencerminkan budaya lokal, termasuk misa yang disampaikan dalam bahasa Jawa. Candi ini juga memiliki mata air yang dianggap memiliki khasiat menyembuhkan, menarik ratusan peziarah setiap hari. Keberadaan gereja sebagai tempat beribadah dan refleksi spiritual mencerminkan akulturasi budaya yang unik di Indonesia. Pengalaman penulis di gereja tersebut mengingatkannya pada masa kecil saat mengikuti misa berbahasa Jawa.
Sebelum mendirikan gereja, Schmutzer bersaudara sudah mendirikan volksschool (sekolah rakyat) sejak 1919. Dari sekolah ini warga sekitar pabrik gula mendapatkan ajaran tentang agama Katolik dan gereja. Akhirnya banyak yang kemudian dibaptis, masuk menjadi orang Katolik. Pada 1927, Schmutzer bersaudara melengkapi kompleks gereja ini dengan membuat sebuah candi setinggi 10 meter.
Seperti candi pada umumnya, candi ini juga berhiaskan relief bunga teratai dan memiliki relung. Namun, di dalam relung ini tidak berisi patung Buddha atau arca Hindu. Tidak ada Lingga Yoni di sana. Hanya patung Yesus yang sedang duduk. Yesus tampak membaurkan dengan budaya sekitar. Wajah-Nya berparas Jawa dan memakai pakaian adat Jawa. Rambut-Nya seperti pendeta Hindu dengan mahkota di kepalanya.
Saat Bantul dilanda gempa dahsyat pada Mei 2006, kawasan Gereja Ganjuran pun ikut luluh lantak. Gereja pun direnovasi ulang seperti yang tampak saat ini. Kompleks gereja ini menyatu dengan candi, pastoran, klinik, sekolah, serta area parkir. Lahan seluas sekitar 2,5 ha ini memadukan unsur arsitektur Eropa, Jawa, dan Hindu-Buddha.
Gaya Eropa terlihat pada bangunan berbentuk salib jika terlihat dari udara. Atap gereja yang berbentuk tajug (piramida) dihiasi dengan salib besar. Gaya Jawa terlihat pada bangunan yang bergaya joglo. Bangunan ini dihiasi ukiran Jawa. Termasuk ukiran nanas pada tiang-tiang gereja. Ada juga ukiran berbentuk jajaran genjang yang disebut wajikan. Pendopo gereja dikerjakan langsung oleh pihak Keraton Yogyakarta. Mereka mendatangkan pemahat khusus untuk membuatkan pahatan-pahatan kayu yang mirip dengan keraton.
Pada kanan kiri altar juga terdapat patung malaikat berbusana tokoh wayang orang sedang menyembah. Empat tiang kayu jati bergaya Jawa menopang atap berbentuk tajug. Tiang-tiang ini menggambarkan empat penulis Injil, yakni Matius, Markus, Lukas, dan Yohanes. Jika diperhatikan, warna hijau dan kuning emas mendominasi tiang dan beberapa ornamen lainnya. Warna hijau bermakna kesejahteraan, kemakmuran, dan kehormatan. Sedangkan warna kuning emas bermakna kewibawaan, kejayaan.
Gaya Jawa juga terlihat pada relief Yesus yang digambarkan sebagai raja Jawa yang bertahta di singgasana. Pada bagian bawah relief ini terdapat tulisan Sang Maha Prabu Jesus Kristus Pangeraning Para Bangsa. Sedangkan relief Bunda Maria digambarkan sebagai ratu Jawa yang sedang memangku Yesus yang masih anak-anak. Pada bagian bawah relief ini terdapat tulisan Dyah Marijah Iboe Ganjoeran. Baik Yesus maupun Bunda Maria dalam relief ini juga berparas Jawa dan mengenakan kostum Jawa. Gaya Jawa pada kedua relief itu ada maksud tertentu. Menurut Cahyo Widiarto, Sekretaris Dewan Paroki, gaya itu hendak menunjukkan bahwa Tuhan yang diyakini umat Gereja Ganjuran itu sangat dekat.
“Patung dengan adat dan pakaian Jawa itu bertujuan agar umat merasakan bahwa Tuhan itu sungguh-sungguh Tuhannya orang Jawa,” ucap Cahyo. Dia telah melayani umat di gereja ini selama enam tahun. “Kejawaan” itu juga diperlihatkan lewat misa yang disampaikan dalam bahasa Jawa, seperti yang aku ikuti pada Minggu pagi itu. Suasana Jawa juga diselaraskan pada instrumen yang mengiringi lagu-lagu perayaan misa.
Nuansa Hindu-Buddha terlihat pada bangunan candi. Bukan hal yang biasa melihat gereja sekaligus candi berada dalam satu area.
Mata air ziarah
Pada 1998 ditemukan mata air dari dasar candi Hati Kudus Tuhan Yesus ini. Air dari mata air ini sangat jernih dan dapat langsung diminum, serta dipercaya memiliki khasiat menyembuhkan penyakit. Mata air ini kemudian diberi nama Tirta Perwitasari. Tirta berarti air, adapun Perwitasari diambil dari nama orang yang pertama kali merasakan khasiat air tersebut.
Sejak diketahui khasiat air itu, Gereja Ganjuran menjadi tempat ziarah. Setiap harinya, ratusan orang silih berganti berdoa di depan candi ini. Setiap peziarah yang sakit dan berharap memperoleh kesembuhan melakukan ritual doa di candi tersebut. Setelah mengambil air di samping candi, umat kemudian duduk bersimpuh di depan candi lalu memanjatkan doa dan permohonan. Terakhir, dia masuk ke dalam candi dan berdoa di depan patung Yesus Kristus. Beberapa peziarah pun kerap mengambil air itu dan memasukkannya dalam botol atau jerigen kecil untuk dibawa pulang setelah didoakan.
Halaman depan candi merupakan tempat favorit untuk berdoa. Karena tempatnya luas, halaman ini sering dijadikan tempat misa bulanan. Tempatnya teduh karena dinaungi pucuk-pucuk pinus berada di kiri kanan halaman candi. Diiringi sayup-sayup denting gamelan, jiwa dan raga umat yang berdoa di sini serasa tentram. Memberikan pengalaman spiritual yang berbeda.
Bagi sebagian orang, Gereja Ganjuran bukan sekadar tempat untuk merenung, berdoa, dan beribadah. Namun, di tempat ini juga umat bisa melihat Yesus Kristus dalam wajah Jawa, mengenakan surjan, dan mendengarkan gamelan. Gereja Ganjuran yang menerapkan ajaran Katolik Roma adalah bentuk indah akulturasi budaya Jawa, Hindu-Buddha, dan Eropa. Meski berdiri di lingkungan dengan beragam agama, Gereja Ganjuran tetap mampu melayani umatnya.
Sehabis bubaran misa, banyak umat yang mampir sebentar ke candi ini. Seperti yang saya lakukan selepas misa Minggu pagi dengan pengantar bahasa Jawa tadi.