gussur.com – Cinomati adalah sepenggal jalan pintas yang menghubungkan Kec Pleret dan Kec Dlingo, Kabupaten Bantul. Tanjakan nyengkrek ini sudah dikenal di kalangan pedalis Yogyakarta.
Saya menemukan tanjakan ini saat membikin rute KGC gowes Jogja – Wonosari – Klaten – Jogja. Waktu itu pas ada hari kejepit Hari Raya Nyepi, Maret 2013. Jalanan sepi namun teduh menjadi pertimbangan memilih rute ini dibandingkan jalur utama lewat Pathuk.
Nah, empat tahun berselang, KGC kembali mengadakan gowes bareng Jogja – Indrayanti. Banyak yang meminta lewat Cinomati lagi.
Jika dulu start dari wilayah Brontokusuman, Yogyakarta bagian selatan, kali ini start dari kantor perwakilan Kompas di Kotabaru, Yogyakarta bagian tengah. Berangkatnya pun lebih pagi, sekitar pukul 08.00.
(Trip Cinomati pertama tahun 2013 start kesiangan karena berbagai kendala. Padahal berangkat dari Jakarta setelah Maghrib. Karena menggunakan bus maka kemacetan, jalan rusak, dan dicegat polisi membuat perjalanan terhambat. Sampai Yogyakarta sudah menjelang makan siang.)
Meski beberapa peserta baru sekali ini lewat Cinomati, namun secara refleks saya membelokkan arah rute dari sebelumnya mengikuti jalan besar masuk ke Kotagede. (Rencana kewat Terminal bus Umbulharjo lalu Pleret).
Masuk Kotagede saya ingin memperlihatkan beberapa situs peninggalan Kerajaan Mataram pada masa Panembahan Senopati. Hanya lewat saja karena kalau berhenti akan membuat perjalanan lebih lama.
Meski selintas, setidaknya peserta bisa melihat Makam Raja-raja, Masjid Agung, serta batu giling yang menjadi kursi tahta Panembahan Senopati.
Sebuah insiden ban kempes menimpa Lannue ketika perjalanan menuju Segoroyoso. Kembali aku memilih jalur kampung menghindari jalur utama karena lebih bisa menikmati pemandangan. Perkampungan dengan bentang sawah yang menyela antarkampung menjadi penyejuk cuaca yang mulai panas.
Namun, beberapa ruas jalan rusak. Sementara Yusri dan Rokhmat ternyata ketinggalan jauh dan tidak tahu kalau kami memasuki perkampungan. Mengira kami di depan, mereka pun ngebut mengejar kami.
Nyatanya, jalan rusak dan insiden ban Lannue membuat kami justru yang tertinggal dari Yusri dan Rokhmat. Ketika kami keluar dari jalan alternatif menuju jalan utama, mereka berdua sudah di titik awal pendakian Cinomati.
Ketika akhirnya regrouping, beberapa peserta langsung melanjutkan perjalanan. Tanjakan Cinomati yang sebenarnya sudah di depan mata. Beberapa langsung lanjut pelan-pelan, sisanya masih istirahat di sebuah gardu penjagaan. Mengobrol dengan seorang polisi dan penduduk setempat.
“Dari Jakarta?” Sebuah keterkejutan yang sudah biasa bagi kami kala penduduk lokal bertanya dari mana kami. Dikiranya dari Jakarta naik sepeda kali hehe….
Toh keterkejutan itu tetap saja menggumpal jadi kekaguman ketika kami mengutarakan maksud tujuan kami ke Indrayanti.
***
Melintas di Paliyan.
Dari tempat regrouping tadi, pusat kekuasaan Cinomati memang tak lama lagi. Begitu melihat rambu lalulintas tanjakan, maka hanya dalam hitungan puluhan meter sudah tersua tanjakan yang motor pun kadang ngeden.
Berbeda dengan yang dulu, jalur Cinomati sekarang ini bisa dibilang ramai. Khususnya oleh kemdaraan roda dua. Maklumlah, semenjak kawasan Mangunan Dlingo, Imogiri menjadi daerah tujuan wisata yang Instagramable, jalur ini menjadi alternatif.
Di tempat regrouping tadi sudah ada petunjuk arah beberapa objek wisata semisal Puncak Becici.
Karena ramai maka tak bisa leluasa untuk melakukan zigzag agar bisa menuju puncak tanjakan. Jadi ya harus berhenti jika tak kuat melahap tanjakan. Soalnya tanajakan ini belum berakhir namun ada jeda semu karena kemudian membelok ke kiri.
Di sisi kanan sudut belokan itu ada tempat lapang untuk berhenti sekadar mencari napas yang sepertinya susah diperoleh saat menanjak tadi.
Masih ada beberapa tanjakan berkelok sebelum akhirnya bertemu dengan perempatan yang di tengahnya ada pohon beringin.
Jika ambil kiri kita sampai ke Pathuk, ke kanan Mangunan dengan hutan pinus dan kawan-kawan. Untuk ke Indrayanti ambil yang lurus. Dapat bonus turunan dari perempatan ini.
Ketika membaca postingan Lannue yang melesat di atas kolbak dan menunggu di sebuah masjid pertama dari perempatan itu saya memutuskan untuk sekalian menjadi tempat makan siang. Sambil menunggu bisa melakukan salat.
Nyatanya ada sedikit kendala karena ada miskomunikasi dengan pengantar ransum makan siang. Saya dan pengantar sama-sama buta dengan daerah itu dan ternyata patokan yang saya gunakan mirip dengan lokasi lain yang ternyata dijumpai lebih dulu oleh pengantar.
Beberapa peserta yang sudah lapar memesan Indomie rebus di sebuah warung tak jauh dari masjid. Toh ketika makan siang datang habis juga. Sepertinya tanjakan Cinomati begitu menguras tenaga.
***
Jalan mulus tapi nanjak.
Selepas makan siang perjalanan dilanjutkan lagi. Ada beberapa yang sudah mendahului, dan saya hanya bisa memberi ancar2 sebatas yang ada di Googlemaps. Saya sendiri bingung dengan jalan-jalan di kawasan Gunung Kidul jika menyangkut jalur alternatif.
Awalnya berencana lewat Mulo lanjut Gringsing dan tembus Indrayanti dari arah atas kalau di peta. Tapi di peta sepertinya berbeda jauh dengan kondisi di lapangan. Baru sadar kalau sinyal gps di ponsel saya salah setting.
Akhirnya jalur pun menjauh dari jalur yang direncanakan. Ditambah dengan beberapa ruas jalan yang sedang diperbaiki, maka ketika hari menjelang gelap kami baru sampai pertigaan Baron. Masih ada 11 km lagi, kurang lebihnya.
Berhubung jalanan gelap dan tak semua lampu terang, maka kami pun berjalan beriringan. Jika ketemu tanjakan, maka regrouping dilakukan di puncak tanjakan.
Sedikit kejadian lucu tapi nylekit bagi tersangka. Sewaktu sedang asyik2nya menuruni tanjakan ada kabar tasnya Lannue ketinggalan. Beruntung diantarkan oleh bapak2 penunggang motor yang ditemui saat regrouping di pertigaan Baron.
Awalnya kami mengira bapak2 itu bagian dari pemilik warung di dekat pertigaan itu karena sedari kami datang sudah ada di warung itu. Ternyata motor bapak2 ini mogok dan ia menunggu bala bantuan. Beruntung sama kakaknya Rochmat yang kali ini menjadi tim evakuasi bisa “dibereskan” kemogokan itu.
Nah, bisa jadi karena merasa “berhutang budi” dengan rombongan kami, maka bapak2 itu menyusul kami dan mengantarkan tas Lannue yang ketinggalan.
Lalu di mana letak “nylekitnya” itu?
Ketika lokasi penginapan sudah tinggal sekitar sekilometer, ternyata di pinggir jalan ada warung angkringan yang buka. Sambil menunggu rombongan di belakang karena warung itu ada di puncak tanjakan beberapa berhenti ngeteh-ngopi dan makan nyamikan (cemilan). Tapi saking “enaknya”, malah keterusan.
Dari beberapa peserta yang nimbrung, akhirnya semua peserta malah berhenti dan ikut2an ngeteh-ngopi dan makan nyamikan. Saking laparnya, gorengan tempe yang keluar dari penggorengan langsung tandas.
Nah, sebagai ungkapan rasa syukur atas ditemukannya tas tadi, pemilik tas pun ketiban sangkur mentraktir semua makanan dan minuman yang disantap peserta. Tapi tenang saja, nilainya masih jauh di bawah dengan nilai tas yang hilang tapi kembali lagi itu.
Tak seberapa lama dari angkringan tadi akhirnya kami sampai di penginapan yang tak jauh dari Pantai Pulang Syawal yang lebih dikenal dengan nama Pantai Indrayanti.
gussur.com – Borobudur Marathon 2017 kemarin merupakan keikutsertaan saya ketiga kalinya di lomba lari yang mengambil tempat Start/Finish di Candi Borobudur itu. Yang pertama bisa dibaca di sini. Ada sedikit asa membuncah melihat gelaran yang menurut saya tak kalah dengan BMBM 2015 (sebelum berubah menjadi MBM, Maybank Bali Marathon).
Saya sampai sempat merekomendasikan seorang teman untuk menjajal di Borobudur Marathon 2016. Saya pun mendaftar di kategori FM, dan berharap keseruan di HM pada Borobudur Marathon 2015 berlipat ganda. Tapi apa yang terjadi?
Ketika 2017 Borobudur Marathon “dipegang” Kompas saya pun berharap lagi bahwa pengalaman Kompas yang sudah sukses menggelar event Jelajah Sepeda bisa mengisi kekurangan gelaran BorMar 2016.
Nyatanya memang demikian adanya. Sore selepas lomba, lini masa media sosial mulai dibanjiri pujian atas suksesnya acara BJBM 2017. Dengan mengusung jargon Reborn Harmony, Borobudur Marathon pun diungkapkan sebagai BJBM, Bank Jateng Borobudur Marathon. Bukan lagi BorMar, Borobudur Marathon.
Bisa jadi penggantian istilah itu untuk mengubur kenangan buruk dengan BorMar 2016. Bukankah di tradisi masyarakat Jawa (Candi Borobudur terletak di Magelang, Jawa Tengah) dulu jika ada anak yang sakit-sakitan namanya diganti dengan harapan bisa bebas dari rasa sakit-sakitan itu?
BJBM juga dekat dengan MBM, event lari yang seakan menjadi standar bagi EO jika ingin menyelenggarakan lomba lari berkelas internasional. Dan tak ada yang menyangkal jika Bali Marathon menjadi rujukan mereka yang ingin “memerawani” lari full marathon. Sampai ngetopnya Bali Marathon sampai ada yang bilang event ini sebagai Lebarannya para pelari.
Nah, tentu ada apa-apanya jika selesai BJBM, banyak pelari yang memberi apresiasi dan menyejajarkan dengan Bali Marathon. Ada pula yang membandingkan dengan Jogja Marathon dan Bandung Marathon. (Kedua event terakhir saya tidak ikut sehingga tidak tahu bagaimana kondisi nyatanya.)
Menurut saya membandingkan di sini bukan mencari peringkat, siapa yang terbaik atau siapa yang nomor satu. Soalnya susah untuk mencari hal itu. Tapi yang direkomendasikanlah hehe…
Kebetulan saya tidak ambil sendiri RPC kali ini. Gara-garanya pesawat delay yang membuat waktu menjadi mepet. Akhirnya nitip teman. Menyesal sebenarnya karena kata teman2 pengambilan RPC lancar, petugasnya ramah-ramah,suasana juga sudah mendukung sebuah perlombaan.
Berbeda banget dengan dua kali Borobudur Marathon, seperti yang saya ceritakan di atas.
Paket RPC selain jersey lomba dan BIB juga ada voucher Rp50rb (dua lembar) makan di resto Manohara, ada “seperangkat” pereda nyeri dari Salonpas. Plus tiga sachet Batugin. Agak aneh kenapa “peluruh” batu ginjal yang disertakan. Lebih berguna jika Madurasa atau Antangin. (Cuma enggak tahu itu sepabrik dengan Batugin apa tidak.)
Nilai plus lainnya ada penawaran shuttle bus meski ada yang komentar di Fesbuk pemberitahuannya telat. Shuttle busnya sendiri ada dua lokasi. Di Magelang berangkat dari Artos Mall (pukul 03.00) dan di Yogyakarta dari tiga lokasi (TVRI Yogyakarta, Taman Parkir Abu Bakar Ali Malioboro, dan Plaza Ambarukmo) yang berangkat pukul 02.00.
Dari penginapan di Magelang kota, saya bersama teman-teman berangkat sekitar pukul 03.30. Sampai di pertigaan patung Soekarno-Hatta, Mungkid, kendaraan sudah mulai mengantri. Namun ternyata setelah ada mobil polisi yang mengatur langsung lancar.
Bisa jadi karena peserta yang dibatasi tak sampai 9.000. Tahun sebelumnya dengan peserta lebih dari 12.000 terjadi antrian macet di jalur ini, yang membuat banyak orang parkir di pinggir jalan karena memburu waktu start.
Patut diacungi jempol adalah pemisahan titik start per kategori. Ini dimungkinkan karena lokasi start kebetulan berada di sebuah persimpangan jalan berbentuk Y, dengan titik start/finish di bagian dasar huruf Y. Kategori FM yang start pertama ditaruh di dekat gate Start/Finish. Sementara kategori 21K dan 10K ditaruh di cabang huruf.
Pemisahan lokasi itu konsekuensinya harus memberikan marka yang jelas. Dan itu sudah dilakukan panitia, selain menaruh marshal di setiap persimpangan yang akan mengarahkan peserta ke lokasi start. Dijamin tidak akan kesasar, dan kejadian yang saya alami salah masuk barisan pada tahun lalu tidak terulang.
Yang ajib juga adalah toilet portabel yang dipasang berderet-deret berwarna-warni di Taman Lumbini. Dalam hal ini, MBM kalah set. Lokasi start MBM yang terbatas memang tak bisa memanjakan peserta dengan deretan toilet yang terhampar di rerumputan.
Start tepat waktu, pukul 05.00 karena saya ikut FM. Sebelumnya nyanyi lagu “Indonesia Raya” yang dipandu Andien. Pengibaran bendera oleh Imam Nachrowi, sementara tembakan start oleh Ganjar Pranowo.
Seperti yang ada dalam bayangan saya, rute kali ini memang benar-benar mengeksplorasi kekayaan budaya dan alam Borobudur dan sekitar. Rute jalan pedesaan, sapaan penduduk yang memberi semangat, persawahan, siluet Borobudur dari kejauhan, serta Gunung Merapi yang bersinar diterpa Matahari.
Pos hidrasi berlimpah dengan petugas yang ramah. Menawarkan mineral dan isotonik. Yang perlu dibenahi tempat sampah yang agak kecil, berupa ember plastik ukuran sekitar 50L. Jadi cepat penuh dan ketika ada yang membuang sambil berlari bisa keluar lagi. Memang ada petugas yang mengambil serakan cup yang tak dibuang ke tempat sampah sih.
Jika dibandingkan dengan tahun lalu, rute FM kali ini lebih bersahabat tapi sadis. Bersahabat karena banyaknya marshal yang menjaga kesterilan rute sehingga nyaman ketika berlari. Bahkan ketika gerimis dan hujan besar marshal yang saya temui tetap berjaga sambil mengenakan jas hujan plastik. Patut diacungi jempol soal dedikasinya itu.
Pemandangannya pun ciamik. Melintasi persawahan yang menguning, atau sawah yang sedang ditanami. Ada latar belakang Candi Borobudurnya, Gunung Merapi, atau hamparan sawah yang luas. Bahkan melewati kanopi bambu yang sudah sulit ditemui di perkotaan.
Sadisnya, banyak tanjakan dan tak hanya di awal dan tengah, tapi di akhir rute juga ada. Jika di MBM sejak KM 36-an sudah menurun terus, di BJBM sempat di-PHP. Di sekitar km 30-an jalanan sudah menurun alus. Ah, pasti kemudian datar dan sampai ke Taman Lumbini.
Enggak tahunya, masih ada rolling di km 35-an dan km 37-an. Beruntung cuaca tak segarang tahun lalu.
(Tapi bagus juga lo tanda KM-nya. Terbuat dari besi yang kokoh berdiri.)
Sayang, beberapa fotografer kayaknya ngumpet karena hujan. Bisa dimaklumi sebab saya sendiri juga malas potret2 ketika hujan mulai turun. Jadi ponsel masuk plastik dan masuk ke saku fuel belt.
***
Tanpa persiapan yang matang, saya menyerah di km 26-an. Padahal sudah bertekad untuk lari terus sampai km 30. Gegara kaos kaki yang sempit dan “mencekik” pergelangan kaki bagian atas. “Cekikan” ini sudah mulai terasa di km 21-an. Awalnya saya kira ikatan tali sepatu yang kekencangan penyebabnya. Namun ketika saya cek kok normal2 saja ikatannya.
Saya mencoba mencopotnya dan menarik2nya biar kendor. Lumayan membantu namun tetap saja tidak nyaman. Akhirnya saya copot saja. Tapi lama kelamaan tidak nyaman pakai sepatu tanpa kaos kaki karena kerikil2 kecil masuk dan nyempil di seputaran kaki.
Akhirnya di km 30-an mampir ke sebuah toko penjual kaos kaki. Bapak pemilik toko malah nanya2 soal lomba lari Borbudur Marathon. Jadilah saya berhenti cukup lama, sekalian istirahat. Saya memilih kaos kaki seharga Rp10.000 (satunya dibandrol Rp5.000).
Kali ini kaki terbebas dari “cekikan”. Kebetulan pas mau lari kembali ketemu Kumoro, teman se-Pelari[an]. Sempat jalan bareng, lalu saling meninggalkan, akhirnya kompak jalan kaki bareng di 4 km akhir.
Ketika berbarengan dengan seorang peserta dari Semarang yang mencopot sepatunya dan hanya berkaos kaki saja untuk sampai ke titik finish, saya lalu kepikiran. Kenapa enggak pakai sendal saja ya?
Jadilah #BJBM 2017 kali ini terselesaikan dengan waktu 6.02 jam. Tak jauh berbeda dengan MBM 2017 (06.03) pada 27/8/2017 dan Mandiri Jakarta Marathon 2017 (06.09) pada 29/10/2017.
Tiga marathon yang berdekatan dan semua dengan bekal sekadarnya. Ya, itung2 setidaknya “menyiksa” tubuh.
Toh kali ini saya senang sebab teman yang saya rekomendasikan untuk ikut BJBM 2017 kali ini sumringah. “Sempurna!” begitu katanya.
gussur.com – Warga yang tinggal di sekitar TPA Jatibarang di Semarang ini memiliki solusi inovatif untuk mengurangi gunungan sampah – memasak dengan memanfaatkan gas metana dari sampah
Rumah makan ini berbeda dari rumah makan kebanyakan. Letaknya tepat di tengah Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Jatibarang, Semarang, Jawa Tengah. Sekelilingnya adalah gundukan sampah berbagai wujud. Ada sampah rumah tangga, ada pecahan kaca, ada pula plastik.
Warung ini digawangi suami istri Sarimin (56) dan Suyatmi. Dikala para pemulung dewasa dan anak-anak mengais-ngais gunungan sampah, mereka sibuk memasak. Tentu saja pelanggan mereka adalah pemulung yang tak memiliki banyak uang, namun memiliki banyak sampah!
Nah, di sinilah keunikan warung makan ini. Para pemulung yang makan di warung itu membayar makanan tidak dengan uang, tapi dengan sampah plastik yang dimiliki para pemulung. Langkah ini menjadi bagian dari daur ulang plastik yang tak terdegradasi selain mengurangi jumlah sampah plastik di TPA itu.
Sarimin akan menimbang sampah plastik yang dibawa pelanggan dan mengubahnya ke rupiah. Nilai ini yang kemudian digunakan sebagai alat bayar makanan yang disantap pelanggan tadi. Jika kurang ya mengutang, jika berlebih akan dikembalikan.
Seperti dilansir ChannelNewsAsia.com (CNA), Sarimin memperkirakan bahwa dalam sehari terkumpul 1 ton sampah plastik. “Dengan cara ini sampah plastik tidak menumpuk atau dibuang ke sungai yang bisa menyebabkan banjir. Tak hanya menguntungkan pemulung saja, tapi juga semua orang,” kata Sarimin.
Pasangan ini menjadi satu dari delapan tokoh Indonesia berpengaruh yang diprofilkan dalam program bertajuk Indonesia’s Game Changers dari CNA. Program ini bercerita mengenai latar belakang ke-8 tokoh itu yang dinilai dapat membawa perubahan dalam kehidupan masyarakat melalui kerja keras dan kreativitas.
Warung makan ini dapat menampung sekitar 30 orang dan menyajikan beberapa menu seperti nasi mangut lele atau nasi telur rebus. Harganya berkisan antara Rp5.000 dan Rp10.000. Dibuka pada Januari 2016, warung ini merupakan gagasan dari Agus Junaedi, mantan kepala TPA Jatibarang. Ia ditugaskan pada 2014 oleh Walikota Semarang Hendrar Prihadi untuk mengurangi jumlah sampah plastik di TPA. Sekitar 800 ton limbah berakhir di TPA ini setiap harinya, dan 40 persennya merupakan sampah plastik.
Agus mengatakan bahwa saat itu harga plastik sangat rendah sehingga tidak ada pemulung yang mau memungutnya. “Lantas kami berpikir, kenapa kita tidak menggunakan plastik itu untuk membayar makanan? “kata Agus.
Gas metan gratis dari sampah
Sarimin mengatakan bahwa penghasilannya saat ini berlipat-lipat dibandingkan saat mereka menjad I pemulung yang mengais-ais sampah. Sekarang mereka bisa memperoleh uang sekitar Rp200 ribu sehari, setengahnya dari usaha warung makan dan sisanya dari pemulungan dan penjualan limbah plastik yang mereka kumpulkan.
Menariknya lagi, pasangan ini menggunakan bahan bakar untuk memasak makanan yang dijual di warung mereka secara gratis. Ya, mereka menggunakan gas metana yang dihasilkan dari pemrosesan sampah organik di sekitar mereka. Tentu ini akan mengurangi biaya produksi mereka.
Agus mengatakan bahwa pemanfaatan gas metana itu terjadi setelah terjadinya kebakaran di TPA ini pada 2014 yang menghancurkan hampir 10 hektar lahan. Dari kejadian itu pihak TPA menyadari bahwa gas metana bisa menjadi komoditas yang berharga.
Di TPA Jatibarang, langkah awal limbah diratakan dan kemudian ditutup dengan tanah untuk menampung gas. Lubang dibor ke tanah dan pipa dipasang untuk mengalirkan gas. Gas ini dibagikan gratis kepada masyarakat yang tinggal di dekat TPA. Jadi warga sekitar tak perlu membayar gas untuk memasak.
“Kami ingin mengubah pola pikir, bahwa sampah bisa menjadi komoditas yang bermanfaat. Mudah-mudahan, orang akan mulai mendaur ulang sampah sehingga sampah yang masuk ke tempat pembuangan sampah berkurang setiap harinya. “
gussur.com – Satu kenangan yang tak terlupakan saat turing dengan sepeda lipat dan melalui jalanan rolling adalah ban dalam meletus karena pelek yang panas akibat terlalu lama tertekan kanpas rem. Itu aku alami saat gowes ke Sawarna dari Pelabuhanratu.
Ketika memakai seli yang sama ke Pantai Indrayanti, saya tak begitu khawatir karena rolling di pantai selatan Gunungkidul tak sekejam rolling di seputaran Banten. Tapi ada yang kelupaan saat itu. Saya tak mengecek kondisi kampas sehingga saat dipakai ber-B2W rutin tiba2 saja ban meletus karena pelek robek akibat kampas yang sudah habis.
Agak lama mencari pelek ukuran 20″ dengan lubang 28. Kebanyakan memiliki lubang 32 atau malah 36. Setelah ketemu, akhirnya memutuskan untuk mengetesnya di jalanan rolling. Awalnya mau mengetes dengan jalur Kramatjati – Bogor – Puncak – Cianjur – Cariu – Cibubur – Kramatjati. Namun ajakan teman2 di KGC untuk pesta duren di Ciboleger membuat pikiran berbelok.
***
Stasiun Palmerah menjadi awal dari perjalanan ini. Mengingat tak memiliki banyak waktu, maka gowes ke Baduy ini hanya dilakukan tek-tok. Makanya rute yang dipilih Rangkasbitung – Ciboleger pp. Berangkat dari St. Palmerah menggunakan kereta api dan turun di Stasiun Rangkasbitung. Ada keberangkatan yang lebih pagi, 5.30, namun aku memilih yang agak siangan 6.30.
Di Stasiun Palmerah kemudian terkumpul beberapa teman: Sony, Om GW, Teguh, Novant (sepupunya Teguh), dan Intan. Di Stasiun Pondok Ranji bertambah lagi: Pak Parman, Rokhmat, Adolf, Pipin, Rani. Ternyata di gerbong lain juga ada beberapa pesepeda yang mau ke Ciboleger juga.
Sampai Stasiun Rangkasbitung setelah meluruskan sepeda masing2, kami kemudian sarapan di dekat Alun-alun Rangkasbitung. Selesai sarapan foto-foto di depan tulisan Rangkasbitung. Biar gak dikira hoax.
Biar enggak dikira hoax, maka foto2 dulu.
Sampai km 20-an jalanan relatif datar, menanjak pelan2. Pemandangan masih segar. Bocah2 sekolah riang berangkat. Ada yang naik angkot, diantar keluarganya, juga ada yang berjalan kaki. Kadang mereka melambaikan tangan memberi semangat.
Kanan kiri sawah selepas Kota Rangkasbitung. Terselip perbukitan. Jalanan ada yang dibeton. Ada pula yang masih aspal; ada yang mulus, ada pula yang sudah terkelupas.
Menyusuri persawahan.
Mulai km 20-an itu barulah jalan mulai terasa nanjaknya. Sayangnya, pas jalan datar aspalnya entah pergi ke mana. Tinggal terserak bebatuan. Ketika berangkat masih bisa melihat jalanan. Nah, pas pulangnya ditemani air hujan yang tumpah ruah dari langit. Jadi sudah gak tahu mana jalan yang rata dan mana yang ada lubang.
Di salah satu tikungan, kami dikejutkan dengan suara motor yang jatuh. Penumpangnya seorang kakek2. Kami merasa bersalah karena sepertinya kakek2 itu ingin mendahului kami yang sedang beriringan merayapi tanjakan tak seberapa. Namun naas, si kakek2 ini terlalu lebar menikungnya dan ban depan melindas plastik yang tercecer di jalanan.
Bagi yang “berjiwa sosial”, banyak godaan yang bisa ditemui di sepanjang jalan ini. Ada angkot, ada ELF, dan ada kolbak. Pilih yang sesuai minat dan kemudahan mengangkut sepedanya saja. Seperti yang berikut ini.
Fokus yang di atas ya… jangan yang lain.
Namun, jalur yang sebenarnya dari rute Rangkasbitung – Ciboleger via Leuwidamar ini baru ditemui selepas km 25-an. Penandanya adalah pertigaan yang ada papan penunjuk. Bojongmanik (3 km), Baduy (8 km).
Sebuah plang di pertigaan.
Diawali dengan turunan dengan kondisi aspal yang bergeronjal, maka rolling2 nan aduhai pun siap membelai betis Anda. Jika pakai MTB sangat mengasyikkan. Tapi pas pakai sepeda lipat begitu menyakitkan. Mau dihajar kok kasihan sepedanya, dibiarkan saja kok turunan dan tanjakan itu menyeringai.
Serba salah kan? (Buat aku lo…..)
Sedikit terhibur dengan adanya beberapa hajatan di sepanjang rute ini. Meski ternyata ada polisi tidur dari untaian ban bekas yang harus hati-hati melewatinya.
Polisi tidur jelang hajatan.
Nah, ketika dapat tanjakan nyengklek dan lihat gapura, bersenang2lah. Terminal Ciboleger sebagai tujuan akhir tinggal sedepa lagi. Hilang sudah kepenatan. Betis tak lagi menjerit. Dengkul tak lagi meringis.
Saatnya memandang keluarga petani.
Dari sinilah titik menjelajah kawasan Baduy. Jika hanya punya waktu terbatas, kawasan Baduy Luar tidak jauh lagi dari patung ini. Namun jika ingin lebih mengenal lebih mendalam lagi, sisihkan waktu barang dua tiga hari. Jelajahi Baduy Dalam.
Apabila Anda ingin suasana liburan yang berbeda, meluncurlah ke Kampung Cibeo di Banten untuk bertemu dengan Suku Baduy Dalam yang masih memegang teguh adat istiadat. Anda akan menemukan makna hidup yang tidak Anda dapatkan di tengah hiruk-pikuk kehidupan kota.
Baduy dalam terdiri dari tiga kampung, yaitu Kampung Cibeo, kampung Cikesik dan kampung Cikertawana yang masing-masing dipimpin oleh Puun. Kampung yang kami datangi ialah kampung Cibeo, kampung Baduy dalam yang cukup terbuka untuk pariwisata. Setelah kira-kira 4 jam perjalanan menanjak dari Kampung Balimbing, Baduy luar ke Baduy dalam, melewati perkampungan, beberapa jembatan, ladang dan lumbung padi, kami akhirnya sampai di Cibeo.
Karena tak punya banyak waktu maka saya hanya bisa “memeluk” Baduy Luar dalam beberapa kejap. Sambil menikmati durian yang sedang menuju titik akhir musimnya. Di titik inilah saya lupa akan trauma turunan menggunakan Dahon Sp8 saya.
gussur.com – Awalnya adalah ajakan teman sekantor untuk ikut acara gowes ala Audax sejauh 300 km: Anudax 300. Gabungan dari ANU dan Audax. ANU merupakan komunitas peturing dari Rombongan Bekasi (maaf kalau salah persepsi ya ….). Awalnya tak pikir ANU itu semacam “anu” gitu. Ternyata itu singkatan dari Ascending Nuts Undisputable.
Soal apa itu Audax bisa dibaca di bawah ini.
Audax berawal sekitar akhir abad ke-19, ketika di Italia populer dengan olahraga menantang sepanjang hari. Peserta bertujuan menempuh jarak sejauh mungkin dan membuktikan dirinya audax (= berani). Kegiatan audax di bidang sepeda yang pertama kali tercatat adalah tanggal 12 Juni 1897 ketika 12 pedalis Italia berusaha menaklukkan jarak Roma ke Naples (sekitar 230 km) selama sehari. …. (Sumber)
Lantas terbersit untuk mengetes Polygon Urbano keluaran awal (beli sekitar tahun 2009) yang kala itu merek Dahon menjadi buah bibir. Sekarang sudah punya Dahon juga, tapi buah bibirnya sudah berbeda: Brompton. Bener gak sih??
Bukan tanpa alasan pingin njajal Urbano. Pertama, sudah lama tidak dipakai untuk gowes jarak jauh. Selama ini dipakai untuk keliling kampung saja. Kedua, dapat limbah FD dan dual chainring dari teman yang batal dipasang ke selinya.
Sebelumnya sudah dicoba dari Stasiun Cibadak Sukabumi menuju Riam Jeram, Warung Kiara, Sukabumi. Menuju tempat penginapan Riam Jeram jalan berkelak-kelok turun (dan naik ketika pulang) sudah menjadi pemanasan bagi Urbano.
***
Akhirnya, Sabtu 3 Maret 2018 pukul 04.00 saya pun beberes. Sepeda dan perlengkapan aku masukkan bagasi mobil. Makan dua telor rebus dan setangkup roti tawar, setengah jam kemudian saya sudah keluar rumah. Saya perkirakan dari Condet menuju Masjid Al Azhar Sumarecon Bekasi tak butuh waktu lama. Dengan jarak tak sampai 30 km dan lewat tol di dini hari, maka 20 menit adalah waktu yang masuk akal.
Namun apa daya. Awalnya terbersit untuk lewat jalur Kalimalang saja. Toh masih dini hari tentu jalanan masih lengang. Tergoda lewat tol, saya pun sigap masuk tol Jakarta Cikampek dari pintu Halim-Cawang. Tapi baru sampai Pondokgede, lalu lintas langsung macet.
Macet dini hari tol Japek.
Waktu berjalan sementara diriku diam terpaku saja. Memandang di kejauhan mencoba mencari tahu sumber kemacetan. Memang saya sudah tahu ada pengerjaan tol layang di jalur ini. Tapi masak bisa macet separah ini, bahkan sebelum pintu tol Bekasi Barat.
Saya pun memutuskan untuk keluar pintu tol Jatibening, sehingga ketika arus kendaraan mulai bergerak saya menggoyangkan diri ke kiri. Soalnya posisi saat itu ada di lajur paling kanan. Lewat dari waktu yang ditentukan, saya pun sudah mengangkat bendera putih. Siap-siap ditinggal.
Keluar Jatibening dan melewati pertigaan Caman, saya kembali terantuk kemacetan di depan Masjid Al Azhar Pondokkelapa. Tak sempat untuk menyelinap masuk komplek perumahan dan menghindari kemacetan. Sampai akhirnya tiba di titik start sekitar pukul 06.30.
Sudah sepi peserta ANUDAX.
Saya langsung beres2, tapi karena terburu-buru ada barang yang ketinggalan dipasang. Apa itu? Ah, sudahlah ….
Peserta Anudax 300. Untung saya tidak ikut foto bareng. Terlihat aneh sendiri ntar.
Awalnya saya langsung mau gowes, tapi Elbir (elang biru, kolbak yang mengiringi peserta Anudax dan berfungsi sebagai ‘sarang’ logistik dan evakuasi) menawarkan untuk mengejar rombongan. Tapi jalanan pagi itu sudah cukup ramai sehingga sebenarnya malah tidak lebih cepat jika menggowes saja.
Ketika ada peserta tercecer karena ban bocor dan ikut sampai menemukan tukang tambal ban, saya pun turun dari Elbir dan gowes menyusul rombongan depan.
Saat berhenti membetulkan tas setang, tiba2 muncul Om Dirman dan temannya yang ternyata juga telat start. Tapi mereka pakai erbeh (roadbike) sehingga langsung melesat. Saya pun kembali sendirian. Menikmati pagi hari yang sudah disibukkan lalu lalang kendaraan roda dua dan empat.
Sepengal jalan yang dilewati Anudax.
Terbuai oleh obrolan dengan seorang penggowes juga, dan ternyata arah yang saya ambil juga benar (saya jelaskan mau ke Rengasdengklok, dan diarahkan lurus ke Tambelang, trus nanti nanya lagi) saya pun mempercepat kayuhan. Sayang di beberapa ruas jalanan rusak sehingga kecepatan Urbano berkurang.
Rute ini sepertinya menjadi jalur mobilitas penggowes juga. Terbukti saya berpapasan dengan beberapa goweser. Saling sapa meski belum kenal. Sampai kemudian saya berpapasan dengan seorang goweser yang saya kenal.
“Salah jalan!” teriaknya yang ternyata Om Afri. Masih agak ragu2, tapi saya tetap harus bertemu dengan Om Afri karena masih terhitung saudara dari istri hehe…. Setelah salaman dan basa-basi sejenak, saya pun ngikut balik. Harusnya setelah jembatan belok kiri menyusuri sungai menuju Pakisjaya. Di peta nama jalannya Jalan CBL. Googling di Internet, CBL ini singkatan dari Cikarang Bekasi Laut.
Selain itu, dia menambahkan Jalan Raya CBL diakuinya sebagai jalan utama yang menjadi urat nadi aktivitas warga Kabupaten Bekasi. Selain sebagai Jalan penghubung wilayah utara Kabupaten Bekasi dengan Wilayah Cikarang, Jalan tersebut juga merupakan jalan alternatif warga untuk menuju ke pusat pemerintahan Kabupaten Bekasi selain melalui jalur utama Tambun atau Kalimalang yang kerap mengalami kemacetan. (Sumber.)
Seperti diberitakan oleh Warta Kota tadi, jalan ini memang sudah dibeton. Meski di beberapa lokasi sudah berlubang. Bisa dibayangkan bagaimana jalan beton berlubang. Om Afri sudah tidak terlihat. Jadi saya sendirian lagi. Makin lama jalannya makin halus.
Pas di pertigaan Pasar Muara, saya bertanya ke seorang pengatur jalan.
“Tadi yang bersepeda lewat mana Bang?”
“Lurus!”
Saya pun mengayuh kembali. Tanpa mengecek rute, kayuhan saya percepat sampai sadar. Kok arahnya seperti ke utara ya. Harusnya kan ke Timur. Buka ponsel dan cek rute. Eh, kok benar sih? Tapi tetap ragu2. Bertanyalah kepada seorang ibu2 yang sedang menunggu warung.
Mungkin karena lagi bete menjawa warung yang belum ada pembeli di sepagi itu, jawaban ibu2 agak sengak juga ketika saya tanya2 rute alternatif. Maksudku aku tidak perlu balik ke pertigaan Pasar Muara tadi.
“Bisa saja lurus. Ntar naik eretan nyebrang!” kata2 terakhir yang aku dengar karena aku buru2 berucap terima kasih dan langsung putar balik.
Saya baru sadar dengan omongan pengatur jalanan di pertigaan Pasar Muara tadi bahwa rombongan pesepeda yang lurus itu adalah rombongan pesepeda yang akan mancing. Saya sempat mendahului mereka di sebuah persimpangan jalan.
Untung nyasarnya belum terlalu jauh. Cuma jalannya di sini cukup jelek.
***
Setelah nyasar kedua ini saya jadi down. Apalagi jalur yang dilalui mulai terasa panas. Tapi, selepas Pasar Muara, kita akan melihat seberapa dahsyatnya “gudang beras” Karawang. Hamparan padi yang menghijau dengan irigasinya yang sudah tertata menjadi pemandangan di kanan kiri rute sebelum akhirnya masuk jalan Pantura di daerah Pamanukan.
Ketika ngecek grup WA, saya tahu sudah tertinggal sekitar 50 km dari rombongan depan. Sementara ada dua peserta yang tercecer ada di depan saya. Tapi itu pun terpaut 20-an km. Alias sejam lebih gowes dengan Urbano.
Ketika yang lain pit stop makan siang di Ma’Pinah, saya sedang mengejar Om Afri dan Om Tono. Kebetulan saya makan siangnya agak maju di Pedes, di sebuah pertigaan sebelum mengarah ke Cilamaya. Rute yang panas sebenarnya tak menimbulkan rasa lapar, tapi haus yang teramat sangat. Entah sudah berapa kali berhenti mampir Alfamart atau Indomart.
Sewaktu makan siang, saya sempat memergoki ban belakang Urbano ada yang “aneh”. Ya, lama gak dibelai jadi kurang diperhatikan.
Menggembung di tengah, mengintip kawatnya.
Makanya pas ngejar rombongan depan agak was2 juga. Beruntung sebagian besar jalan sudah beton. Pas kehausan di wilayah Turi dan minum es buah, saya buka WA lagi. Om Afri dan Om Tono menunggu di Alfamart Blanakan 2. Sekitar 17 km di depan kalau aku lihat di Google Maps. Segera aku membayar dan mengayuh Urbano lagi.
Sayang, mungkin kelamaan menunggu, mereka sudah bergerak maju lagi. “Sekitar sepuluh menit yang lalu,” kata seorang bapak yang habis belanja di Alfamart.
Yah! batinku, yang kemudian menggenjot lagi.
Akhirnya, dengan peluh perjuangan bisa juga bertemu dengan Om Afri dan Om Tono di Alfamart daerah Muara, tak seberapa jauh dari jalur Pantura, Ciasem.
Uhh …
***
Melewati jalur Pantura mengingatkan diriku saat Gowes Waisak. Banyak kejadian menarik saat itu. Mau tahu apa saja yang menarik itu? Baca di sini: Jakarta – Jogja Empat Hari. Bagian Pertama. Bagian Kedua. Bagian Ketiga. Bagian Keempat.
Ternyata Elbir mengepak sayapnya dengan begitu kuatnya. Saya mencari posisi duduk yang enak dan mulai memejamkan mata. Buff kututupkan ke sekujur muka. Om Afri masih mengajak bicara. Tapi aku sudah berada dalam dua dunia hehe …
Bangun2 aku sudah merasakan di ruas jalan menuju Subang. Kami belok kanan di Patrol, menuju arah Subang. Di CP12 di sekitar daerah Cadasngampar kami pun berhenti.
Istirahat sejenak, aku langsung mengayuh pedal lagi. Jalanan aspal mulus dan sepertinya habis hujan deras. Di kejauhan terdengar guntur menggelegar. Masih hujan atau sudah mau menyelesaikan hujannya ya? Meski tak masalah dengan hujan, namun gowes di kondisi kering tentu lebih nyaman.
Melintasi Tol Cipali yang sore itu terlihat sepi, jalanan mulai menanjak alus. Baru sekali ini saya lewat jalur ini. Sementara tenaga juga bisa dibilang masih segar. Jadi wajar saja jika kemudian aku menyalip salah seorang peserta yang merayap jalan miring ke atas dengan pelan2.
Di salah satu segmen perjalanan ini saya jadi teringat dengan kampung halaman saat melihat kuburan di sisi kiri jalan arah perjalananku. Lansekap kuburan dan juga pepohonannya menerbangkan anganku di masa kecil ketika bersama teman2 belajar di sore hari di bawah pohon kamboja.
Ada satu hal yang selalu saya ingat, mesti lupa detailnya: cari bunga kamboja yang kelopaknya ganjil (3 atau 5 ya) dan selipkan di buku tulis. Pasti pelajaran di buku tulis itu akan dengan mudah kita kuasai. Kalau tidak menemukan bunga kamboja dengan kelopak ganjil?
Gampang …. cabut saja satu kelopaknya! (Padahal pasti ketahuan juga karena meninggalkan bekas). Duh, jadi melankolis ….
CP 13 tak jauh dari pintu masuk PT Dahana Subang akhirnya terjejak. Elbir yang tadi menyalipku sudah menunggu di sana. Di sini saya bertemu dengan Wiko, yang mengajak saya ikut Anudax ini. Beberapa peserta mengerubungi Elbir untuk mengambil buah atau minuman. Juga menyiapkan lampu untuk menemani malam yang akan segera turun.
Saya mengisi bidon dengan es jeruk yang suangat uenakk. Pas banget komposisinya.
Jalanan menuju Kalijati masih mulus. Saya jadi teringat ketika Urbano dari arah yang berlawanan menuju ke Subang kota. Waktu itu KGC sedang mengadakan turing Jakarta – Bandung via Subang. Dalam kondisi gelap juga saya melintasi wilayah Kalijati ke kota Subang menuju rumah Kang Gun. Di Subang kami menginap semalam sebelum esoknya melanjutkan ke Bandung via Tangkubanparahu.
Berbeda dengan Urbano saat Jakarta – Bandung via Subang yang masih culun, kali ini Urbano sudah memakai doube crank dan sprocket 8. Plus pedal cleat. Jadinya tanjakan sudah gak ngap2 lagi. Juga pede saja sambil berdiri tanpa was2 sepatu kepleset.
Tiba di CP14 masih masuk dalam rombongan depan. Jadi punya waktu banyak untuk istirahat. Bahkan sempat tertidur dan ketika pesanan sop buntutku kutanyakan ke petugas rumah makan ternyata sudah diambil orang yang juga pesan. Beruntung Om Iwan Big yang memesan sop ikan ternyata menunya cukup untuk berdua. Kebetulan pula masih ada sisa nasi di bakul.
Selalu ada jalan keluar ….
Hujan akhirnya turun juga. Ketika rombongan siap2 melanjutkan perjalanan dari CP14 ini. Beruntung pakai seli yang sudah ber-fender. Tidak khawatir dengan cipratan air dari roda depan dan belakang.
Parkir di CP14 tempat makan malam.
Meski masih menyisakan 6 CP lagi, gowes malam tak semeletihkan gowes siang hari. Apalagi ditambah dengan rintik hujan sehingga kudu terus bergerak.
Berhubung sudah malam dan banyak yang terlihat sudah kelelahan, maka RC memutuskan untuk lewat jalur biasa saja. Seharusnya kalau ikut GPX yang dibagikan, dari jalur utama Subang – Cikampek belok kanan menuju Kebun Cikumpay PTP VIII (daerah Cibatu) dan melintasi Tol Cipali. Tembusnya di daerah Cikopo, tak jauh dari ujung Jalan Ir. H. Juanda.
Hanya rombongan depan yang lewat jalur itu. Menurut mereka yang lewat jalan ini, kondisinya rusak. Dan melewati tanjakan juga.
Lewat jalur utama memang jalanan mulus dan terang. Menanjak alus sampai ke pintuk keluar tol Jakarta – Cikampek.
Saat RC memutuskan untuk regrouping di dekat pintu keluar tol Jakarta – Cikampek, saya mendahului dengan jalan pelan. Takut kelamaan berhenti jadi dingin badan. Hujan sudah berhenti. Jersey mulai mengering.
Menyusuri Karawang – Bekasi jadi teringat dengan puisi Chairil Anwar.
…
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
menjaga Bung Hatta
menjaga Bung Sjahrir
…
(Karawang Bekasi, Chairil Anwar)
Aku hanya bisa bicara dengan diri sendiri. Terlebih selepas Tambun (CP 20) karena ternyata tak ada peserta yang kembali ke Masjid Al Azhar Sumarecon Bekasi.
Check point terakhir … dan masih 10-an km lagi.
Sudah malas membuka GMaps, saya pun bertanya2 ke setiap orang yang kusua jalan menuju Sumarecon. Bayangan saya akan masuk lewat pintu depan yang ada jembatannya itu. Setidaknya ingin berswafoto di sini. Nyatanya jalan yang kulalui tembus dari bagian belakang Sumarecon. Mirip dengan keberangkatan di pagi hari.
Ada tiga peserta yang ternyata barusan sampai juga, tapi lewat jalur lain. Saya segera membenahi sepeda, memasukkan ke mobil, dan menenggak es jeruk sisa di bidon. Lewat tengah hari, pikirku. Meski tidak bulat mengayuh mengikuti rute, namun jarak tempuh mendekati 300 km.
Terima kasih kepada tim Robek atas kesempatan ini.
*) Agar lebih nyaman, setang menunduk (dropbar) wajib untuk turing jarak jauh begini. Terasa banget pas di jalanan beton mulus, lurus, sepi, dan panjang tapi menantang angin. Mencoba membungkuk dengan menekuk siku dan meletakkan lengan tangan bawah di setang hanya bertahan beberapa kilometer saja.
gussur.com – Belanda selain dikenal sebagai negara polder, juga sebagai negara sepeda. Jumlah sepeda di sini lebih banyak dibandingkan dengan jumlah penduduknya.
Tidak hanya kaum muda, tapi seluruh lapisan masyarakat dengan riang gembira bersepeda ria. Karena itu, tak berlebihan jika pemerintah Belanda menciptakan jalan hingga pengatur lalu lintas khusus sepeda.
Jalur sepeda di Belanda sudah mencapai lebih dari 32.000 km membentang ke seluruh arah dengan penunjuk jalan yang tertata rapi. Alhasil, pesepeda dengan mudah menentukan arah tujuan, tanpa khawatir tersesat. Yang membuat pesepeda Indonesia iri, di sana para pengendara lain seperti motor atau mobil sangat menghargai para pesepeda. Pendeknya pesepeda di Belanda diperlakukan bak raja.
Seperti yang ditulis di mytrip.com, kebanyakan sepeda di Belanda adalah sepeda kota. Model sepeda onthel. Maklumlah kondisi jalan di sana yang relatif datar dan mulus.
Karena banyaknya jumlah sepeda (karena rata-rata para komuter memiliki dua sepeda, satu sepeda untuk rute rumah ke stasiun, satu lagi dari stasiun ke kantor), maka tidak mengherankan bila di Belanda banyak penitipan sepeda yang bertingkat.
Cuma sayangnya jumlah sepeda yang banyak itu juga diikuti banyaknya kasus pencurian sepeda. Awalnya agak heran juga, masak negeri semakmur Belanda masih ada pencurian sepeda? Tapi faktanya memang begitu. Lihat aja, semua sepeda yang diparkir selalu dirantai dan digembok oleh pemiliknya. Itu sudah menjadi pertanda kebenaran fakta itu. Bahkan tidak tanggung-tanggung, rantai yang dipakai rantai yang lumayan besar dan berat, karena kalau rantainya kecil mudah dipotong.
Video ini bisa memberi gambaran betapa nyamannya pesepeda di Belanda.
gussur.com – Membicarakan sepeda Federal seperti tak ada habis-habisnya. Jika sebelumnya dibahas sekelumit sejarah sepeda Federal, kali ini penggal-penggalnya saja. Malas ngedit hehe … Sumber masih sama dari sumber untuk tulisan tadi.
Hal unik dari lambang F yang segitiga adalah panjang kiri dan kanan tidak sama. Perancang logo ini adalah Erliansjah (R&D Federal Motor saat itu). Masalah tidak sama panjang itu tidak disengaja. “Lalu saya ikut mendesain lambang F berbayang.” (Sebagian besar decal di tahun-tahun berikutnya, termasuk Cycle 2000 CAD Technology, seri Cat – Stray Cat, Street Cat, Wild Cat, Bob Cat, Tom Cat, dll., seri gunung – Alpenz Peak, Mt. Everest, dll. hanya menggunakan rugos, manual. Termasuk tulisan Biometric dan Biocontour di sadel sepeda.)
Frame Panther adalah milik Kuwahara dengan ciri khasnya di ujung seatstay runcing dan melengkung. Juga ada huruf K. Frame Panther memiliki ciri khas MTB jaman dulu yg ber-lugs. Karena dianggap kurang kuat, produksi selanjutnya menggunakan sistem las. Panther dan Puma adalah produk high-end di awal-awal Setelah itu produk high-end dipegang nama-nama gunung. Sementara untuk middle-low diserahkan pada seri kucing (cat).
Tipe paling laku adalah City Cat. Awalnya Street Cat, lalu dibuatlah produk di bawah Street Cat dengan pembedaan komponen, yaitu City Cat sebagai produk sisipan. Seperti Tomcat dan Bobcat.
Sepeda-sepeda yang digunakan sebagai hadiah selalu mengambil produk jadi. Dengan begitu tidak ada produk khusus untuk hadiah.
Alpenz Peak adalah produk kasta tertinggi yang dibuat sendiri oleh FCM, walau produk prestisenya adalah Competition alumunium. Compe alumunium adalah produk tahun berikutnya dari yang chromoly (tubing Kuwahara dan dilas di Indonesia).
Perbedaan atribut pada frame sangat memungkinkan karena suatu hal, yang akhirnya disepakati untuk mengubah frame tersebut dan dijadikan tipe lain. Hal ini kadang terjadi dan membuat kebingungan di masa sekarang ini.
Soal sepeda tandem Pak Harto, ceritanya begini. Waktu itu beliau memesan sepeda tandem di PD Mini untuk Haornas. Tapi frame tandem tersebut patah. Tahun berikutnya, Federal yang diminta untuk membuat. Akhirnya impor dari Kuwahara karena FCM belum punya teknologinya. Jadilah tandem chromoly. Bersama tandem ada 20-an sepeda MTB yang dikirim ke Istana.
Nomer seri (SN) pada produk Federal diketrik setelah jadi frame. Ada di bottom bracket dan di seattube.
Sudah dulu ya…. Nanti dilanjut di seri berikutnya.
gussur.com – Masih berpikir soal gowes ke kantor (juga gowes pulang kantor) dapat mengganggu kesehatan karena polusi? Sebuah postingan dari Chaidir Akbar di Facebook ini semoga memberi jawaban atas kegamangan tadi.
Pada suatu hari di bulan September 2017, Chaidir Akbar dan dua orang temannya melakukan test Oxidative Stress. Tes ini dapat mengukur dua hal: tingkat radikal bebas di tubuh dan pertahanan tubuh terhadap radikal bebas.
Tiga orang tersebut memiliki profil yang berbeda-beda:
Orang pertama: tidak olahraga rutin, komuter dengan mobil.
Orang kedua: olahraga rutin, komuter dengan mobil.
Orang ketiga: olahraga rutin, komuter dengan sepeda.
Hasil tes menunjukkan bahwa orang ketiga memiliki tingkat radikal bebas terrendah dan daya tahan terhadap radikal bebas tertinggi dengan angka yang signifikan. Jauh dibandingkan dengan kedua orang lainnya.
Di bulan November 2017, peneliti Brasil melakukan sebuah penelitian laboratorium dengan objek penelitian diberikan paparan polusi ketika berolahraga dan saat tidak berolahraga. Hasilnya, berolahraga dapat membalikkan efek negatif dari polusi. Polusi menyebabkan inflammatory dan olahraga adalah anti-inflammatory.
Lantas, apakah dengan hasil itu kita acuh saja dengan polusi? Tentu saja tidak! Tetap saja kita harus menghindarinya sebagai tindakan pencegahan. Ingat, polusi udara di jalanan kota merupakan sumber radikal bebas yang berbahaya bagi tubuh dan berkontribusi terhadap berbagai penyakit kronis dan penyakit degeneratif seperti serangan jantung, Alzeimer, stroke, dan kanker.
Nah, jika akhirnya menyadari bahwa ternyata komuter bersepeda ternyata lebih menyehatkan, mulailah gowes ke kantor. Jika jaraknya terlalu jauh, bagilah dua rute dengan transportasi umum. Misal dari rumah ke stasiun atau terminal naik sepeda.
Mereka yang jam kerjanya tak seperti pekerja kebanyakan bisa melakukan komuter dengan bersepeda menggunakan sepeda lipat dan disambung dengan kereta CL yang membolehkan kita membawa sepeda lipat ke dalamnya. Asal dilipat dan kondisi CL tidak ramai penumpang.
Untuk menghindari polusi, gunakan rute yang lebih sepi dari kendaraan. Juga gunakan masker hidung.
Selamat ber-bike to work. Siapa tahu kita bisa ketemu di jalanan.
gussur.com – Kopi kini memasuki gelombang ketiga masa ketenarannya. Pertama, saat penemuan kopi itu sendiri. Kedua, menjamurnya Starbuck (yang kemudian diikuti dengan Starling, alias “Starbuck” keliling). Ketiga, ya sekarang2 ini dengan menjamurnya kafe atau warung kopi yang sampai ke pelosok desa.
Sepenggal kalimat itu aku dengar dari Mas Pur, kawan gowes yang tinggal di Klaten. Memang benar, sekarang ini dengan mudah kita menjumpai warung kopi. Di sekitaran rumah saya di kawasan Condet saja sudah ada tiga warung kopi dalam jangkauan kurang dari 1 km. Warung ini terletak di jalan kampung, bukan jalan besar. Dua mobil berpapasan pun harus hati-hati kalau tidak mau spion saling beradu. (Habis itu gantian mulut yang beradu …. kali aja).
Sepenggal jalan kampung dan warung kopi di salah satu ruasnya itu mengingatkan saya akan Nggone Mbahmu. Kalau ini bukan warung kopi dekat rumah, tapi di Klaten. Yang punya, ya Mas Pur tadi. Namun, hanya sepenggal jalan itu yang bisa dipersamakan. Warung kopinya sudah sangat berbeda.
Berkenalan dengan cikal bakal Nggone Mbahmu saat ada acara gowes di Klaten. Reuni JSSP, Jelajah Sepeda Sabang – Padang, yang diselenggarakan Kompas. Perjalanan menuju reuni itu sendiri penuh dramatis. Cerita selengkapnya di sini: Bersama Merida Mencumbu Klaten – Srigethuk via Nglanggeran.
Eh, sebelumnya sudah berkenalan. Waktu gowes Jogja – Wonosari. Kemudian pulangnya lewat Klaten, sekaligus gowes dari Candi ke Candi. Cuma ketika yang lainnya gowes candi ke candi, aku malah ke Deles.
Lokasi Nggone Mbahmu yang sekarang ini dulunya adalah tempat saya dan teman2 tidur. Sebuah paviliun dari bangunan yang oleh warga Klaten disebut Gedung Batu. Saya lupa kenapa disebut Gedung Batu. Bisa jadi karena temboknya yang dari batu alam.
Memasuki gedung ini terasa kesegaran dan kelegaan. Ketika akhir tahun 2017 kemarin ke sini, sore sudah membayang di ketiak hari. Dibandingkan dengan dua kunjungan sebelumnya, ada sedikit perubahan di halaman rumah ini. Sebuah batu hitam bertuliskan “Nggone Mbahmu” ada di depan pelataran bangunan utama.
Bangunan utama tetap dipertahankan sebagai wilayah privat bagi keluarga ini. Untuk ke “Nggone Mbahmu” harus melewati pelataran bangunan utama dan menuju paviliun, yang sekarang ada plang “COFFEE” di salah satu sudutnya.
***
Dari balik jendela kaca saya sudah melihat Mas Pur yang sedang melayani tamu-tamunya. Saya pun kemudian melihat-lihat paviliun yang sudah berubah total itu. Dua ruangan yang kini menyatu terbuka itu dijadikan pusat segala aktivitas dari “Nggone Mbahmu”.
Di ruang dalam terdapat mesin sangrai berkapasitas 20 kg 5 kg (semoga tak salah ingat aku. Ternyata ingatanku sudah harus diinstall ulang, makasih Mas Pur yang japri mengoreksi …). Merek mesin ini Froco, dengan seri FR5. Untuk kawasan Jogja dan sekitar, ini termasuk yang terbesar. Mas Pur sempat bercerita bagaimana ia memilih mesin sangrai buatan Tangerang. Mesin itu sempat ngejogrog selama sebulan karena Mas Pur masih membenahi “kafe”-nya.
“Sempat ada ‘kegaduhan’. Siapa yang memasukkan mesin sebesar itu di Klaten?” cerita Mas Pur setelah ia memasukkan mesin itu namun belum dioperasikan.
“Akhirnya pada tahu. Ooo… nggone juragan lengo.” (Sebelum mengurus Nggone Mbahmu, Mas Pur meneruskan usaha orangtuanya berdagang minyak curah.)
Sementara di ruang luar yang pertama kita masuki merupakan ruang beraksinya Mas Pur dan Mbak Warih (istrinya). Meracik kopi serta mengobrol dengan tamu di meja yang hanya muat sekitar enam orang. Tembok kedua ruangan itu didominasi warna putih.
Beragam kopi single origin dari Nusantara ada di sini. Silahkan pilih mana yang akan dicoba. Selain itu Mas Pur juga membuat campuran beberapa kopi, dan menjadi andalan dari Nggone Mbahmu. Selain kopi standar tadi (kopi item), kita bisa juga mencoba menu Kopasus (Kopi pake susu) yang tentu sesuai namanya merupakan campuran kopi dan susu. Atau Koko, kopi korma. Bisa pula kopi dingin.
Sambil meracik kopi, Mas Pur bisa diajak ngobrol. Atau kita diam saja dan biar Mas Pur yang menjelaskan proses yang dia lakukan :). Terus terang saja, di Nggone Mbahmu ini kita tak hanya memperoleh kenikmatan sajian kopi, tapi juga tambahan wawasan. Tak masalah jika nanti menjadi lupa, tapi setidaknya ada satu dua hal yang nyantol di benak kita.
Jika waktunya luang, Mas Pur dengan senang hati menjelaskan proses sangrai. Bagaimana perjalanan biji kopi dari mulai dipetik sampai kemudian disangrai sesuai kebutuhan dan kemudian siap digiling dan dinikmati.
***
Cukup lama proses yang dialami Nggone Mbahmu sebelum akhirnya dibuka untuk umum pada pertengahan Juni 2017. Mas Pur tak ingin Nggone Mbahmu menjadi tempat ngopi tapi suasana sepi karena ada WiFi. Ia ingin tempat itu menjadi media interaksi yang hangat. Sehangat nama tempatnya, Nggone Mbahmu yang dalam bahasa Indonesia berarti “Rumahnya Kakekmu”.
Harga yang ditawarkan bersahabat. Meski jangan kaget melihat harga di daftar menu yang memakai embel2 “e”. Itu bukan “Euro”.
“Kuwi artine ewu,” kata Mas Pur ketawa. (ewu dalam bahasa Indonesia berarti seribu)
Untuk harga kopinya sendiri berkisar dari Rp35 ribu sampai dengan Rp50 ribu-an untuk sekantong biji kopi yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Sedangkan bagi pengunjung yang ingin menyeduh kopi di tempat, beberapa olahan kopi ditawarkan dari harga Rp20 ribu hingga Rp25 ribu. Kudapan berharga Rp5 ribuan.
Sebagai sebuah tempat ngopi, Nggone Mbahmu memang memberikan suasana yang berbeda dengan tempat ngopi kebanyakan.
gussur.com – Membicarakan sepeda Federal seperti tak ada habis-habisnya. Jika sebelumnya dibahas sekelumit sejarah sepeda Federal, kali ini penggal-penggalnya saja. Malas ngedit hehe … Sumber masih sama dari sumber untuk tulisan tadi.
Produksi menggunakan sistem line yang awalnya membagi menjadi perakitan tubing depan dan belakang, lalu disatukan.
Frame-frame di gudang saat tutup dilakukan pelelangan.
Impor alumunium melalui importir bernama Garuda di Taiwan. Federal hanya meminta jenis frame dan tidak peduli dari pabrik mana, alumunium tersebut dari Jepang dan Taiwan. Saat itu Federal tidak bisa bikin alumunium.
Decal dibuat di Sumber Agung, di Cipinang. Tubing dari Sri Rejeki dan ISTW (Indonesia Steel Tube Work). Tubing dibuat dari plat yang dibentuk menjadi tubing (oleh Sri Rejeki). Kecuali Chromoly dari Tange, Jepang.
Decal pink dibuat untuk edisi pameran. Decal jenis stiker air seperti yang dipakai di Compe alumunium diimpor dari Taiwan.
Merek Federal kemudian dijual ke Yunani. Merek lain buatan FCM adalah Minerva. Kemudian yang mendistribusikan penjualan sepeda buatan FCM ke Eropa, Amerika Serikat, dll. adalah Strongman dari Taiwan. Bersama Federak ada merek lain seperti Opus, Kuwahara, MuddyFox (Amerika), Townsend, Schwinn, Matra (merek dari Eropa), Target, dll.
Federal tidak membuat sepeda khusus untuk atlet (dalam hal ukuran). Jika secara khusus (ukuran), mungkin hanya unit jadi dan itupun ditangani bagian marketing.
Federal juga membuat sepeda bermotor dan listrik sebagai proyek yang tidak jalan. Juga kursi roda bermotor listrik.
Fork kebanyakan dari Tange.
Merek Federal secara legal masih dimiliki oleh Federal Astra, dan masih berbadan hukum dan melaporkan pajak.
Sepeda Paimo adalah sepeda Federal yang dibuat secara khusus. Maksunya khusus di sini adalah dalam hal pengelasan maupun pengecatan dilakukan oleh orang-orang yang ahli di bidangnya. Tubing dari Tange. Mengapa hal ini bisa dilakukan? Karena FCM memang memiliki divisi sepeda untuk pesanan khusus. Berbeda dengan tipe yang sama namun dibuat secara massal.
Lebar setang Federal rata-rata 52 cm dan rake-nya (fork offset) mengambil jalan tengah supaya tetap stabil. Tes yang dilakukan saat itu adalah dengan mengayuh sepeda dalam kecepatan tertentu lalu tangan dilepaskan dari setang. Harus bisa melaju tanpa pegangan tangan hingga sekian meter.
Federal juga menggunakan internal gear untuk sepeda jenis touring.
Federal edisi terakhir memiliki bobot yang cukup berat (dengan tubing gepeng), karena memakai besi biasa.
Pengetesan vibrasi frame dilakukan hingga satu juta kali dan sejauh tes diadakan tidak terjadi apa-apa dengan frame-frame Federal. Framenya sendiri tidak mendapat perlakuan khusus untuk anti-karat.
Untuk komponen pendukung: ban Deli-Medan juga Gajah Tunggal dan IRC; rim Araya yang alumunium dari Jepang; pedal dan sadel Xerama-Tangerang (lisensi Taiwan) kerja sama dengan Marwi-Jerman. Tulisan di sadel seperti bio-contour, bio-metric, Federal, dan Aeroglide desain FCM.
Sepeda pameran bahkan menggunakan komponen XTR.
Serial Number dibuat dengan pahat press bukan grafir.
Catatan kaki:
*) Makino (orang Jepang) adalah staf Kuwahara yang terlibat pada produksi FCM, di Jalan Pegangsaan-Kelapa Gading (saat ini digunakan untuk asembling Honda Motor). Mantan pegawai FCM kemudian banyak yang bekerja di Honda Motor.
*) Andi Hendradi adalah pimpinan proyek sepeda kala itu (tahun ’90), sekaligus sebagai Direktur Teknik FCM. Direktur Keuangan, HRD, dan Purchasingnya Bing Daniel Basuki. President Direkturnya Koosnadi Dharmawan.
*) Tim pendesain Federal antara lain: Miki Utomo, Teddy Murdianto, Saktioso Onang, Ngatiyo, dll.
*) Saya (Head of Product Development PT Federal Cycle Mustika, Fachri Ismawan) di bawah Miki Utomo dan belajar sama beliau. Beliau keluar tahun ’93/94.
*) Di bawah saya ada pematung lulusan IKJ Tedi Murdianto dan ahli listrik lulusan Seni Rupa ITB Saktioso Onang. Juga ahli cat Ngatiyo.
gussur.com – Tanpa penderitaan, bagaimana kita bisa tahu kebahagiaan? Kalimat bijak itu selalu menjadi penyemangat kala badan terasa capai, pantat terasa panas, dan kaki terasa kelu untuk melajukan sepeda.
Dan begitulah, ketika sampai di Citorek, Lebak, Banten, kebahagiaan itu membuncah. Terlebih setelah mandi dan makan nasi merah plus lauk-pauknya yang sudah disiapkan oleh keluarga Jajang, kades setempat. Badan segar dan makanan pedesaan dengan bumbu “lapar” membuat nafsu makan bangkit tanpa terkendali. Dua porsi makan pun tandas.
Waktu yang merambat ke pergantian hari – ya, saya sampai Citorek hampir jam 12 malam – tak lantas membuat kantuk memeluk tubuh. Meski badan remuk redam, tapi kesegaran udara di ketinggian sekitar 850 mdpl itu menahan kantuk untuk sementara. Hanya karena besok harus bangun pagi untuk melanjutkan kayuhan ke Ciptagelar – Pelabuhan Ratu membuat saya segera mencari tempat untuk merebahkan tubuh.
***
Kasepuhan Ciptagelar menjadi madu bagiku untuk memutuskan ikut gowes bareng K-Night. Komunitas penggowes “kelas berat” ini bisa menjadi ajang untuk menakar seberapa kuat tubuh kita beradaptasi dengan tantangan alam, khususnya dalam dunia pergowesan.
(Banyak interpretasi soal nama K-Night ini. Bisa dibaca sebagai Knight yang berarti Ksatria. Bisa juga dibaca ke-naɪt, yang artinya kemalaman. Soalnya kalau ikut gowes mereka, sampai tempat tujuan dijamin kemalaman hehe …)
Berangkat dari PLTA Karacak menuju Citorek untuk bermalam dan dilanjutkan menuju Kasepuhan Ciptagelar sebelum akhirnya berakhir di Pelabuhanratu untuk diangkut kolbak menuju PLTA Karacak kembali. PLTA Karacak sendiri mengingatkan diriku saat awal-awal main MTB bersama komunitas Sacyc (Sawangan Cyclists).
Belakangan saya jarang main MTB karena susahnya memperoleh waktu. Sebagai gantinya lari, yang tak banyak membutuhkan waktu untuk membakar kalori yang setara. Gowes masih juga, tapi sekadar ke kantor atau minituring dengan ngaspal saja. Makanya, kali ini saya benar-benar belajar main MTB. Terlebih bareng dengan pada gendruwo.
Meski saya baru sekali ikut gobar dengan K-Night saat Songo G (keliling sembilan gunung di seputaran Malang, Jawa Timur), namun saya sudah paham dengan rute yang biasa mereka lahap. Nah, untuk hari pertama Karacak – Citorek, rute kasarnya seperti ini: Karacak , Kampung Cengal (offroad), New Genjlong (offroad), Kampung Antam (beton offroad), Kampung Urug (aspal, beton), Sarongge (makadam), Kampung Soka (makadam), Wates via Siberani (makadam), Citorek (makadam, beton). Jaraknya hanya 80km!
Tak perlu panjang bercerita soal kondisi treknya, foto-foto berikut bisa mewakili. Ini hanya sebagian sebab kadang saya malas motret.
Belum terlalu jauh dari PLTA Karacak sudah disuguhi tanjakan seperti ini. Tapi di sini terhibur dengan pohon manggis yang habis berbuah. (Apa hubungannya coba)
Makadam seperti ini masih termasuk sopan. Di beberapa lokasi batu-batunya lepas dan lebih besar bentuknya. Padahal ini masih di Kabupaten Bogor lo. (Nah, apa hubungannya lagi coba …)
Jika makadam gak bisa digowes masih bisa berkilah. Tapi kalau sepeda gak bisa dikayuh secara penuh sampai puncak tanjakan di jalan tanah seperti ini, ya karena memang dengkulnya gak kuat haha …
Apalagi sampai TTB berjamaah. Kalau begini bisa berkilah tanjakannya terlalu curam. Iya, tanjakannya. Bukan dengkulnya.
Meliuk-liuk melewati perkampungan. Tapi jangan khawatir ada larangan untuk turun dari kendaraan seperti “di perkampungan kota”, di sini sepanjang bilang permisi atau senyum ke warga setempat silahkan saja. Malah anak-anak ramah menyapa.
Melihat pemandangan seperti ini, hati rasanya damai. Mata menjadi cerah. Bayangkan jika padi sudah menguning dan semburat sinar matahari sore menerobos dedaunan. (Abaikan tanjakan di ujung sana!)
Teringat dengan jembatan gantung di Condet. Pas lewat sini ada di barisan belakang, awal lewat jembatan nggak masalah. Namun pas ke tengah goyangannya makin tak terkendali. Akhirnya berhenti dan tuntun sepeda dari pada kecebur.
Main sepeda adalah main keseimbangan. Hidup pun perlu keseimbangan. Dan fokus! Jangan sampai ada “handuk” menggoda matamu. Lebih baik lihat atau lupakan! Eh, tapi kawan bilang lebih baik melihat dan jatuh daripada tidak jatuh tapi menyesal tak lihat.
Lewat jembatan gantung lagi sebelum masuk Kampung Urug. Kalau punya banyak waktu, bisa dieksplor nih Kampung Urug. Soalnya, masyarakat Kampung Urug merupakan keturunan Prabu Siliwangi dari Kerajaan Padjajaran. Menurut catatan, Prabu Siliwangi beberapa kali “tilem” atau menghilang, dan berakhir muncul di Kampung Urug ini.
Istirahat cukup lama di salah satu gazebo Kampung Urug. Di depan gazebo ada makam yang terkunci. Sayang tak banyak penduduk sekitar yang bisa ditanya soal makam lebih detail.
Menjelang sore, kami regrouping di Kampung Wates. Tempat ini adalah relokasi dari tempat lama yang terkena longsoran bukit. Makanya rumah-rumah yang ada seragam. Dingin mulai terasa.
Hujan juga mulai turun di sini. “Sebulan lebih belum hujan di sini,” kata seorang penduduk.
Berhenti sejenak, masih di Kampung Wates karena ada sepatu peserta yang jebol. Dari tempat regrouping terakhir sampai ke sini memang jalannya makadam gak sopan. Belum lagi sudah gelap dan gerimis. Banyak yang TTB.
Kembali kami merasakan keramahan penduduk. Begitu mendengar ada suara di luar, beberapa orang keluar rumah. Salah seorang dari mereka kemudian mengeluarkan gelas dan air.
“Silakan diminum,” kata seorang Bapak sambil bertanya ke mana tujuan kami.
“Citorek?” Bapak itu seperti berkata dengan nada heran.
Turunan tak selalu menggembirakan. Sudah gelap karena malam hari, gerimis, plus makadam lepas.
Akhirnya keluar juga dari jalan makadam dan beton dengan jalur yang naik turun. Sudah hampir pukul 21.00. Perjalanan menuju Kampung Adat Citorek masih sekitar 10-an km melintasi jalan raya Cipanas – Warungbanten.
Saya akhirnya sampai Citorek tengah malam.
***
Satu hal yang wajib diingat jika ikut K-Night, harus punya gpx-nya. Entah diinstall di alat navigasi macam Garmin, atau di aplikasi macam GPX Viewer. Kalau tidak ya membuntuti terus yang memiliki gpx tersebut.
Saya sempat tercecer dan kemudian keasyikan di turunan makadam sehingga akhirnya keluar jalur. Alias nyasar. Soalnya sudah terlalu jauh kok belum lihat punggung teman.
Akhirnya terpaksa mengeluarkan ponsel dan buka GPXViewer. Itu pun masih kesasar lagi. Nyasarnya bisa dilihat di gambar berikut yang saya kasih lingkaran merah.
Lantas, mengapa saya kasih judul “Belajar Lagi Naik MTB”? Karena saya sempat terjatuh gara-gara kurang sigap melepas cleat. Pas turunan makadam dan kemudian melewati genangan air lalu mulai menanjak, tiba-tiba saja ban depan terpeleset.
Ilmu melepas cleat secepat bayangan sudah memudar sehingga akhirnya pasrah saja terjerembab di bebatuan dengan beberapa luka di sekujur tubuh. Yang parah tentu di bagian dengkul dan tangan kiri (karena jatuh ke arah kiri).
Jadi teringat dengan awal memakai cleat saat ikut Jelajah Sepeda Surabaya – Jakarta. Entah berapa kali jatuh bego karena kurang sigap melepas cleat.
Memasuki Citorek semua derita itu serasa sirna. Serasa saja sebab perihnya luka masih terasa.
gussur.com – Hanya beberapa jam saja saya di Citorek. Sebuah kampung adat yang memiliki banyak sisi untuk dikuliti. Penduduknya, budayanya, alamnya, atau sejarah masa lalunya. Tapi aku tak menyesal meski hanya mengenalnya sejengkal.
Dalam hidup tak senantiasa kita harus memiliki semuanya. Atau harus merengkuh asa atau benda yang lama kita perjuangkan. Proses menuju ke arah itu saja sudah memberi banyak pelajaran dalam kehidupan.
Tiba-tiba saja ingatan saya melayang pada Lara Croft. Dalam film “Lara Croft Tomb Raider: The Cradle Of Life”, ia akhirnya bisa menemukan kotak pandora. Seandainya saja mau, ia bisa membukanya dan menjadi penguasa dunia. Namun nyatanya kotak itu dikembalikan di tempat asalnya. Tenggelam dan akan menjadi misteri.
Nah, anggap saja sisi yang belum terungkap di Kampung Citorek adalah misteri yang akan mengundang saya kembali. Entah kapan waktunya.
Pagi di Citorek
***
Perjalanan menuju Kasepuhan Ciptagelar diiringi dengan suasana pagi di Citorek. Kabut, semburat mentari, padi yang menghijau, ibu-ibu yang mulai beraktivitas, deretan lumbung padi di kejauhan.
Jalanan mulus (zaman dulu kala) menanjak menjadi pemanasan bagi para K-Night menuju Warungbanten sebelum ke Ciptagelar.
Saya pikir Warungbanten ini nama sebuah rumah makan. Ternyata nama daerah. Padahal sewaktu menuju ke sana sudah sangat berharap bertemu dengan teh manis campur es segelas penuh. Ya, selain jalan menanjak makadam campur tanah, panas begitu menyengat. Terlebih selepas melintas sungai dengan air yang jernih. Serasa pingin nyemplung saja. Sayang, agak dalam untuk turun.
Tak jauh dari jembatan ini ada warung dan ada beberapa KNighters (Om Elang, Om Yopi, Om Jommy) yang sedang mengaso. Saya pun ikut2an melipir, diikuti Bli Nyoman. Sweeper tangguh Om Vidi pun menyusul tapi tak berhenti. Lagi on fire katanya.
Tapi tak seberapa lama, ketiga KNighters yang sudah beristirahat tadi langsung bersiap-siap berangkat. Om Wahyu yang tiba bersama aku dan Bli Nyoman pun ikut melanjutkan perjalanan juga. Terpaksa aku dan Bli Nyoman istirahat sambil kulineran.
Meliuk naik.
Namun, melintasi rute Citorek – Warungbanten ini yang menarik adalah melihat tambang emas tradisional. Cikotok. Antam memang sudah menghentikan operasionalnya di Cikotok sejak 2016 setelah lebih dari 40 tahun mengelola tambang emas Cikotok yang merupakan peninggalan Belanda.
Rasa penasaran itu sudah muncul saat di Citorek melihat aktivitas ibu-ibu yang menjemur lumpur di tengah jalan. Sempat bingung kok menjemurnya di selebar jalan sehingga tidak ada celah untuk lewat. Namun melihat pengendara motor dan mobil dengan cuek melindas lumpur itu aku pun mengikuti langkah mereka.
“Enggak apa-apa dilindas. Biar hancur sekalian,” kata ibu-ibu itu. Setelah hancur halus, lumpur itu kemudian diolah di ruangan tertutup yang hanya bisa ditandai dengan suara gemuruh mesin diesel.
Semakin ke arah Warungbanten, semakin banyak hilir mudik motor membawa karung-karung berisi lumpur emas itu. Lokasinya di perbukitan di sisi kanan rute menuju Warungbanten. Makin lama makin penasaran, dan akhirnya menemukan lobang penggalian di pinggir jalan.
Tidak terbayangkan kalau musim hujan.
Sayangnya, enggak ada pekerja di dalam. Mau masuk takut ada apa-apa di dalam. Tapi bisa membayangkan bagaimana susahnya para penggali mencari urat emas di dalam perut bumi. Nyawa menjadi taruhan, dan sudah sering kita mendengar korban dari penambangan emas tradisional ini.
Sebenarnya penambangan ilegal ini sudah ditertibkan oleh Pemerintah. Menurut Bli Nyoman, pemerintah sudah menutup lobang-lobang itu dengan beton. Tapi penduduk setempat membongkarnya kembali. Saya sempat melihat sendiri beton penutup yang dibongkar itu. Masih terlihat besi rangka beton di sisi lobang yang digunakan penduduk untuk masuk ke perut bumi.
Sepanjang jalan di sisi penambangan terlihat beberapa karung lumpur yang siap diangkut untuk dihaluskan dengan dijemur di jalan raya.
Lubang menuju urat emas.
Rute arah Ciptagelar akhirnya bertemu dengan pertigaan. Kalau ke kanan arah Sawarna, kiri arah Pelabuhanratu (dan Ciptagelar tentunya).
Setelah ditimbang-timbang, akhirnya rute Bayah – Cikotok – Cipanas itu kami lupakan. Sebagai gantinya nyari kolbak dan evak ke Rangkasbitung. Itu pun berkejaran dengan waktu memburu sang kereta.
Uhh … jadi teringat dengan lagu-lagu ABBA kalau mengenang episode evakuasi itu.
Siang itu panas benar-benar menyengat. Seberapa pun banyak minum akan terkuras lagi saat merayapi jalanan aspal mulus.
“Warungbanten tuh yang ada menara BTS itu,” kata Bli Nyoman yang menjadi kawan seiring mulai dari warung selepas jembatan tadi. Kami berhenti karena melihat Om Yopi ada masalah dengan ban belakangnya.
BTS menjadi harapan baru akan sebuah tempat bernama Warungbanten.
***
Saya akhirnya bertemu lagi dengan rombongan Om Elang yang berhenti di sebuah warung tak jauh dari pertigaan. Alasan berhenti selain karena makan siang juga tidak yakin dengan jalan yang akan dilalui karena mereka tak membawa GPS atau punya track gpx.
Di warung ini pula opsi langsung ke Pelabuhanratu dibahas. Masalahnya, besok pada mau kerja. Jika tetap ke Ciptagelar dengan sisa waktu yang ada, bisa-bisa sampai subuh baru tiba di Pelabuhanratu.
Secara jarak memang ke Ciptagelar tidak jauh-jauh amat. Namun menjadi lain jika ditempuh menggunakan sepeda. Terlebih jalanan makadam. Makanya, diskusi di warung itu membulat setuju untuk langsung ke Pelabuhanratu.
Sempat berhenti untuk makan sate di Pasirkuray, Ciptagelar pun dilupakan. Kami menikmati turunan aspal yang entah berapa kilometer jauhnya sebelum berhenti karena masalah ban sepeda Om Yopi. Hari sudah gelap sebelum akhirnya Om AA dan Om Imam muncul.
Hanya Om Jwk yang menikmati makadam Ciptagelar dan kemudian balik kanan arah Sirnaresmi sebelum bergabung di Pelabuhanratu. Sementara Om Vidi yang galau antara nyusul Om Jwk atau menunggu rombongan hore-hore di belakang memutuskan lanjut ke Pelabuhanratu dan pulang naik bus meski ternyata harus turun di Cibadak karena bus arah Bogor sudah “langka”.
Di Cimaja akhirnya rombongan diangkut dengan kolbak dan mobilnya Om AA menuju ke Karacak kembali. Sempat duduk di kursi depan ternyata Om Yopi yang di belakang kena jackpot di sekitar Cikidang sehingga saya menawarkan pindah tempat.
Ah, ternyata rebahan di bagian belakang kolbak nikmat juga. Jadi tahu rasanya kenikmatan tukang bangunan atau tukang sayur yang tidur di bagian belakang kolbak. Menjelang tengah malam kaget karena tiba-tiba saja kolbak berhenti. Begitu bangun tambah bingung. Gelap di sekitar. Setelah sesaat mengamati keadaan akhirnya mengerti alasan kenapa kolbak berhenti. Om Yopi kembali kena jackpot.
Jalanan memang meliuk-liuk. “Plus sopirnya ngerokok,” kata Om Yopi. Kasihan juga melihat Om Yopi memuntahkan isi perut yang terakhir terisi di sore sehabis Ashar.
Sampai PLTA Karacak Bogor sudah berganti hari. Masih ada sisa perjalanan ke Jakarta. Beruntung nebeng Om Imam sehingga perjalanan pulang pun tinggal hanya selemparan kolor saja gowesnya. Sampai rumah mandi dan baru sadar paha memar akibat jatuh tertimpa planthangan (toptube) sepeda. Gara-garanya ya reflek melepas cleat yang sudah menurun.
Meski tak kesampaian melihat Kasepuhan Ciptagelar, gowes dua hari tetap memberiku kebahagiaan. Seperti yang dikatakan penulis buku asal AS, Greg Anderson, kebahagiaan ditemukan tak melulu karena sebuah tujuan tercapai, tapi bisa pula ditemukan saat melakukan hal itu.
Kali ini aku trekking ke Baduy Luar. Berangkat tetap menggunakan KRL Tanahabang – Rangkasbitung, lalu disambung dengan ELF menuju ke Terminal Ciboleger. Dari terminal yang ditandai dengan tugu keluarga petani di tengah-tengah tanah lapang, baru melakukan trekking ke kampung Baduy Luar.
Sebenarnya paket seperti ini banyak ditawarkan oleh pemandu-pemandu indie, yang bergerak dari lingkup terbatas. Saya beberapa kali menerima tawaran seperti itu. Sayangnya waktu tidak pas.
Salah satu hasil kerajinan masyarakat Baduy, tenun.
***
Jumat 3/8/2018 pun saya dan teman2 sudah berada di Stasiun Palmerah. Menunggu kereta ke Rangkas yang tiba di Stasiun Palmerah sekitar pukul 21.00. Beberapa dari kami sudah naik KRL arah Maja yang berangkat lebih awal.
Kereta tidak penuh sesak tapi jelas tak memperoleh tempat duduk. Membayangkan dua jam bakalan berdiri membuat saya mencari tempat yang bisa digunakan untuk bersender. Semenjak menjadi KRL maka kita tidak bisa leluasa lagi di dalam kereta. Dulu, sebelum ada KRL, sempat merasakan naik KRD Tanahbang – Rangkasbitung. Masuk ke gerbong barang, saya dan teman2 pun leluasa duduk2 di lantai.
Beruntunglah, dua stasiun sebelum Rangkas dapat tempat duduk. Melemaskan otot kaki yang lebih dari sejam menopang tubuh seberat 65 kg ini sambil bergoyang2 seiring liukan rel KA.
Begitu sampai Rangkasbitung, lega sudah. Terutama menuntaskan kencing yang ternyata banyak pengikutnya. Toilet cuma satu pintu, meski di dalam ada sekitar tiga tempat terbuka plus satu tertutup. Pihak stasiun harus mulai memikirkan penambahan toilet sebab beberapa kali saya melihat antrian yang cukup panjang di toilet.
Sebuah lorong di kampung Baduy Luar.
Dari Stasiun Rangkasbitung ini kami naik ELF menuju ke Terminal Ciboleger. Dibandingkan beberapa saat lalu, ternyata jalan menuju ke Ciboleger sudah halus. Tak ada lagi jalan makadam yang dulu pas hujan-hujan di lingsir waktu harus saya terabas dengan Dahon Sp8.
Hanya butuh sekitar dua jam untuk sampai Ciboleger. Ternyata sepi juga Ciboleger di tengah malam. Bulan yang tak bulat menaungi patung keluarga petani yang setia dalam panas dan dingin menyambut para tamu.
Setelah semua berkumpul dan mendapat arahan dari ketua rombongan, akhirnya kami pun beranjak menuju ke Kampung Balimbing, Baduy Luar. Akhirnya, apa yang dulu terhenti itu kampung tak jauh dari Terminal Ciboleger pun berlanjut langkahku.
Dengan lampu kepala yang sudah kehilangan separo dayanya (berharap Alfamart Ciboleger buka dan bisa membeli batere AA), saya dan teman2 pun menyusuri jalan beberapa tapak dengan pengerasan batu kali itu. Tapi ternyata malam yang gelap menyembunyikan rona wajah jalan itu yang sesungguhnya. Tentu saja terlihat bagus karena datar, meski ternyata ada sedikit lobang di sana-sini.
Sungai, batu, dan – abaikan modelnya.
Alhasil saya pun menyisir bahu jalan. Ya, seperti lirik lagunya Tommy Page itu, A Shoulder to Cry On, maka saya pun butuh bahu jalan untuk menyandarkan keletihan akibat memilih jalan yang nyaman di bebatuan. Duh, jadi melankolis ya.
Tapi jangan terlena dengan bahu jalan, terutama di turunan. Sebab ada beberapa kerikil yang siap menggelincirkan alas kaki Anda, lalu … kalau tak bisa menjaga keseimbangan, maka hukum gravitasi akan menghukum Anda! Bdebum!!!
Di malam yang sepi itu, ternyata perjalanan dari Terminal Ciboleger ke Kampung Balimbing telah memberi banyak pelajaran hidup bagiku.
Yah, alam tak pernah pelit dalam memberi pelajaran kepada manusia.
Bambu, sebagai penahan erosi dan penyimpan air.
Sekitar sejam naik turun jalan beberapa tapak, kami pun tiba di rumah Kang Sarpin. Di sinilah selama dua malam (atau tepatnya satu setengah malam karena setengah malam sisanya kami masih di perjalanan) kami akan merebahkan tubuh, menyatu dengan alam Baduy Luar.
Begitulah, setelah mandi (dengan tanpa berpikir airnya dingin) saya pun tidur di teras rumah Kang Sarpin. Ruang dalam diperuntukkan bagi kamu perempuan. Sementara yang lain menyebar di dua rumah tak jauh dari rumah Kang Sarpin.
Bersiasat dengan teknologi.
***
Hari pertama di Balimbing telah kubuka dengan belajar bersama Andi. Yakinlah pakai “i” dan bukan “y” meski Baduy pakai “y”.
Seperti anak-anak seusianya (sekitar 13 tahun), Andi tidak mengecap bangku sekolah. Tapi jangan lantas mengira tak bisa baca-tulis-hitung. Jika ada tamu seperti kami menginap di rumahnya Kang Sarpin, dengan sigap dia akan membawa “ubarampe” jualannya: popmi, kopi, teh, dan makanan bungkusan lain. Logikanya kalau dia berjualan tentu bisa berhitung. Juga membaca. Menulis? Eh, iya belum mengetesnya saya.
“Saya juga hapal lagu Indonesia Raya dan teks Proklamasi,” katanya bangga tanpa ditanya.
Bermain.
Dari mana ia memperoleh semua kebisaan itu? Tentu dari lingkungan sekitarnya. Permainan yang dia lakoni waktu kecil pun tanpa sadar mengajarkannya berhitung sekaligus mengeja kata-kata.
Soal bermain, anak-anak tak pusing dengan gawai. Saat di depan mereka ada palang bambu untuk jemuran pakaian yang kosong, beberapa anak laki-laki menggunakannya sebagai tiang ayunan. Mereka berayun berkejaran dari tiang penyangga satu ke tiang penyangga lainnya.
Nah, bisa dibayangkan betapa dengan alat sederhana saja anak-anak itu sudah melatih banyak hal. Kekuatan, keseimbangan, dan juga kecerdasan sosial jika tiba-tiba saja bambunya patah. Bagaimana ia harus bersikap. Melarikan diri atau bertanggung jawab? Bagi generasi 80-an tentu punya banyak pengalaman soal beginian.
Informasi.
Itulah kearifan tradisional yang terus dipelihara oleh masyarakat Baduy Luar. Mereka yang setia akan senantiasa merawatnya. Sementara yang tak bisa menjaga kesesuaian akan keluar.
“Ada beberapa yang merasa tidak sanggup hidup dengan cara seperti ini terus keluar. Tapi keluar sendiri juga memiliki banyak konsekuensi yang harus dipertimbangkan. Beberapa di antara mereka yang kemudian mempertimbangkan dengan masak-masak akhirnya tidak jadi keluar,” cerita Kang Sarpin.
(Hidup memang sebuah pilihan.)
Kang Sarpin juga bercerita soal polisi adat yang akan mengingatkan warga akan kemurnian tradisi mereka. Tapi, seperti dalam dunia luar sana, kedatangan polisi ini kadang sudah terendus sehingga warga bisa menyembunyikan barang-barang yang melanggar tradisi.
(Hidup kadang sebuah kompromi.)
***
Meski jauh dari sinyal dunia modern (gelap, tak ada televisi, sinyal operator ponsel hanya beberapa yang tertangkap), tak menjadi Baduy Luar ini sepi pengunjung.
Ketika pagi merekah, terlihat beberapa anak milenial yang menginap di beberapa rumah warga lainnya. Tentu saja mereka tak bisa lepas dari cahaya, sehingga malam-malam mereka menggunakan lentera yang sudah diisi penuh dayanya untuk menemani mereka saat ngobrol bersama di teras.
Kontras dengan anak-anak yang main di halaman rumah, berlarian tanpa pernah tersandung, padahal malam begitu pekat. Ah, saya hanya melihat hasilnya saja. Pasti dalam proses mereka berlarian di malam hari pernah mengalami jatuh tersandung batu.
Menyiapkan benang untuk menenun.
(Hidup perlu beradaptasi.)
Mencoba memahami apa yang menarik dari Baduy Luar ini di mata anak-anak milenial? Sedikit banyak karena banyak spot di sini yang Instagrammable. Keaslian alam dan sungai dengan bebatuannya, kepolosan anak-anak dengan polah saat bermain, atau jembatan bambu yang bergoyang kala dititi.
Ketiadaan sinyal juga semakin mempererat komunikasi antarmereka. Lebih fokus dengan obrolan tanpa tangan dan mata harus bekerja ekstra membagi kesibukan: melihat lawan bicara sekaligus melihat layar ponsel (yang sebenarnya ‘lawan bicara’ lain di dunia lain).
Di sebuah teras rumah lain saya melihat anak2 muda itu serius berdiskusi. Bisa jadi mereka sedang menggodog sebuah kegiatan. Jika dibicarakan di tempat nongkrong di kota, bisa jadi fokus pembicaraan akan pudar karena banyak gangguan. Nah, dengan melewatkan semalam di Baduy Luar, mereka bisa memperoleh hasil yang banyak. Rapat fokus, jalan2 juga bisa “dibungkus”.
Aktivitas di sebuah pagi.
Salah satu jalan2 yang kayaknya wajib dicoba jika sudah menginap di Baduy Luar ini adalah ke jembatan akar. Jika melihat patung keluarga petani di Terminal Ciboleger, tentu Anda akan melihat gambar jembatan akar ini. Atau di gapura masuk terminal. Jadi sudah ikonnya Baduy deh.
Ia bercerita, jembatan akar ini letaknya masuk di Kampung Penyerangan. Dikombinasikan dengan susunan bambu untuk pijakan jembatan, jembatan akar yang panjangnya sekitar 10 meter ini dikira-kira sudah berusia 40 tahun.
“Jembatan ini yang buat Pak Sayunah. Dia tinggal di Kampung Penyerangan sini,” kata Pak Erwin.
Anda memang hanya akan bisa duduk-duduk di sini. Orang yang lalu lalang di jembatan akar tidak banyak. Tapi tidak akan bosan-bosan mengira-ngira cara pembuatan jembatan akar ini.
Jembatan ini bisa diakses dengan jalan kaki dari Baduy Luar seperti dari Kampung Balingbing. Butuh sekitar 3 – 4 jam, naik turun bukit. Namun ada cara yang lebih singkat. Naik ojek atau seperti yang kami lakukan, menyewa kolbak. Nanti kita akan didrop di perkampungan terakhir yang masih bisa diakses kendaraan roda dua atau empat. Dari sini kita masih harus jalan sekitar 2 km.
Jembatan akar.
Berjalan menuju ke jembatan akar membuka mata kita akan kekayaan alam Baduy. Selain durian, pisang menjadi buah andalan untuk diperdagangkan. Meski harus dengan perjuangan berat untuk membawa pisang dari kebun ke tempat pengepul, tapi jika dilakukan dengan tanggung jawab ya tak masalah.
Keindahan alam dan keramahan penduduk membuat “sepi” karena tak terhubung dengan dunia maya tak lagi mematikan. Percayalah, ada banyak yang bisa kita pelajari dari masyarakat Baduy sembari menganggurkan gawai kita.
Kalimat itu kubaca dari japrian dengan Om Adid yang menjadi tenaga sukarela Solo Audax kali ini.
Ya, saya sudah mempersiapkan hal terburuk tapi sepertinya kurang teliti membaca sebuah perubahan. Tapi, lepas dari semua persoalan yang ada, kembali aku disadarkan bahwa latihan itu tidak bohong. Practice makes perfect, kata Benjamin Franklin.
Setelah merayapi sisi selatan wilayah Jawa Tengah, DI Yogyakarta, dan Jawa Timur, ketika putaran roda Dahon Sp8 melewati Trenggalek menuju Kediri mulai melambat membayangkan rute jalur tengah Ponorogo – Wonogiri di lereng Gunung Lawu (3.265 mdpl) sisi selatan.
Target waktu sudah tak akan tercapai. Mencoba jalur rata lewat Ngawi – Sragen pun sudah demotivasi dengan ramainya lalu lalang bus dan truk di pagi jelang siang yang pasti akan panas. Sudah panas hati dipepet bus dan truk – juga kendaraan pribadi, kepala pun panas dipanggang matahari.
Solusinya? Be a smart rider, kata Om Iman. Jadi ya di pinggir jalan selepas Nganjuk saya pun melipat Merida dan menyerahkan tubuh saya dan Merida dibawa PO Eka menuju Terminal Tirtonadi.
Dua kali melintasi perbatasan Jawa Tengah – DIY.
***
Solo Audax 600 menjadi jeda bagi penyaluran hobi saya setelah lama mencoba lari. Menjadi Audax kedua setelah ikut Audax Jogja 2014. Entah dorongan apa yang membuat saya mencoba Audax kali ini dengan sepeda lipat. Sebelumnya sudah mencoba berseli sejauh 300-an km dan “merasa nyaman”.
Saya pun mencoba membiasakan berseli untuk ber-B2W selama hampir dua bulan menjelang hari H. Dari pengalaman yang saya peroleh saat “berseli 300 km” tadi, penggunaan dropbar sangat membantu saat riding, terutama di tempat yang lapang tanpa pepohonan di kanan-kiri jalan.
Akan tetapi, ketika mencoba mengganti dropbar, kok malah jadi ilfil ya? Akhirnya balik lagi ke flatbar.
Sempat demam tak tahu penyebabnya. Dua kali ke dokter gak sembuh juga. Iseng mencoba menganalisis sendiri, bisa jadi karena jadwal donor darah sudah lewat (jadwalnya tgl 16 Agustus 2018) sehingga tgl 20 Agustus saya pun menyempatkan diri donor darah.
Tanggal 23 Agustus 2018 akhirnya saya memantapkan diri berangkat ke Solo menggunakan kereta. Masih ada hari Jumat untuk istirahat sebelum Sabtunya 25 Agustus start Audax.
Menjajal Solo Audax 100 sekaligus latihan.
***
Berbeda dengan Audax Jogja empat tahun silam yang relatif tak punya kenalan, kali ini saya bareng dengan teman-teman B2W Rombongan Bekasi. Ada Om Iman, Om Jarot, Om Hendra, Om Tutus, Om Dirman, Eyang Widi, dan dedengkot B2W Om VeWee. Di menit2 terakhir Om Dirman yang pernah gowes bareng Manado – Makassar batal karena anaknya mengalami musibah.
Kami datang secara bergelombang. Saya menggunakan kereta Kamis malam, Eyang Widi dan Om Hendra menggunakan kendaraan pribadi dan tiba Jumat, Om Tutus naik bus dan tiba hari Sabtu subuh, begitu juga dengan Om Iman, tapi naik kereta. Sementara Om Jarot yang asli Solo sudah beberapa hari tiba dan menginap di rumahnya di Gawok. Om VeWee naik pesawat Jumat sore.
Start dari Novotel Solo sekitar pukul 5.45. Ada dua jarak dalam Audax kali ini: 100K dan 600K. Peserta 600K sekitar 40-an. Sementara yang 100K ada kurang lebih 100. Banyak peserta yang telat start. Namun tidak masalah karena Audax bukanlah lomba balap sepeda. Yang penting bisa mengayuh jarak yang dipilih dalam rentang waktu yang sudah ditentukan. Tentu rentang waktu ini dihitung dari start tadi. Jadi yang telat ya kehilangan waktu.
Menyusuri Jalan Slamet Riyadi kemudian mengarah ke Sukoharjo, lalu menanjak ke Waduk Gajah Mungkur. Sebelum muncul rute resmi, sempat beredar rute yang lebih manusiawi jika dilihat dari konturnya. Rute itu melintasi Wonogiri – Pacitan – Ponorogo – Trenggalek – Tulung Agung – Kediri – Nganjuk – Madiun – Ngawi – Sragen – Solo. Ngeloop kira-kira. Dilihat dari topografi, tanjakan ada di wilayah bawah. Mulai Wonogiri – Pacitan – Trenggalek.
Nyatanya, rute resmi berubah banyak dari sisi topografi. Tidak merambah sisi utara, tapi bermain di sisi Selatan dan Tengah. Bahkan dari Wonogiri belok dulu ke Gunungkidul. Kemudian dari Madiun balik ke Ponorogo, kembali ke Wonogiri, berputar ke Klaten sebelum finish di Solo.
Di rute tak resmi EG sekitar 4.000-an, sementara di rute resmi EG naik menjadi 7.000-an. Tetap berseli? Ya sudah kadung. Begitu juga dengan balik Minggu malam.
Ketika yang lain sudah melesat meninggalkan titik start, kami masih foto-foto di bawah balon start. “Ngapain buru-buru. Kan masih 40 jam lagi,” kata Om VeWee.
Apa gara-gara masih lama itu kami lalu nyasar dulu? Keluar Novotel harusnya belok kanan dan lantas ke kiri menyusuri Jalan Slamet Riyadi. Tapi barisan depan bukannya belok kiri malah lurus menyusur Jalan Honggowongso. Namun gak terlalu jauh sebelum akhirnya putar balik.
Saya juga baru pertama kali pakai Etrex 30 pinjaman teman dan belum pinter mengoperasikannya. Hanya berbekal pernah pakai Etrex sebelumnya (seri 10?).
Sayang, pas melewati jembatan yang melintasi Bengawan Solo mengarah ke Sukoharjo bidon saya jatuh. Ketinggal deh dengan rombongan selier. Untung ada Om VeWee yang mau menemani untuk sementara waktu. Ya, sementara waktu karena beda ban dan tentu tak bisa leluasa berjalan beriringan.
Menuju Wonogiri melewati Sukoharjo mengingatkan tempat asal teman waktu tinggal di asrama dulu: Begajah. Yah, akhirnya tahu juga yang namanya Begajah. Jalanan masih relatif sepi di pagi hari itu dengan kesibukan anak sekolah dan orang yang mau ngantor. Sabtu di banyak wilayah non-Jakarta masih menjadi hati kerja dan sekolah.
Jalur menanjak baru terasa saat masuk Wonogiri. Sempat bingung dengan rutenya. Karena katanya ada perubahan, dan belum sempat aku perbarui di Etrex, maka terpaksa membuka aplikasi GPX Viewer di ponsel yang dengan gampang diubah rutenya.
Menuju Waduk Gajah Mungkur mengingatkan pada etape Jelajah Sepeda Kompas Surabaya – Jakarta. Hanya saja dulu rutenya dari Pacitan – Solo via Waduk Gajah Mungkur. Sekelebat saya masih mengingat rumah makan tempat rombongan berhenti. Rasanya tak ada yang berubah.
Di sebuah puncak bukit dengan latar waduk, beberapa peserta berhenti. Saya pun ikut berhenti dan potret sana-sini, termasuk salah satu peserta yang mengendarai sepeda roda tiga. Ternyata atlet paralympic yang akan turun pada Asian Games nanti.
Check Point 1 (#CP1) ada di km 60, daerah Manyaran. Saya masuk ke #CP1 yang buka dari 07.36 – 09.45 ini pada pukul 08.49. Jadi masih satu jam di bawah Cutt of Time (COT).
Melintas di atas jembatan Waduk Gajah Mungkur.
***
Di CP1 ini Endang yang sesama KGC minta bareng karena peta hanya ada di ponsel sementara enggak ada bracketnya.
Jika di rute tak resmi dari CP1 ini langsung ke Pacitan, dalam rute resmi dibelokkan dulu ke Semin Wonosari, lanjut Semanu dan masuk ke Wonogiri lagi lewat Pracimantoro. Jalur ini didominasi dengan kesepian, tanah kering, namun jalanan mulus. Konturnya ya khas daerah pantai selatan. Roling padat.
Melintasi kawasan Gunung Kidul hati ini selalu tercekat. Ya, sebagian masa kecil ada di wilayah ini, meski lebih banyak di seputaran Wonosari. Dengan pesona alam dan jalanan yang mulus, kini pariwisata kawasan Gunung Kidul mulai menjadi primadona (data 2017, PAD Gunung Kidul dari sektor wisata sekitar 12 persen). Siapa tak kenal Gua Pindul? Plang petunjuk ini sempat saya temui di sepanjang jalan menuju Pracimantoro. Padahal jaraknya masih lumayan jauh, sekitar 6 km.
Tiba di CP2 yang nebeng di RM Sakinah (buka 08.55 – tutup 12.30) pada pukul 11.47. Saya pun sekalian makan karena kepala sudah mulai nyut-nyutan. Kali ini sendirian saja sebab Endang ternyata sudah duluan bersama Om Endot.
Jalanan semakin menanjak, meski tetap mulus. Bahkan di beberapa tanjakan saya mesti berhenti mengatur napas. Maklumlah, sprocket Dahon masih bawaan pabrik: 8 speed 11-32. Itu pun yang 32 kadang loncat. Sudah saya atur pulleynya tetap gak mulus jalannya. Saya jadi takut kalau malah patah rantainya. Terpaksa jurus zigzag dikeluarkan. Beruntung jalanan sepi.
Memasuki Pacitan saya mulai bersua dengan rombongan yang tadi berangkat duluan dari RM Sakinah. Aura Partai Demokrat sangat terasa begitu memasuki Pacitan. Ya, Pacitan merupakan tempat kelahiran Susilo Bambang Yudhoyono yang saat ini menjadi Ketua Umum PD.
Setelah melewati dua punukan bukit, sampailah di bukit ketiga dengan elevasi puncak sekitar 444 mdpl. Dari sini mulai turun menuju Kota Pacitan yang berada tak jauh dari pesisir. Turunannya banyak yang curam sehingga perlu hati-hati, terutama pengguna seli seperti saya. “Saya malah nuntun tadi,” komentar peserta begitu kami istirahat di CP3 yang berada tak jauh dari “Alun2” Pacitan. Saya tiba di CP3 pukul 15.46. Sudah mepet dengan COT karena CP3 ini buka dari 10.40 dan tutup 16.00.
Di CP3 ini saya bertemu dengan Eyang Widi. Setelah minum air kelapa, saya pun segera melanjutkan kayuhan. Kali ini bareng Eyang Widi dan dr. Jie. Keduanya sudah masuk kategori manula tapi jangan ditanya fisiknya. Saya tak bisa mengimbangi di jalan rata. Hanya di tanjakan bisa sedikit bergaya hehe …
Beruntung bahwa selepas CP3 mulai menanjak dengan teguh sampai ketinggian puncaknya 586 mdpl di km 205. CP3 elevasinya sekitar 33 mdpl dengan odometer km 155. Namun aku sempat tertinggal oleh duo manula itu karena jalanan rata dan mulus membuat mereka bisa mengembangkan kecepatan dengan leluasa. Entah mengapa mereka kemudian berhenti makan bubur kacang ijo di sebuah deretan ruko. Saya jadi kepancing dengan tawaran mereka, sementara beberapa peserta di belakang “cuek” saja dan meneruskan kayuhan mereka.
CP4 agak memberikan kejutan sebab belum jaraknya. Harusnya di Masjid Al Huda, Tegalombo, di km 203. Namun baru km 190 sebuah tongkat ali berkedap-kedip di depan sebuah warung menghentikan kayuhan. Lumayan bisa merebahkan tubuh sembari menyantap Pop Mie. Entah, pingin yang berkuah tapi tak mau yang bikin kenyang.
Saya bertemu dengan Om Jors yang ternyata temannya Max, teman di KGC. Basa-basi sejenak karena dia sudah selesai istirahat dan mau melanjutkan perjalanan dengan MTB-nya.
Seruas jalan di wilayah Semanu Gunung Kidul.
***
Kembali saya mengayuh pedal bersama Eyang Widi dan Dr. Jie. Menuju CP5 di Kantor Desa Pangkal, Trenggalek, berarti nambah 10km-an. CP5 berada di Km 253.3 dan buka dari pukul 14.00 sampai 22.30. Masih menanjak dengan kanan kiri hutan. Tapi lalu lintas lumayan ramai.
Inilah puncak tanjakan dalam rangkaian Solo Audax 600. Ketinggian di punukan Pacitan menuju Ponorogo ini adalah 590 mdpl. Nah, selepas ini kami berleha-leha menuju Ponorogo.
“Sebentar, ini bukannya salah jalan?” teriak dr. Jie sambil memperlihatkan layar ponsel yang menampilkan aplikasi Lacakin.
“Salah gimana?” tanyaku.
“La jalur yang benar kan yang biru ini. Kita ada di sini,” terang dr. Jie.
“Yang biru ini sungai dok. Kita bener di sini. Yang bulat itu kan posisi kita. Dan ini jalur yang kita lewati. Agak ke sini baru ketemu CP5,” aku mencoba menjelaskan.
“Oh iya, ya. Maaf. Kalau begitu kita lanjut.”
Setelah jalanan mulus, rute ternyata memasuki jalan yang rusak. Ponorogo mengarah Trenggalek. Di aplikasi GPXViewer akan menemui tanjakan lagi.
Malam, capai, dan jalan rusak. Kombinasi yang bikin gimana gitu …. Mana lalu lintas cukup ramai. Jadi ketika mengayuh di tengah dengan kondisi jalan yang lumayan mesti harus sering menepi ketika dari belakang ada bunyi klakson kendaraan.
Namun malam itu saya menyaksikan kegairahan warung kopi di wilayah ini. Hampir sepanjang jalan rusak itu saya melihat beberapa warung kopi yang ramai pengunjung. Bisa jadi malam minggu.
Menuju CP5 butuh perjuangan yang ekstra karena selain menanjak dulu, pantat sudah dalam ambang batas gak bisa kompromi. Alhasil gowes sesekali sambil berdiri.
Sempat kena PHP oleh kemeriahan yang saya kira sekaligus CP5, ternyata bukan. Lalu saya melakukan kesalahan saat melewati jalan yang separo longsor. Kepada pemuda yang mengatur lalin saya bertanya, apa masih jauh Kantor Desa Pangkal?
Tentu saja jawabannya hiperbola.
Toh kesabaran itu ada batasnya. Ketika jalanan sudah mulai menurun, ternyata CP5 tak jauh dari situ. Begitu sampai CP5 saya kaget lihat Om Iman meringkuk di bawah selimut darurat (emergency blanket). Di sebelahnya ada Om Jarot yang juga rebahan.
Kontur jalan seperti ini sering dijumpai.
***
Menuju CP6 kali ini bertambah anggota kami, Om Djarot. Dengan seli Bike Friday-nya. Sekilas Om Djarot ini mengingatkan saya pada goweser yang saya kenal juga.
Jalanan menurun, gelap. Saya berada di barisan belakang, sempat melihat Eyang Widi berhenti. Pas tanya saya kurang jelas apa jawabannya. Tak jauh dari Eyang Widi berhenti kami baru tahu, di sinilah lokasi tanah longsor yang beritanya sempat disebar di Grup WA.
Masalahnya, di grup diberitakan bahwa sepeda atau motor bisa lewat. Tapi saat saya dan dr. Jie mau lewat, polisi yang berjaga di dekat cone-cone yang dipasang di jalanan tak membolehkan.
“Lewat jalan kampung itu. Di sana,” kata polisi sambil menunjuk arah jalan yang dimaksud.
Kami sepakat menunggu Eyang Widi dan Om Djarot biar bisa bareng melewati jalur altenatif. Tapi lama ditunggu gak muncul2 membuat kami bertanya2. Apa ada masalah dengan mereka?
Ketika lebih dari setengah jam menunggu, kami sepakat duluan. Eh, pas mau turun ke jalan alternatif, Eyang Widi dan Om Djarot muncul. Kami pun melewati jalur alternatif melewati kampung yang ternyata harus melewati turunan curam berkelak-kelok. Betapa curamnya jalur ini, beberapa mobil yang datang dari arah berlawanan tak kuat menyelesaikan tanjakan. Akhirnya diganjel dulu ban belakang, baru bisa melewatinya.
Bagi kami, turunan tajam ini juga gak bisa leluasa ditempuh dengan bersepeda. Terpaksa menuntun dengan susah payah karena harus bergantian dengan mobil yang lewat.
Melewati perkampungan dengan jalan tanah dan sedikit makadam cukup menyita waktu. Terlebih setelah bertemu dengan jalan utama, kami masih harus menunggu kembali Eyang Widi dan Om Djarot yang kembali tak kelihatan sorot lampunya.
“Wah, hampir kejatuhan batu tadi,” kata Eyang Widi begitu kami sudah berkumpul kembali. Ya, kemungkinan batu untuk glundhung memang besar karena ganjal ban yang dipakai adalah batu sedapatnya saja. Jadi, ketika dapat batu yang hampir bulat, ketika mobil bisa lewat tanjakan maka batu itu pun bergulir pelan dan lama kelamaan pun menjadi kencang.
“Harusnya pakai balok kayu yang dibikin meruncing,” kata dr. Jie. Ya, idealnya memang begitu. Tapi saya melihat jalur itu juga darurat dipersiapkannya. Itu pun hanya bisa dilalui kendaraan roda empat ukuran kecil, sebangsa MPV. Terlihat banyak truk yang putar balik begitu jalur resmi ditutup.
Waktu hampir mencapai tepinya, ketika kami mengauh kembali. Saya pun sadar tak mungkin mencapai CP6 sesuai target.
Kami berhenti kembali menjelang subuh di sebuah warung. Lapar mulai menjalar. Kemudian ada kabar Om Hendra yang terpaksa “ngojek” waktu menuju CP5 dan ternyata CP5 sudah kosong, ingin bergabung juga. Akhirnya kami menunggu Om Hendra. Saya yang sudah selesai makan akhirnya memutuskan tidur. Toh waktu sudah tak bersahabat untuk membawa ke CP6.
Bangun-bangun ternyata sudah banyak yang parkir di warung. Ketika kami meneruskan kayuhan, ternyata Om Hendra gak jadi bareng dengan kami. Alhasil, kami tetap berempat: Eyang Widi, dr. Jie, Om Djarot, dan saya.
Sebelum subuh kami berhenti di Alfamart di arah menuju Tulungagung. Karena sudah tak lagi mengejar target, maka saya pun mandi di sini.
Hmm … badan jadi segar.
Mejeng sebelum masuk Pacitan.
***
Menuju CP6 jalanan sudah tak sekejam sebelumnya. Melewati Tulungagung, menuju Kediri, pagi sudah merangkak. Sempat melewati “tenda biru” bekas keramaian malam sebelumnya di daerah kawasan pesantren. Entah lupa namanya. Banyak bener ponpes di sepanjang Jalan Raya Mojo.
Sempat berhenti karena rombongan depan salah track, tapi bingung juga kok jalur yang ditandai tidak ada tanda-tanda jalan. Sementara Om Djarot mengejar Eyang Widi dan dr. Jie, saya masih mencari2 rute yang benar. Karena gak ketemu juga akhirnya menyusul.
Cukup jauh saya tertinggal, dan semakin jauh karena saya begitu menikmati pagi. Sempat jajan cemilan sebelum melanjutkan, dan ternyata rombongan depan sudah tak terlihat.
Saya sempat kelewatan CP6, dan tidak melihat Eyang Widi cs berhenti. Makanya saya terus lanjut sembari mencari sarapan yang menurut saya enak.
Lepas Kediri ternyata belum ketemu juga, dan akhirnya menepi di Soto Lamongan. Sambil sarapan saya pun mulai mereka langkah. Antara tetap ikut rute, dengan tingkat kepesimisan tinggi tidak bisa mengejar kereta malam itu dan motong jalur langsung menuju Solo via Nganjuk – Caruban – Ngawi – Sragen. Saya coba buka GMaps, jaraknya sekitar 150 km. Saat itu sekitar jam 7 pagi. Dengan rerata kecepatan 20 km per jam (karena rute relatif rata), maka sebelum gelap sudah bisa masuk Solo.
Selesai sarapan dan siap-siap mengayuh, tetiba saja tiga orang yang di depan tadi melesat. Eyang Widi berkejaran dengan dr. Jie, dibuntuti Om Djarot. Saya jadi teringat dengan sebuah cerita di Mati Ketawa ala Rusia. Soal kepedeannya Rusia dengan mobil buatannya yang mengklakson2 terus mobil buatan Amerika, padahal mobil buatan Rusia itu mogok dan ditandu mobil derek.
Saya pun bersegera dan akhirnya membuntuti Om Djarot, yang ternyata mencari toilet karena ada masalah dengan perutnya. Pantas saja “pelan”.
Tapi ada kabar gembira juga. Om Djarot seide dengan saya, langsung menuju Solo via Sragen(tina) hehe … Sempat belok ke sebuah SPBU, ternyata penuh toiletnya. Akhirnya Om Djarot bisa mendarat dengan leluasa di sebuah mushola.
Saya lanjut sendirian dan menyusuri jalan masuk kota Nganjuk. Nah, ketika melintasi jalan raya Nganjuk – Kertosono di daerah Wilangan, saya sempat senam jantung. Ketika asyik mengayuh sambil melihat pemandangan sekitar, tiba-tiba saja dari arah depan sebuah kendaraan melaju kencang dalam jalur saya karena menyalip sebuah truk.
Seandainya saja saya tenang, tak masalah. Namun saya sedang tidak fokus dan kaget. Akhirnya mengarahkan roda ke bahu jalan yang cukup lumayan beda tingginya. Hampir jatuh saya pun segera berhenti menenangkan hati. Tak jauh dari situ ada deretan warung. Saya pun berhenti di sini.
Ah, saya pun lantas berpikir mengapa jika ada kalimat “Be prepared for the worst”, mengapa tak mencoba sebaliknya? “Be prepared for the best!” Hehehe….
Pikiran licik pun mengendap-endap di benak. Yah, kenapa gak naik bus aja. Duduk manis sembari terlelap dan sisa waktu bisa digunakan untuk mengeksplor Solo.
Begitulah, selepas tengah hari pun saya sudah sampai di Terminal Tirtonadi. Mampir di Stasiun Balapan untuk mencetak tiket, saya pun kemudian berkelana kuliner. Kemudian leyeh2 di Twinstar Hotel menjelang gelap, menyiapkan kamar buat Om Hendra, Om Iman, dan Eyang Widi sambil memantau pergerakan teman-teman.
Meski tak bisa menuntaskan misi, namun saya memperoleh kunci untuk menyelesaikan Audax. Tentu juga dengan membandingkan Audax Jogja yang pernah saya ikuti beberapa tahun silam.
gussur.com – “When the spirits are low, when the day appears dark, when work becomes monotonous, when hope hardly seems worth having, just mount a bicycle and go out for a spin down the road, without thought on anything but the ride you are taking.” ― Arthur Conan Doyle
Saya teringat dengan ungkapan dari pengarang berkebangsaan Inggris – salah satu seri terkenalnya adalah Sherlock Holmes – itu ketika ingin membawa Gianto pulang kampung.
Gianto adalah panggilanku kepada sepeda MTB-ku. Karena mereknya Giant dan aku berlatar belakang Jawa ya dengan gampang tinggal kasih “o” di belakangnya. Jadilah Gianto. Sudah ratusan km kususuri jalan di negeri ini dengan Gianto. Usianya sejak beli baru sudah mendekati 10 tahun. Sudah termasuk tua untuk dunia persepedaan saat ini yang sudah dijejali dengan sepeda berlingkar ban 27″ atau 29″. Gianto sendiri masuk kategori 26″.
Dari semula ingin menggowes Gianto dari Jakarta ke Imogiri, sebuah kecamatan di Kabupaten Bantul sisi Timur. Terkenal dengan Makam Raja-raja Surakarta dan Yogyakarta. Tapi ternyata waktu tidak pernah berpihak pada keinginan itu. Padahal peta gpx sebagai panduan sudah saya buat: menyusuri jalur tengah yang relatif sepi.
Kesempatan itu akhirnya datang bersamaan dengan keikutsertaan saya di Borobudur Marathon 2018. Meski tidak jadi menggowes langsung dari Jakarta karena keterbatasan waktu, tapi aku sudah berketetapan hati membawa Gianto pulang. Makanya saya menumpang bus agar bisa membawa serta Gianto.
***
17 Nov 2018
Menumpang bus Safari Dharma Raya, sekitar pukul 06.00 saya sudah “mendarat” di Blabak, Magelang. Setelah merakit sepeda, saya pun bergegas menuju Gantang, di kaki Gunung Merbabu. Ada sebuah taman doa yang di kalangan orang Katolik begitu populer belakangan.
Sekitar 10 menit gowes pemanasan saya menepi dulu melihat penjaja bubur sayur. Sembari mengetrack jalur via GMaps. Jaraknya sekitar 14 km tapi nanjak alus sebelum beberapa kilometer mendekati finish nanjak nyengkrek.
‘Nyabu’ dulu…
Selepas makan bubur dan teh manis yang tak sampai Rp10.000,- itu aku pun mulai menyusuri penziarahan batin menuju Gantang. Pagi itu lalu lintas sudah ramai, terutama yang dari atas. Aktivitas warga mulai berdenyut. Berbeda dengan di Jakarta, di banyak wilayah di Jawa Tengah dan Yogyakarta hari Sabtu bukanlah hari libur bagi pegawai dan anak-anak sekolah.
Rute menuju Taman Doa Gantang
Pelan tapi pasti saya kembali mengayuh pedal. Dua kilo menjelang Taman Doa Gantang, tanjakan nyengkrek mulai tersua. Deru nafas bercampur dengan bau pupuk kandang yang bertebaran di pinggir jalan karena daerah sekitar merupakan ladang penduduk. Sesekali menyapa penduduk yang berjalan kaki menuju ladang.
Akhirnya sampai juga di parkiran Taman Doa Gantang. Langsung saya beberes dengan tujuan yang sudah saya pendam dari Blabak tadi: pup! Rutinitas pagi. Juga mandi tentunya. Setelah minta izin ke anak-anak yang menonton teve di tempat semacam beranda, saya memasuki satu dari beberapa toilet yang ada. Mencoba memilih yang ada WC duduknya, saya segera bersiap melaksanakan hajat.
Melihat air dalam ember di samping WC kosong, saya lantas membuka kran. Blaik! Ternyata gak keluar air. Buru-buru hajat yang mau keluar kutarik kembali dan kembali menggunakan pakaian, lantas keluar bertanya ke anak-anak tadi.
“Airnya gak ngalir ya Dik?”
“Iya Pak!”
***
Aku pun kembali berkemas-kemas dan menuju ke Taman Doa dengan berharap air suci mengalir untuk membasuh muka. Untung di sini air mengalir lancar. Tentu tidak bisa digunakan untuk mandi. Jadi saya hanya membasuh muka. Dinginnya air menyegarkan kepenatan.
Segera saya menuju ke pelataran Patung Bunda Maria dan tenggelam dalam keheningan.
Taman Doa Gantang
Sekitar satu jam saya bersimpuh di Taman Doa ini sebelum akhirnya bersiap-siap menuju ke Artos Mal mengambil paket lomba Borobudur Marathon.
Menuruni jalan menuju Blabak, saya mencoba tidak mengikuti jalan besar. Tanya-tanya ke penduduk setempat, ada jalan menuju Candimulyo yang bisa tembus dari belakang Artos.
“Cuma jalannya naik turun Dik!” kata seorang bapak pemilik warung yang pagi itu saya datangi karena ingin membeli minuman.
Jalanan memang naik turun tapi relatif sepi dan melintasi persawahan. Tanaman padi masih hijau, menyejukkan mata.
Tiba di Artos Mal saya segera menitipkan sepeda ke Mbak2 penjaga parkiran motor. Juga tas bawaan saya. Saya kemudian menuju ke lantai tiga tempat pengambilan RPC. Ternyata sudah ramai juga. Banyak yang masih membawa tas bepergian mereka. Pertanda mereka langsung dari bandara atau stasiun.
Rute dari Taman Doa Gantang menuju Artos Mal.Inovasi baru dalam pengambilan RPC. Begitu selesai memperoleh BIB, nama kita akan muncul di layar besar di ruang pengambilan RPC. Karena penuh sesak antrian dan buru-buru, saya hanya sempat motret nama tanpa bisa selfi.
Karena mendapat titipan RPC, maka saya pun menitipkan RPC saya dan RPC titipan ke teman yang akan ke penginapan menggunakan kendaraan.
Saya? Kembali menyusuri jalanan di Magelang dengan Gianto menuju penginapan di Bumi Shambara, tak jauh dari Candi Borobudur.
gussur.com – Lari di Borobudur kali ini menjadi lari yang keempat kalinya. Jika disimak dari tulisan2 saya di blog ini, terlihat grafik kepuasan terhadap lomba lari di Borobudur ibarat roller coaster. Naik turun naik naik lagi.
Yang pertama pada 15 November 2015. Belum ada kategori full marathon (FM). Saya pun ikut yang kategori setengah maraton dan terkesan dengan lomba ini, terlepas dari kekurangan yang ada. Namanya masih Borobudur 10K karena dua kegiatan sebelumnya kategori terjauh hanya 10K.
Setahun kemudian, 2016, dengan harapan membuncah ikut lagi dan mencoba kategori FM. Jika HM saja mengensankan, apalagi FM? Dua kali mengesankan tentunya. Itu teorinya. Nyatanya? Ketika ditangani EO, sebelumnya oleh Pemda, Borobudur Marathon kali ini justru mengecewakan.
Lantas, kapokkah saya?
Karena 2017 manajemen lomba diambil alih Kompas, ya kudu mendukung acara yang diselenggarakan sesama kolega dong. Dengan jargon Reborn Harmony, dan didukung Bank Jateng, Borobudur Marathon 2017 pun sukses bangkit dari “amburadulnya” lomba tahun sebelumnya.
Jadi, tak ada alasan lagi untuk tidak ikut di Borobudur Marathon 2018 (BorMar).
***
Pada gelaran 2018 Borobudur Marathon mengusung tema Raising Harmony. Ibarat bayi yang baru tumbuh, setelah lahir tentu fase berikutnya merangkak, lalu berjalan, dan kemudian berlari. Tentu saja setiap fase ada peningkatan kemampuan. Dalam hal organisasi lomba, ini berarti peningkatan kualitas.
Selain disambut panakawan di Bandara Adisucipto, pengambilan RPC di Artos Mal Magelang kali ini dikejutkan dengan inovasi baru dari panitia BorMar. Usai mengambil RPC, nama kita akan muncul di layar besar di sisi kanan ruang pengambilan RPC dalam frame stupa.
Tawaran produk yang berkaitan dengan lari dari para sponsor pun menarik minat beberapa peserta yang selesai mengambil RPC. Seperti pada booth Isoplus yang menjadi minuman isotonik dalam acara ini diserbu peserta yang ingin memperoleh minuman isotonik gratis dengan menunjukkan BIB kita. Atau fuel belt seharga Rp50ribu plus gratis satu buah botol minuman isotonik.
***
Pada hari H, mereka yang sudah pernah ikut BorMar tahun kemarin tentu sudah hapal dengan penataan start. Juga deretan toilet portabel warna-warni dan tenda drop bag. Semua masih sama persis tahun lalu.
Begitu juga dengan tata letak panggung penembak aba-aba dan penyanyi lagu Indonesia Raya. Hanya kali ini bukan Andien yang tampil, tapi Monita Tahale. Pemilik nama lengkap Monita Angelica Maharani Tahalea ini merupakan jebolan Indonesia Idol 2005. Dengan gaun putih krembyak2 – saya malah berimajinasi pada kostum film2 horor yang sekarang ini lagi tren, apalagi lihatnya di pagi buta – suara dara kelahiran 21 Juli 1987 ini membius para peserta.
Kali ini mulai digunakan pacer di tiap kategori.Monita Tahale saat menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya
Mendung yang menggayut di langit mengirimkan sinyal akan datangnya hujan seperti tahun lalu. Antara berkah dan musibah. Berkah karena cuaca tidak panas, sebab pada saat lomba, cuaca seputar Magelang begitu gerahnya. Panas nylekit. Musibah karena gak banyak fotografer yang bertahan dalam hujan sehingga koleksi foto peserta berkurang.
Start tepat waktu, yang dibuka oleh Gubernur Jateng, Ganjar Pranowo yang ikut pada kategori 10K, ribuan pelari kategori FM mulai menyeruak di jalanan seputar Taman Lumbini sebelum akhirnya tumpah ruah di rute lomba seputaran Candi Borobudur.
Dibandingkan tahun sebelumnya, hiburan kesenian kali ini lebih banyak dan beragam. Sayang, tidak bisa bertanya lebih banyak karena kali ini saya mencoba mengukur berapa lama catatan saya. Toh beberapa kesenian sempat menjadi ajang selfiku.
Pos hidrasi kali ini lebih banyak dari sebelumnya karena di penggal rute terakhir dipersempit jaraknya menjadi tiap 2 km. Ini menjadi patokanku untuk mengendorkan urat-urat kaki dengan meneguk air mineral dan isotonik sekaligus dengan berjalan kaki sekitar 100 m. Cuaca yang memang panas meski matahari tak menampakkan membuat gelas-gelas berisi air itu tandas ketika masuk dalam keranjang plastik.
Inovasi lain yang membantu diriku dalam menyusuri rute tahun lalu itu adalah garis biru. Ketika kaki sudah capek diajak lari, maka jurus lari – jalan pun aku keluarkan. Masalahnya, agar bisa mangkus jarak antara lari dan jalan harus seimbang. Saya sering menggunakan pal di pinggir jalan yang jaraknya biasanya per 100 m sebagai pemandu. Sayangnya, tak semua jalan memiliki pal ini.
Maka, ketika ada garis biru yang menjadi pemandu jarak efektif, saya pun memakainya sebagai pemandu jurus jarak – lari. Jadi ketika menginjak garis biru, saya pun mulai berjalan. Ketika menginjak garis biru di depan, saya mulai lari lagi sampai kemudian menginjak garis biru lagi di depannya. Begitu seterusnya.
Sampai akhirnya bisa finish dengan waktu yang jauh lebih baik dari tahun sebelumnya. BorMar kali ini waktu tempuhku 05:12:21. Tahun 2017 lebih dari 6 jam, tepatnya 06:02:36.
Hujan yang batal bisa jadi membuat pelarianku kali ini lebih bergigi dibandingkan dengan tahun lalu.
gussur.com – Salah satu agenda mudik kemarin adalah survey daerah tujuan wisata yang akan dikunjungi si sulung sama teman2nya. Saya kalau sendirian atau ngajak anak2 hampir gak pernah tahu kondisi tujuan plesiran kami. Kejutan menjadi bagian dari plesiran itu.
Masalahnya, ini melibatkan anak2 orang. Meski mereka sudah akrab, jangan sampai jauh2 datang ke tempat wisata yang ada hanya kecewa (gelo).
Selain itu, Instagram tak seindah kasunyatan (kenyataan). Banyak syarat dan ketentuan menempel dalam foto2 di Instagram.
Banyu tibo (air jatuh) menjadi salah satu tujuan si sulung. Googling deh. Pasti banyak kita temukan pemandangan indah dan syantik seputar wisata ini.
Tapi apa yang kami temui?
Memakai jurus panduan GMaps, ada POI Banyu tibo. Tapi setelah saya susuri ternyata berhenti di Pantai Siung. Di pertigaan arah Pantai Siung dari jalan utama memang ada plang petunjuk Banyu tibo masih lurus.
Oke, kami ke Pantai Siung dulu. Tanya2 Buk Ibuk penjual nasi bisa ke Banyutibo dari Pantai Siung. Tapi jalan melintasi dua bukit. Jangan tanya soal jarak. Cuma 1 km kata si Ibuk.
Saya iyakan dan kami menikmati Pantai Siung dulu.
Pantai Siung.
Puas menjelajah pantai kami beringsut keluar menuju Banyutibo. Pas bayar parkir, ternyata petugas minta 10rb. Diminta karcis kebingungan, akhirnya berdamai dengan separo harga.
Persimpangan Banyutibo tak seberapa jauh dari persimpangan Pantai Siung. Arah ke timur, ke Pantai Wediombo. Hanya saja jalan ke lokasi bukan aspal tapi beton. Di petunjuk arah tertulis Banyutibo 5 km.
Jalan beton ini cukup satu mobil. Kebayang kalau papasan harus nyari tempat lapang.
Sekitar 3 km, plang petunjuk Banyutibo mengarah ke kiri, arah jalan setapak! Waduh… jalan kaki sisanya.
Ketika sedang kebingungan, seorang pemuda menunjukkan tempat lapang pinggir jalan sebagai tempat parkir mobil.
“Mau ngojek Pak?” sapa dia ketika saya sudah turun mobil. Biaya ngojek 15rb rupiah. Dia nawari lepas kunci kalau mau. Anak2 mau jalan kaki saja.
Baiklah… Saya tentu lebih suka jalan kaki. Ada sepenggal masa kecil jalan kaki di wilayah pegunungan seribu ini. Jadi, ya nggak masalah.
Jalan setapak tadi sedikit menanjak sebelum akhirnya melandai. Tak seberapa lama menikung dengan plang peringatan yang membuatku tergelitik bertanya-tanya. Intinya suruh membunyikan klakson.
Ketika kami sudah menikung baru ngeh peringatan tadi. Selepas tikungan tadi, jalan setapak tak selebar sebelumnya. Jadi memang harus memberi sinyal ke kendaraan dari arah “dalam” supaya mereka tahu kita mau lewat.
Jalan setapak kemudian menanjak dengan beton yang sudah digarit2 layaknya tempe goreng garit. Maksudnya tentu biar tidak licin jika basah kena air hujan. Tanjakan cukup menguras tenaga.
Tak ada tanjakan yang tak berpuncak. Begitu juga dengan tanjakan beton bergarit ini. Turunan beton bergarit ini melintasi ladang dan kandang sapi. Jadi jangan kaget jika mencium bau tak sedap. Sedap di sini tentu tak nyaman buat hidung. Kalau nyaman, bisa runyam industri parfum.
Plang petunjuk.
Selepas ini jalan setapak beralaskan tanah telanjang. Di musim kemarau seperti ini, jalanan seperti ini bikin debu mengepul dan kaki plus sendal jadi kotor. Kanan kiri ladang ditanami ketela, tanaman tahan banting yang dulu di masa kecil sering kami – saya dan teman2 tentunya – jahili dengan mengambil ketelanya tanpa mencabut pohonnya.
“Kok mboten beto kreta?” seorang ibu-ibu menyapa kami. Kreta di sini maksudnya motor. (Setelah sampai di lokasi baru ngeh ternyata hampir semua pengunjung membawa motor.)
Jalur setapak ini berakhir di sebuah tanah lapang tempat parkir motor2 pengunjung. La, terus mana Banyutibo?
Ternyata plang penunjuk masih mengarahkan untuk belok kiri sebelum tempat parkir tadi. Jalan ke kiri ini turun berundak, yang tidak memungkinkan motor lewat. Jadi, perjalanan seterusnya dilanjutkan dengan jalan kaki.
Turunan berundak dan berkelak-kelok itu menuntun kami ke pinggiran kali yang airnya mengalir bersembunyi di sela-sela bebatuan yang beragam besarnya. Di beberapa tempat air menggenang di sebuah cekungan. Saya pun sudah menebak bahwa tak ada air terjun kali ini di Banyutibo.
Benarlah dugaanku. Seorang bapak-bapak yang sedang memperbaiki tempat selfie bercerita kalau di Banyutibo sudah beberapa minggu tidak diguyur hujan. Jadi, air terjun yang jadi keunikan tempat ini untuk sementara absen dulu. Sembunyi menyimpan energi untuk beraksi saat musim hujan mengguyur.
Tapi, Banyutibo tak sekadar air terjun. Di sini menjadi titik pemancingan yang menurut bapak-bapak tadi sering didatangi orang yang kurang kerjaan. “La mancing berhari-hari di sana,” katanya sambil menunjuk sebuah bukit yang menjorok di lepas laut.
Tak jauh dari Banyutibo ada Bukit Pengilon, sebuah bukit yang dijadikan tempat berkemah dengan pemandangan laut lepas. Dari atas hamparan rumput di bukit ini kita bisa melihat segalanya. Ke arah barat terlihat keindahan Pantai Siung. Sedangkan ke arah timur kita bisa menikmati keindahan Pantai Wedi Ombo dan Pantai Watu Lumbung.
Semua keindahan itu akan maksimal jika berkunjung di musim hujan. Rumput menghijau dan Banyutibo tak ingkar janji, menerjunkan air dengan deras.
gussur.com – Dulu waktu awal2 suka bersepeda tak terpikirkan untuk bermain2 di Mangunan. Kawasan berbukit yang tiba2 saja memicu kegairahan wisata lokal lewat Hutan Pinus dan Taman Buah Mangunan ini kurang ramah bagi pesepeda. Jalannya nyengkrek dalam jarak pendek. Nyengkrek adalah istilah untuk tanjakan curam.
Biasanya saya hanya bersepeda sampai awal tanjakan panjang sebelum Bukit Bego yang menjadi bukit unjuk kepiawaian pemotor cross. Dari situ saya melipir ke belakang makam raja2 Yogya dan Surakarta kembali ke rumah.
Kali ini saya mencoba pergi agak jauh. Semakin jauh pergi tentu semakin banyak hal yang bisa diperoleh. Dirasakan.
Awalnya mau pagi2 benar gowes. Apa daya hanya bisa bangun semata untuk mematikan alarm pukul 05.00. Padahal ada dua alarm yang nyala bersamaan. Jadi emang badan sudah capek tahap sundul langit.
Ok. Waktu sudah menunjuk pukul 07.00. Kadung wis diniati. Aku segera beberes dan mengeluarkan Gianto. Debu menempel di sana-sini. Sebagai bukti kalau jarang dipakai.
Setengah jam kemudian aku pun mancal pit.
Kali ini lebih santai meski dibatasi waktu. Siang hari ada urusan lain. Jadi ya bergegas maju tak gentar.
Jalanan sudah mulai diperbagus. Halus dan bahu jalan selevel sama jalannya.
Kali ini mencoba banyak berhenti untuk memotret.
Fungsi rambu tak hanya mengingatkan pengendara, tapi juga bisa jadi senderan sepeda hehe… Emang bahumu saja yang bisa buat senderan.
Bukit Bego, spot pertama buat foto2an.
Jalan mulus berkelak-kelok.
Vandalisme rambu2
Menu sarapan di hutan pinus.
Pinus asri, dari luarnya saja.
Sedikit kelewatan, tapi balik juga demi foto.
Sempat bertanya ada jalan lain untuk segera sampai Pleret dari Puncak Becici?
Ternyata disuruh lewat Cinomati.
Selepas Cinomati saya mengambil jalur ke Wonolelo. Ini kampung yang terlihat dari spot-spot swafoto di Puncak Becici. Masih banyak sebenarnya daerah Pleret yang bisa dieksplore. Lain kali deh…
Sampai rumah masih bisa mandi dan segera menyelesaikan urusan.
Kalimat itu aku dengar saat berpapasan dengan seorang pelari
yang berlari balik arah menuju ke temannya yang berhenti berlari di atas
trotoar sambil kedua tangannya memegang perutnya.
Duh, saya tak bisa membayangkan harus memuntahkan isi perut
dengan mencolokkan jari ke mulut.
Drama di sekitar km 29 di Jalan Lodaya Bandung itu bukan
yang pertama kusua dalam Pocari Sweat Bandung Marathon 2019 (PSBM). Namun ini
yang paling dramatis dan menjijikkan menurutku. Apakah setelah muntah badan
jadi segar dan bisa meneruskan sekitar 13 km lagi?
“Kesakitan” saat mengikuti lomba lari full marathon menjadi
pemandangan yang biasa. Sebelum lomba saya sudah melihat peserta dengan kinesio
tape di beberapa bagian kaki. Bahkan ada yang seperti tato saja menghiasi kedua
kakinya. Paha depan dan belakang, seputar lutut, kemudian betis belakang.
Sebelum 10 km pertama sudah ada yang jalan kaki. Memang
waktu itu jalanan menanjak melewati jalan layang Pasopati. Namun jika jarak
seperempatnya saja sudah kehilangan daya tahan, bagaimana nanti jarak sisanya?
Pasti menderita.
Drama-drama selanjutnya dengan mudah kita lihat di setiap
pos hidrasi. Ada yang disemprot, dioles, atau sekadar berhenti meluruskan kaki
sambil rebahan atau duduk. Selepas pertengahan jarak, ada yang kram, baik kaki
atau perut. Juga perut bermasalah seperti di awal artikel ini.
Marathon berjarak 42,195 km bukanlah ajang pelariaan yang
bisa dilakoni dengan kebulatan tekad. Hanya bermodal HM sekali lantas
memberanikan diri untuk naik kelas karena “kompor” teman-teman sekomunitas
misalnya.
“Kan sudah pernah 21. Tinggal nambah dikit bisalah sampai 30
km. Sisanya tinggal jalan kaki.” Kira-kira begitu semangat kita dibakar.
Padahal, seperti dikatakan coach Andri Yanto, pelatih lari,
dalam suatu acara Road to Bank Jateng Borobudur Marathon, lari marathon merupakan
proyek jangka panjang. Tentu ini tujuannya untuk bisa finish strong. Atau
guyonan teman-teman, bisa finish congkak!
Tentu saja saran Andri itu untuk kita-kita pelari rekreasi.
Yang sebagian besar waktu habis untuk bekerja di belakang meja. Perlu disadari
pula, msaing-masing dari kita memiliki masa lalu yang berbeda-beda, terutama
saat masa remaja. Ada yang memang suka olahraga dari dulunya. Banyak juga yang
masa remaja buat nongkrong dari satu tempat ke tempat lain.
Tapi, lupakan masa lalu itu. Mari kita berangkat dari titik
yang sama. Baru berlari beberapa kali, dan ingin merasakan virgin FM dengan
kece badai.
Apa yang saya sampaikan di sini berasal dari obrolan tadi.
Berlari marathon harus siap dengan kata disiplin. Bukan
dis(e)lipin ya? Latihan diselipkan di kesibukan kita. Tapi disiplin menjaga
latihan secara berkesinambungan. Ingat, regularity
is more important than intensity. Kata grup sebelah itu.
Target waktu
Bagi pelari baru, jangan sok menetapkan target waktu. Bisa finish sebelum COT saja sudah prestasi. Kalau mau menetapkan target waktu, tetapkan setelah kita menjalani beberapa langkah latihan.
Andri mengatakan, “Jangan menetapkan target di depan, kecuali sudah berpengalaman. Untuk pelari yang tidak terlatih secara kontinyu sebaiknya menetapkan di belakang. Lihat latihan seperti apa, baru dikalkulasi targetnya bagaimana.”
Berbeda dengan pelari yang sudah berpengalaman. Pelari ini sudah memiliki kesiapan tubuh karena sudah terbiasa. Tentunya dengan proses latihan sebelumnya yang sudah berlangsung cukup lama.
Fokus daya tahan
Marathon adalah latihan full endurance. Latihan interval untuk persiapan marathon tidak terlalu penting. Yang diperlukan saat berlari marathon adalah latihan aerobik, atau latihan daya tahan (endurance).
Terdapat dua sistem energi untuk latihan, yaitu anaerobik dan aerobik. Sayangnya kita tidak bisa mencampurkan keduanya dalam satu sesi latihan. Untuk itu pelari disarankan untuk fokus pada latihan dengan dasar sistem energi aerobik, yaitu yang membutuhkan oksigen.
Kenapa?
Latihan aerobik melatih tubuh untuk lebih efisien. Latihan dengan sistem aerobik yang berlangsung lama dan kontinyu membuat otot-otot kita lebih beradaptasi, sehingga mempercepat proses distribusi oksigen ke otot, mengurangi tingkat formasi laktat, meningkatkan pengurangan jumlah laktat, dan meningkatkan produksi energi dan penggunaannya.
Lemak adalah sumber energi utama untuk sistem energi aerobik. Dalam periode ini, tubuh belajar untuk memecah dan menggunakan lemak sebagai sumber energi secara lebih efisien. Nilai tambahnya adalah membantu metabolisme lemak dengan baik paska latihan. Hal ini sangat berguna untuk pelari jarak jauh. Tubuh kita semakin efisien dalam memanfaatkan pemakaian glikogen otot.
Tingkatkan jarak secara bertahap
Dalam suatu program, peningkatan jarak sebaiknya dilakukan secara bertahap. Tidak meloncat-loncat seperti katak. Misal jika jarak mingguan 20 km, jangan sok pede meloncat ke 60 km. Bisa sih, tapi badan bisa jadi remek. Butuh waktu lama buat pemulihan. Peningkatan jarak yang terlalu drastis juga rentan dengan cedera.
Kita intip saja program latihan Hamdan Sayuti untuk ikut Bali Marathon. Ia butuh tiga bulan! Latihan dilakukan setiap hari, pagi dan sore. Jarak mulai dari 12 km hingga 26 km.
Untuk pelari rekreasi tentu butuh waktu lebih lama. Andri Yanto menyarankan waktu ideal menyiapkan lari marathon adalah selama 6 bulan. Peningkatan jarak dilakukan perlahan hingga memiliki total jarak mingguan yang ideal.
Untuk bisa sekadar finish, total jarak mingguan sebanyak 60 km mungkin sudah cukup. Apabila memiliki target waktu tertentu, tentunya memerlukan tingkatan latihan dan jarak yang lebih lagi. Untuk performa yang maksimal, total jarak mingguan pelari rekreasi adalah 100 km. Untuk atlet pro memiliki total jarak mingguan sekitar 200 km ke atas atau 120-140 mil.
Lari jarak jauh
Latihan long-run berkaitan juga dengan latihan daya tahan. Andri Yanto berpendapat bahwa long-run berjarak antara 21 km hingga 27 km. Lebih dari itu maka latihan sudah tidak efisien lagi. Karena masih ada waktu-waktu keesokannya untuk kembali berlatih. Jika tubuh terlalu lelah nantinya sudah tidak ada energi untuk kembali melanjutkan program yang sedang dijalankan.
Setiap pelatih memiliki batasan untuk jarak long-run, tetapi umumnya sekitar 20-30% dari total mileages.
Perhatikan nutrisi
Banyak yang abai soal nutrisi. Padahal, ibarat mesin tubuh perlu bahan bakar yang baik kan? Kalau bisa Pertamx Turbo. Kalau tidak ya Pertalite. Sehabis latihan tubuh perlu asupan nutrisi untuk memperbaiki otot-otot yang rusak.
“Makanan sehat mungkin tidak membuat kita berlari lebih cepat, tetapi dapat menjaga tubuh kita tetap sehat. Dengan memiliki tubuh yang sehat, kita bisa tetap berlari dalam jangka waktu yang panjang,” kata Andri Yanto.
Soal nutrisi ini juga butuh disiplin.
Istirahat, jangan lupa
Tidur adalah komponen penting dalam suatu program. Performa tubuh seorang pelari tidak dapat maksimal jika kekurangan jam tidur. Untuk pekerja kantoran setidaknya memiliki jam tidur malam tidak kurang dari 6 jam. Seorang atlet pro memiliki durasi tidur yang lebih panjang.
Semakin tinggi tingkat kesulitan latihan, maka semakin banyak energi yang terpakai, dan semakin lama proses recovery yang dibutuhkan.
Kira-kira begitu
tahapan yang harus dimulai untuk bisa naik ke level marathon. Lebih baik muntah
saat latihan daripada muntah saat lomba. Mirip yang dikatakan oleh petinju
legendaris, Muhammad Ali. “I hated every minute of training, but I said,
‘Don’t quit. Suffer now and live the rest of your life as a champion.’”
If you want to run, run a mile. If you want to experience a different life, run a marathon. If you want to talk to God, run an ultra. ~ Dean Karnazes, pelari, penulis buku
Waktu tinggal 2.30 jam. Jarak masih 13 km. Secara normal terkejarlah. Dengan pace santai, jarak segitu bisa ditempuh di bawah dua jam. Masalahnya ini kondisi tidak normal. Baik fisik maupun medan jalan.
Setelah mengisi botol air saya pun bergegas meninggalkan Water Station/WS 7 (Warung Sunda Manglayang Cisarua) menuju WS 8 (Melrimba Garden). Tempat finish etape saya sebagai pelari pertama Relay 2 BNI ITB Ultramarathon 200K.
Waktu sudah lewat pukul 12.00. Hari Sabtu. Jika dihitung
dari start lari di BNI Pusat Jalan Jenderal Sudirman Jakarta Selatan pada Jumat
11 Oktober 2019 pukul 22.00, berarti sudah lebih dari 14 jam aku berlari.
Jaraknya sudah hampir 80 km.
Lari terjauh yang saya lakukan selama ini. Bukan jarak dan
waktu yang menjadi masalah. Tapi cedera yang mendera dengkul kiri sisi luar.
Terasa nyeri setiap menapak. Cedera muncul selepas dari Check Point 1 atau WS 4
di Robinson Cibinong. Dari titik start sekitar 45 km jaraknya.
Saya mencoba menyamankan gaya berlari. Juga tidak memaksa
untuk berlari terus. Begitu terasa nyeri saya pun berjalan kaki.
Tantangan panas dan jalan menanjak membikin goyah hati. Apalagi melihat beberapa peserta “diangkut” tim supportnya atau membonceng motor dengan berhelm “Grab”. Saya pun selalu memantau jam tangan. Setiap bergetar (yang menandakan sudah lewat 1 km) saya langsung melihat catatan pace di jam saya. Jika 11 lebih berarti saya harus memaksa untuk berlari. Tanjakan hanyalah persepsi.
Begitulah, memasuki kawasan kebun teh hati sedikit dingin.
Bukan karena waktu pasti aman. Emang cuacanya dingin. Kendaraan juga sudah
lebih lega. Saya kemudian selalu menjaga pace di bawah 10. Asumsi saya, dengan
bisa menjaga pace di bawah 10, untuk jarak 13 km tadi berarti 130 menit. Atau 2
jam 10 menit. Ada sisa 15 menit untuk istirahat. Lima menit sisanya untuk
jaga-jaga karena belum tentu jam saya sesuai dengan jam panitia.
***
Melihat ada peserta di depan saya bersemangat untuk mengejar
dan siapa tahu bisa menjadi kawan lari. Kawan jalan tepatnya sih. Eh, ketika
hampir kesusul, ternyata mereka bertiga melipir ke cangkruk di pinggir kebun
teh itu.
“Semangat Pak!” begitu mereka kompak berteriak melihat aku
masih tertatih berlari.
Waduh, dik … dik. Sampeyan tak oyak ben duwe kanca jebul
malah mandek. Untung demotivasi tak menjalari otakku. Kalau badan sudah dari
Pasar Cisarua mengalami demotivasi.
Melihat paralayang melayang menjadi hiburan. Setidaknya ada
yang bisa dilihat di atas. Melupakan tanjakan berkelak-kelok. Beberapa
pengendara motor atau penumpang mobil selalu berteriak “Semangat …” sambil
mengacungkan jempol.
Saya hanya membalas dengan senyum. Entah kecut apa manis.
Tapi saya berterima kasih atas teriakan mereka. Tanpa sadar kubah Masjid Atta’awun
terlihat di kejauhan. Ah … sudah dekat. Saya kembali melirik jam. Masih tetap
berkejaran dengan binatang bernama pace. Untung bukan buah.
Saya pun berdoa, memohon supaya diberi kesempatan untuk
menyelesaikan lomba ini sebelum waktunya. Lantas teringat dengan kalimat dari
Dean Karnazes tadi. Aku mulai banyak berdialog dengan Tuhan.
Terbayang pula wajah-wajah donatur yang sudah menyumbang
buat masa depan mahasiswa-mahasiswa yang tidak beruntung. Masak mengecewakan
mereka?
Menjelang Riung Gunung, dari kejauhan saya melihat orang
berpakaian merah menyala jalan turun. Ketika bertemu dengan seorang peserta di
depan saya, orang itu berhenti dan bercakap-cakap. Wah, ada apa gerangan?
Ketika orang itu semakin mendekat saya baru lihat wajahnya
dengan jelas. Woalah … jebul AC/DC. Langsung aku pasang muka serius sambil
jalan melebar. Saat hampir berpapasan,
saya pun berlari-lari kecil.
Akhirnya, melihat Sign KM 90 membuat semangatku
menyala-nyala. Jika semenjak Cibinong tak berfoto-foto, kali ini aku rela
melewatkan dua – tiga menit untuk berswafoto. Setidaknya menjadi bukti sudah
melewati kilometer terakhir sebelum CP 2 di Melrimba yang berjarak sekitar 93
km dari titik start.
Masih dengan kombinasi lari jalan lari, Masjid Atta’awun
terlewati. Mulailah rute cacing kepanasan jika melihat di GMaps. Pertanda
elevasi naik terjal. Tapi, kok setelah melewati dua kelokan Melrimba tidak
terlihat. Seingatku, saat gowes ke Mang Ade di dekat perbatasan Bogor –
Cianjur, Melrimba tak begitu jauh dari masjid ini.
Penasaran saya tanya ke Akang-akang Villa.
“Melrimba masih jauh ya?”
“Sekitar 10 kilo lagi,” jawabnya.
Makk…. Langsung keluarkan ponsel dan cek di GMaps. Ternyata
tinggal sekiloan. Apa tadi aku salah dengar? Tapi sepuluh dan sekilo kan
terdengarny beda sekali.
Nah, lalu di kejauhan saya melihat ada peserta pakai kaos
la88ler, lapan-lapan lelarian. Saya pun semangat mengejar biar bisa finish
bareng. Melihat jam masih cukup untuk tak terlindas COT.
“Eh, bang Latif. Ayo finish bareng,” sapaku. Bang Latif agak
terkejut melihat kedatanganku. Belum sempat ngobrol, seorang panitia mendatangi
kami bertanya relay berapa. Ketika aku menjawab Relay 2, ia bilang waktu
tinggal lima menit lagi.
The power of “kepepet” pun langsung membuatku bisa “sprint”
di sekitaran 300 m sebelum Melrimba. Aulia pasangan relay saya pun terlihat di
depan gerbang Melrimba. (Ketika aku cek di Strava setelah lomba usai, ternyata
pace terakhir ini berada di angka 6:18. Kebetulan jarak ini sudah lewat dari
kilometer 93.)
Melihat papan timing, aku pun bersyukur bahwa bisa menyelesaikan etape pertama kategori Relay 2 BNI ITB Ultramarathon 200 K di bawah batasan waktu. Jadi teringat dengan lomba trail run di Gunung Merapi beberapa tahun silam.
***
BNI ITB Ultramarathon ini merupakan kali kedua aku ikut.
Secara kebetulan pula kalau merunut tahun lalu. Tiba-tiba saja saya memperoleh
kesempatan ikut di Relay 8 (tahun lalu 170 km jaraknya) karena ada peserta yang
batal. Waktu itu saya mendapat giliran di CP3 Masjid Rajamandala, Citatah.
Ketika masa pendaftaran BNI ITB UM 200K 2019 dibuka, Aulia
mengajak ikut Relay 2. Degh … 100K? Batinku. Lari terjauhku paling FM. Pernah 70K
tapi sudah lama sekali. Aku pun sudah seperti kapok dengan long run. Ingin menikmati
lari dalam sekelebat saja.
Tapi entahlah, kok rasa penasaran justru mengelitik benak. Ingin
mengetahui sampai mana batas tubuh kurusku ini bisa berdiri di atas kaki sampai
jarak dan waktu yang ditentukan.
Setelah mantap, akhirnya mulai mencari-cari pola latihan
untuk bisa menembus finish strong 100K. Ketemu yang sederhana: mileage seminggu
minimal 100 km serta long run sekitar 70 km.
Hanya saja, apa yang sederhana tak jarang menjadi kompleks
manakala kita diribetkan oleh hal-hal di luar kewajaran. Termasuk beban
pekerjaan. Tak melulu di kantor kan yang namanya pekerjaan itu?
Jadilah latihan yang sudah sederhana tadi gak terpenuhi. Padahal
saya sudah berusaha sekuat hati. Kalau tenaga sudah pasrah saja sih. Termasuk mengganti
bike to work dengan run to work. Lumayan, 20 km. Kalau pp kan sudah 40 km. seminggu
tiga kali saja sudah terpenuhi mileage mingguan. Tinggal long run-nya saja.
Kenyataannya? Ada saja gangguan untuk run to home. Mileage seminggu
paling tinggi 70-an km. Long run terjauh setara FM.
Belum lagi tabungan tidur yang sangat kurang. Seminggu sebelum
lomba masih saja tidur seperti biasa. Malah kadang berkurang. Pas hari H lomba,
siang harinya mencoba tidur. Lumayan bisa dapat 2 jam. Tapi gak biasa tidur
siang malah jadi pusing pas bangun.
Dan inilah yang aku alami. Ngantuk berat selepas WS1 di bawah
jalan layang non tol Antasari. Maklum, sudah jam 11 malam lebih. Waktu tidur di
hari-hari normal. Di WS 2 Taman Tanjung Pasar Minggu mau rebahan ternyata
enggak ada tempat. Jadinya ditahan sampai WS 3 di BNI Cimanggis. Melihat ada
tikar ngaanggur, saya minta izin yang duduk tak jauh di situ.
“Oh, saya juga numpang kok Mas,” katanya.
Ya sudah, set timer 15 menit dan langsung rebahan. Sempat terlelap
beberapa menit sebelum timer menyalak-nyalak. Oke… mari kita lanjutkan.
Sempat tidur lagi di WS 4 sekaligus CP 1. Sebelumnya saya
sempat fisio. Lumayan untuk meredakan kaki yang tegang menerjang separo malam.
Selepas CP 1 di Robinson tadi rasa kantuk sudah hilang.
Soalnya hari sudah terang tanah. Kebangeten kalau masih ngantuk. Tapi ya datang
masalah lain. Sisi luar dengkul kiri nyeri. Inikah batas tubuhku?
Cerita selanjutnya adalah “berdialog dengan Tuhan” lewat rapalan jalan-lari-jalan-lari-jalan-lari …. (teruskan sendiri sampai Melrimba Garden, Puncak).
* terima kasih buat teman2 komunitas la88ler atas semua usaha hingga aku bisa ikut lari lagi.
** juga buat donator… jangan kapok berdonasi, sebab saya juga tidak kapok berlari.