gussur.com – Baduy Dalam merupakan salah satu suku di Jawa yang belum terpengaruh modernisasi dan masih memiliki tradisi serta adat khas yang hampir sepenuhnya terasing dari dunia luar. Suku ini tinggal di kawasan Pegunungan Kendeng, Kab Lebak, Banten. Tempat ini bisa menjadi tempat menyepi karena di sini tidak ada listrik, tidak boleh menggunakan alat elektronik, dan banyak pantangan lain yang umumnya sudah biasa dilakukan di dunia luar. Beberapa alasan itulah yang membawaku ke Baduy Dalam di awal tahun 2024.
Sebenarnya, sekitar 5 tahun silam aku sudah pernah ke Baduy Dalam. Khususnya Kampung Cibeo. (Baduy Dalam sendiri memiliki tiga kampung: Cikeusik, Cibeo, dan Cikertawana). Lewat Cijahe yang relatif lebih cepat dan jalurnya dominan datar. Hanya waktu itu tidak menginap. Sementara ke Baduy Luar pernah juga lewat pintu masuk yang populer: Ciboleger. Di sini menginap semalam.
Waktu pertama ke Baduy Dalam itu keluar masuk lewat pintu Cijahe. Jalurnya tanah dan relatif datar. Sehingga masuk pagi sekitar pukul 09.00, sore hari sudah keluar lagi. Begitu terkesannya dengan kehidupan masyarakat sini, keinginan untuk kembali selalu menyelinap di hati. Makanya, ketika ada ajakan untuk menginap ke Baduy Dalam, aku bungah sungguh.
Awalnya direncanakan tanggal 16 – 18 Januari 2024. Menginap semalam di Baduy Dalam, dan semalam lagi di Baduy Luar. Masuk dari Cijahe dan keluar di Ciboleger. Apa daya, pada tanggal itu Baduy Dalam sudah memasuki bulan Kawalu, yang menutup diri dari orang luar selama tiga bulan. Ada prosesi dan puasa yang hanya diikuti oleh orang Baduy Dalam. Karena menunggu tiga bulan terlalu lama, dan mungkin durian sudah habis, kami pun menyegerakan perjalanan itu. Ketemu tanggal 11-12 Januari 2024. Cuma semalam menginap di Baduy Dalam. Gerak cepat pun dilakukan, termasuk memesan transportasi antar-jemput Stasiun Rangkasbitung – Terminal Ciboleger dan Terminal Cijahe – Stasiun Rangkasbitung.
***
Kami, aku-Joy-Mas Nug-Om Yupa, bertemu di Stasiun Rangkasbitung. Aku nyampe terakhir di Stasiun Rangkasbitung. Joy dan Mas Nug yang rumahnya berdekatan berangkat dari Stasiun Jurangmangu. Om Yupa yang berangkat kepagian dari Stasiun Palmerah pun turun di Stasiun Jurangmangu dan bergabung dengan Joy dan Mas Nug. Sementara, aku yang dari awal pesimis bisa berangkat pagi, naik kereta jadwal berikutnya.
Meski berjarak sekitar 105 km, Stasiun Rangkasbitung masih tercakup dalam jaringan kereta komuter Jakarta. Dari Stasiun Tanahabang sebagai titik awal sampai Stasiun Rangkasbitung sebagai titik akhir, melewati 17 stasiun antara hanya mengeluarkan uang Rp6.000. Lama perjalanan 1 jam 49 menit. Jarak antar kereta sekitar 30 menit sehingga tidak perlu khawatir tertinggal terlalu lama.
Usai sarapan di warung legendaris di Rangkasbitung, RM Ramayana dengan menu sop dan sate, kami pun beranjak menuju Terminal Ciboleger.
“Lewat sini saja ya. Jalan pintas,” kata Isra, sopir Elf yang membawa kami ke Terminal Ciboleger. Kami mengiyakan saja.
Agak-agak lupa dengan jalur angkot, namun jalur alternatif ini lebih sempit dan banyak rollingnya. Awal masuk dapat jalan rusak. Kemudian mulus beberapa saat, sebelum akhirnya terguncang-guncang lagi akibat jalan aspal yang mulus kala Hayam Wuruk berkuasa saja. (Ini guyon teman-teman kalau nyebut jalan aspal yang berlubang di sana-sini. Pasti pernah mulus terus dibiarkan saja sampai kemudian berlubang di sana-sini.)
Di beberapa ruas sedang dilakukan betonisasi, sehingga diberlakukan sistem buka tutup. Namun karena kami pergi di hari kerja, kondisi lalu lintas tidak begitu ramai.
“Wah dibeton untuk meraih suara nih,” celetuk salah satu dari kami. Pemilu yang tinggal menghitung hari memang menjadi bahan obrolan menarik di masyarakat saat-saat ini.
Meski terguncang-guncang, aku masih bisa terlelap beberapa jeda. Semalam memang kurang tidur. Sekitar 2,5 jam kami pun sampai di Terminal Ciboleger. Tempat ini belakangan menjadi titik panas bagi goweser atau penjelajah sebagai titik awal untuk meresapi kehidupan masyarakat Baduy, utamanya Baduy Luar. Ya, hanya melangkah beberapa depa saja kita sudah memasuki dunia Baduy Luar. Kita bisa lebih meresapi lagi dengan menginap di salah satu rumah penduduk.
Di Terminal Ciboleger inilah kami kemudian bertemu dengan Sapri, penduduk Baduy Dalam yang akan mengantar kami ke rumahnya. Dia ditemani adiknya. Karena masih belum lapar akibat sarapan yang kesiangan di RM Ramayana tadi, kami akhirnya membungkus saja di warung tempat Sapri menunggu. Nantinya akan kami buka di tengah perjalanan ketika perut sudah mulai menunjukkan tanda-tanda lapar.
Siang itu, dalam gerimis hujan yang awet, kami memulai perjalanan ke Baduy Dalam. Mencari keheningan yang hakiki. Melepaskan diri dari hiruk pikuk dunia modern (aka digitalisme).
Selepas membayar tiket masuk sebesar Rp5.000 per orang, kami pun masuk ke kawasan Baduy Luar. Jalan berbatu masih basah oleh gerimis. Di kanan kiri berjajar warung sekaligus rumah. Menjajakan kerajinan khas Baduy, utamanya tenun. Di beranda beberapa perempuan Baduy menenun. Kita bisa bertanya-tanya soal proses menenun itu yang masih menggunakan alat tenun bukan mesin.
Yang khas di setiap pergantian dan awal tahun adalah buah durian. Belakangan Baduy menjadi sumber pasokan durian di Jakarta dan sekitar. Ketika musim durian tiba, kita terbiasa melihat hilir mudik orang Baduy menggotong pikulan berisi durian untuk dibawa ke Terminal Ciboleger. Dari sini kemudian durian-durian itu melalangbuana ke Jakarta dan sekitar. Belum dalam skala besar, namun mobilitas sporadis itu sudah tampak.
“Kita ambil jalan pintas saja,” kata Sapri ketika di sebuah pertigaan aku ambil jalan ke kanan yang cenderung rata. Aku ingat ini jalan menuju ke rumah yang dulu aku pernah menginap di Baduy Luar. Jalan memintas itu belok kiri naik! Setelah menyusuri jalan ini kami tiba di sebuah perkampungan.
“Ini kampung baru,” jelas Sapri. Berbeda dengan Baduy Dalam yang tak bisa menambah kampung, Baduy Luar diperbolehkan membuka kampung baru. Sejauh ini setidaknya ada sekitar 50 kampung Baduy Luar. Sementara Baduy Dalam hanya ada tiga, seperti yang disebut tadi. Cikeusik, Cibeo, dan Cikertawana.
Melintasi beberapa jembatan sampai kemudian tiba di Jembatan Gajeboh. Di sinilah dulu titik terakhir aku jalan-jalan saat menginap di Baduy Luar. Jembatan bambu yang melintasi S Ciujung itu begitu ikonik. Mirip dengan jembatan akar yang melintasi S Cisemet.
Dulu waktu di jembatan Gajeboh ini dibilang Baduy Dalam tidak jauh lagi. Ternyata setelah melewatinya kemarin, konsep tidak jauh lagi itu memang perlu ditelaah lagi. Terutama siapa yang bilang. Waktu itu yang bilang orang Baduy Luar.
Setelah kemarin melaluinya baru paham seberapa dekat itu versi akamsi. Ternyata jalurnya masih mendaki permanen dan ketemu beberapa kampung lagi. Sama seperti di kampung-kampung lain, di sini beberapa perempuan mengerjakan tenunan dengan alat tenun bukan mesin. Di kampung kedua setelah jembatan Gajeboh kami berhenti di sebuah warung. Membuka bekal yang kami bawa.
“Itu yang ada rumpun bambu, itu batas hutan lindung. Di bawahnya kampung Sapri,” tunjuk Sapri ke kejauhan. Sore masih menampakkan terangnya meski mendung masih juga menggayut. Di kejauhan sana itu kami akan berlabuh. Mengantisipasi datangnya gelap, kami mulai membuka peralatan penerangan.
Jalanan mulai didominasi jalan setapak tanah. Tidak seperti sebelumnya yang diperkeras dengan bebatuan. Untung gerimis sudah berhenti. Sebab jika masih turun akan menyulitkan langkahku. Memakai sendal Pyopp Fledge ini memang nyaman ketika jalan kering atau kalau basah di aspal atau bebatuan. Ketika tanah naik ke permukaan sendal, yang ada harus ekstra perhatian sebab menjadi licin.
Di sebuah pertigaan kami berbelok ke kiri.
“Kalau lurus ke Cijahe. Tadi Sapri sama Doni lewat jalan ini pas Pak Agus bilang sudah berangkat menuju ke Ciboleger,” kata Sapri. Bagi Sapri dan masyarakat Baduy jalan kaki berkilo-kilo jauhnya bukan masalah. Apalagi bagi Sapri yang memang tidak diperbolehkan menggunakan kendaraan dalam mobilitasnya.
Dari pertigaan tadi jalanan menurun. Selepas melewati sebuah jembatan kecil, Sapri memetik beberapa pucuk daun pakis. Untuk disayur, katanya. Namun tak sembarang pakis. Sebab ada yang tidak enak disayur. Bukan karena beracun, tapi terlalu keras daunnya.
Akhirnya kami sampai di jembatan pemisah Baduy Dalam dan Baduy Luar. Segera kami berfoto-foto berlatar belakang jembatan yang melintasi S Ciujung sebelum tidak bisa memotret di Baduy Dalam.
“Ini tanjakan terakhir yang saya bilang tadi,” kata Sapri. Sebelumnya kami membahas soal tanjakan panjang selepas jembatan Gajeboh. Sapri bilang di depan masih ada tanjakan yang lebih terjal. Dan memang tanjakannya terjal dan tanah. Kanan kiri ladang yang saat itu ditanami padi. Di atasnya terhampar beberapa jaring. Beberapa kelelawar tersangkut, membusuk, dan bahkan ada yang sudah tinggal tulang belulangnya.
Tak jauh dari akhir tanjakan kami mampir ke rumah ladang adiknya Sapri. “Sambil nunggu yang di belakang,” kata Sapri sambil bergegas meninggalkan aku dan Joy. (Mas Nug, Om Yupa, dan Doni masih tercecer di belakang.) Ketika kembali menemui kami, di tangan Sapri terlihat beberapa bunga kecombrang.
Karena Mas Nug dan Om Yupa belum kelihatan juga, kami pun melanjutkan perjalanan. Tinggal sebentar lagi kata Sapri. Memang, tak seberapa kemudian kami sudah memasuki perkampungan. Beberapa perempuan Baduy terlihat seperti pulang dari ladang. Ada yang menggendong anak mereka. Ada pula yang berjalan bersama anak mereka yang sudah bisa berjalan kaki.
Terus terang, saya takjub dengan gerakan kaki-kaki mungil itu. Tanpa alasa kaki, kaki mereka lincah bergerak di antara bebatuan. Ketika menyeberang jembatan kecil dari bambu, tanpa ragu mereka melangkah. Tak ada ketakutan jika semisal terpeleset. Alam telah mengajarkan banyak hal sehingga mereka bisa menyatu.
Kami menyalip beberapa perempuan itu, yang ternyata salah satunya masih kerabat Sapri.
Akhirnya kami tiba di rumah Sapri, tempat kami akan menginap, sebelum gelap. Setelah beres-beres barang, aku minta diantar ke sungai untuk mandi.
“Mau di pancuran atau di sungai?” tanya Sapri.
Setelah ditunjukkan mana pancuran dan mana sungai, aku memilih pancuran. Pancuran ini letaknya tak jauh dari sungai. Ada pancuran dari anak sungai dan jatuh di semacam bak kayu. Sebagai gayungnya adalah separo batok kelapa.
Ketika selesai dan mau kembali ke rumah Sapri, Sapri bertanya mau menunggu dia yang mau mandi atau kembali sendirian? Aku merasa pede dan ingat jalan ke rumah Sapri makanya memilih pulang sendiri. Tak tahunya, kebingungan saat mau masuk gang ke rumah Sapri. Sudah agak gelap dan semua rumah mirip. Akhirnya mencari-cari sebelum dipanggil oleh Sapri yang sudah duluan tiba!
***
Tak seberapa lama Om Yupa dan Mas Nug sampai. Setelah mereka berdua mandi dalam kegelapan hari, akhirnya kami semua ngariung di ruang keluarga rumah orangtuanya Sapri. Datang juga adik-adiknya Sapri. Sebagaimana rumah Baduy, rumah orangtua Sapri adalah rumah panggung. Terbuat dari kayu tanpa menggunakan paku dan beratap daun rumbia.
Ketika semua sudah selesai mandi dan ngariung di ruang tengah, makanan pun mulai disiapkan.
“Mau duren dulu?” kata Bapaknya Sapri, yang langsung dijawab serempak, “Mau ….” Salah satu tujuan kami ke Baduy memang berburu duren.
Berbiji-biji duren terbelah, dan sekejap daging buahnya masuk ke mulut-mulut kami. Duren lokal Baduy ini bijinya besar. Warna buah dagingnya dominan putih. Beda dengan montong yang kuning dan biji kecil. Tak lupa aku, Mas Nug, dan Joy menyodorkan kotak kemasan untuk membawa pulang sebagian duren.
Setelah puas makan duren kami pun melanjutkan makan malam. Di momen inilah kami merasakan nasi dari padi lokal yang katanya (sebagian) sudah disimpan puluhan tahun. Benar-benar nasi organik karena penanaman padinya tidak menggunakan pestisida. Air yang digunakan pun dari sumber mata air yang terjaga kemurniannya. Di Baduy Dalam kita tidak boleh mandi menggunakan sabun, sampo, dan semacamnya.
“Ini daun pakis tadi?” tanya kami ke Sapri.
“Iya.”
Siapa nyana pucuk tanaman liar dari hutan itu begitu lezat di mulut. Padahal bumbu yang dipakai minimalis banget. Hanya kecombrang, garam, dan bawang. Sebagai teman lauk ada pete dan kencur. Iya, kencur! Ternyata enak juga kencur “dikletus” sembari menyuap nasi.
Oya, di Baduy Dalam juga tidak ada perabotan modern. Makan menggunakan alas daun makata (?). Mangkok terbuat dari kayu yang dicongkel-congkel tanpa pahat, namun begitu halus dan presisi antarsisi. Gelas menggunakan ruas bambu. Sendok sayur dan nasi berbahan dasar kayu.
Usai makan kami pun ngobrol ngalor-ngidul. Dari soal budaya sampai politik.
Karena sudah mengantuk berat, aku tak ikut sampai selesai. Langsung menarik sarung dan tidur. Sekitar jam 2 dini hari perasan ingin kencing muncul dan spontan aku bangun. Namun kaget sebab kondisi sekitar gelap gulita. Di luar terdengar suara gerimis. Sapri sebelumnya sudah bilang kalau pingin kencing di samping rumah enggak apa-apa. Tapi kondisi gelap dan gerimis membuatku urung. Rela menahan rasa kencing sampai esuk hari.
Tidur dengan lampu minyak mengingatkan masa-masa kecil di kampung sebelum program Listrik Masuk Desa menerangi desa kami. Namun saat itu ketika tidur, orangtua tidak mematikan semua lampu. Hanya saja lampu besar (teplok) diganti lampu kecil (sentir). Jadi remang cahaya masih ada menerangi kamar kami.
Paginya sekitar pukul 05.00, aku memberanikan diri untuk kencing di luar. Selain itu keluarga Sapri juga sudah melakukan aktivitas pagi mereka. Di luar masih gelap. Gerimis tinggal rintiknya saja.
***
Rutinitas pagiku, buang hajat, kulakukan sembari mengingat (lagi) masa kecil. Ya, apalagi kalau bukan pup di kali. Kali ini aku ditunjukkan lokasi yang berbeda dari kemarin sore.
“Dari sini belok kiri, lurus aja. Nanti ketemu jembatan. Ambil jalan kiri turun ke sungai. Terus belok kiri, di situ ada batu besar. Nah buang hajat bisa di balik batu itu,” kata Ajja adik Sapri.
Meski gerimis mulai membesar aku menerobosnya, dengan berlindung di bawah mantol kresek murah meriah. Soal ini tidak bisa ditahan-tahan sebab kalau jebol bisa berabe. Beda sama buang air kecil.
Sesuai petunjuk, aku langsung menemukan batu besar itu dan mulai jongkok menghadap ke arah jembatan. Pagi itu tinggal beberapa orang saja hilir mudik lewat jembatan. Sudah terlalu siang untuk ke ladang.
Ketika limbah perut itu mulai keluar perlahan, reflek aku menoleh. Tindakan yang hampir kami lakukan kala masa kecil waktu buang hajat ramai-ramai di kali. Bahkan sampai ada lomba siapa yang paling panjang tanpa putus tainya, dia yang menang. Meski sering tanpa ada hadiahnya, tapi yang menang sudah senang.
Kami pun memandangi tai kami masing-masing sampai hilang ditelan aliran air kali. Begitu juga pagi itu, aku menoleh sampai hasil hajatan itu hilang dari pandangan mata.
Aku tidak mandi pagi itu. Karena tidak tahu di mana pancuran di lokasi ini. Habis buang air besar langsung balik ke rumah Sapri. Kali ini tanpa nyasar.
Hanya semalam kami menginap di Baduy Dalam. Jadi setelah makan pagi dan beberes barang, kami pun pamit pulang. Kali ini tidak lewat jalur kemarin, namun menuju Terminal Cijahe yang tidak terlalu jauh.
Sayangnya, meski dekat jaraknya namun jalannya dominan tanah. Tak ada pengerasan dengan batu selayaknya jalur Ciboleger – Baduy Dalam. Sementara hujan semalam masih menyisakan genangan air di banyak ruas jalan. Jadilah aku agak kerepotan ketika sendal sudah membawa lapisan tanah baik di solnya maupun di permukaan bagian atas. Licin dan bertambah berat. Terkadang jadi seperti terkena lem sehingga sendal susah diangkat.
Sempat terpeleset cukup jauh, untung masih bisa menjaga keseimbangan sehingga tidak sampai terjatuh.
Kontur jalur Cijahe ini sangat ramah buat pemula. Lebih banyak datarnya. Memang kalau musim hujan becek tapi tak seberapa sulit. Melewati banyak ladang yang sedang ditanami padi dan kencur sebagai tumpang sarinya. Ada juga yang ditumpangsarikan dengan pohon pisang.
Setelah melewati jembatan yang melintasi S Ciujung, kami pun keluar dari kawasan Baduy Dalam. Boleh kembali memotret. Makanya, ketika melewati perkampungan Baduy Luar dan melihat lesung panjang kami pun berhenti berfoto-foto.
“Wah, belum pernah lihat lesung sepanjang ini. Kalau pendek namanya lesung pipit,” kata Om Yupa yang segera mengeluarkan ponselnya.
Selepas perkampungan itu tak lama kemudian kami pun sampai di Terminal Cijahe. Agak kaget aku melihat kondisi terminal yang makin ramai. Dulu masih sepi dan tidak terlalu luas.
Dibandingkan dengan jalur Ciboleger, jalur Cijahe hanya sekitar sepertiga jaraknya dan medannya sangat ramah.
(Foto-foto: Om Yupa/Gsr)










Jalur yang kami lalui: