gussur.com – Waktu kecil, pada bulan-bulan tertentu kami umat separoki melakukan ziarah ke Gua Maria Sendangsono di kawasan Perbukitan Menoreh Kulonprogo. Yang aku ingat, dari pelataran gereja, perjalanan dimulai dengan berjalan kaki dan berhenti di relief yang menggambarkan kisah sengsara Yesus. Prosesi yang dikenal dengan jalan salib ini akan berakhir di sebuah gua yang berisi patung Bunda Maria, di bawah kerindangan pohon sono. Tak jauh dari sini ada mata air yang selalu mengucurkan air dan ditampung dalam sebuah sendang.
Jalan dari gereja ke gua itu cukup melelahkan bagi banyak umat. Jaraknya tak terlalu jauh sebenarnya, sekitar 1 km aku pikir. Di kemudian hari ternyata jalur ini kian sepi karena akses ke dekat Gua Maria semakin bagus. Bahkan kita bisa memarkirkan kendaraan tak jauh dari gua tadi. Tinggal jalan kaki sebentar dan sampai di depan patung Bunda Maria.
Pengalaman berjalan kaki menuju Gua Maria di masa kecil itu masih hidup dalam benakku. Terkadang ketika tidak sabar, aku dan beberapa teman tidak lagi ikut rombongan. Namun ikut rombongan lain yang sudah berada di depan. Dengan begitu bisa cepat sampai di Sendang.
Kenangan itu bangkit kembali ketika seorang teman mengajak ikut Napak Jero. Kali ini jaraknya lebih jauh. Sekitar 90 km. Dilakukan dalam tiga hari. Hmmm … boleh juga, pikirku. Teman itu juga kirim brosur lengkap tentang kegiatan ini.

Jalan kaki setiap hari antara 20 – 30 km tentu bukan hal susah bagiku yang sudah menjalani aktivitas luar ruang lebih dari itu. Apalagi saat ini aku juga sedang mempersiapkan diri untuk lari amal sejauh 150 km dari Semarang ke Yogyakarta. Ada perasaan menganggap mudah jalan kaki.
Namun semesta mempunyai banyak cara untuk mengajarkan manusia agar tetap rendah hati. Di hari pertama, dengan jarak sekitar 22 km ternyata aku mengalami blister atau kaki (tepatnya di salah satu jari kaki bagian bawah) melepuh.
Mencari pembenaran adalah salah satu sifat manusia. Itu sempat aku lakukan. Meski jauh-jauh hari sudah ditetapkan jadwal Napak Jero, dan aku sudah mempersiapkan segalanya, tapi di jam-jam sebelum aku berangkat ternyata ada pekerjaan mendadak yang harus kuselesaikan. Tepat ketika harus segera meninggalkan rumah, beberapa barang yang sudah aku pak justru terlupakan.
***

Napak Jero diselenggarakan oleh Institut Karmel Indonesia yang berpusat di Batu Malang. Start dari Novisiat Biara Karmel di Batu Malang dan berakhir di Gua Maria Sendang Purwaningsing Donomulyo Kabupaten Malang. Kalau di peta, Batu ada di atas dan Donomulyo di bagian bawah. Sementara Kota Malang ada di tengah sebelah kanan. Jadi perjalanan akan menuju ke Selatan melewati lereng G Kawi yang terkenal dengan tempat ngalap berkah.
Kegiatan berjalan kaki ke suatu tempat berhari-hari ini sebenarnya menjadi bagian dari tradisi para biarawan dan frater Ordo Karmel. Kemudian beberapa awam tertarik ikut dan akhirnya dibikinlah Napak Jero. Dari tiga kali penyelenggaraan Napak Jero, titik awal selalu di Biara Karmel Batu Malang. Titik akhir saja yang berbeda-beda. Pertama, 2019, titik akhirnya di Gua Maria Puhsarang Kediri; kedua (2022) di Rumah Doa Syanti Argo Nongkojajar Pasuruan, dan kali ini (2023) di Gua Maria Sendang Purwaningsih Donomulyo. Ada jeda dua tahun karena adanya pandemi Covid-19 yang melarang kegiatan beramai-ramai.
Dalam penjelasannya, Romo Andik yang menjadi “panitia” mengatakan bahwa Napak Jero itu artinya melangkah yang dalam. Napak = melangkah, Jero = dalam. Bagaimana memaknai melangkah yang dalam itu sangat personal. Satu peserta dengan peserta lain bisa berbeda makna. Intinya ini adalah peziarahan melalui jalan sakit. Rasa sakit ini bisa begitu terasa mendalam sehingga tapak yang kita lakukan akan selalu terpatri di benak. Kira-kira begitu pengertian yang aku serap.
Aku sendiri saat ditanya motivasi ikut Napak Jero adalah mencari pencerahan karena setelah terkena lay-off perusahaan masih belum menemukan langkah apa yang harus aku lakukan.

Setelah semua berkumpul di Pusat Ordo Karmel Indonesia Jalan Talang 3 Malang, kami dibawa ke Biara Karmel Batu menggunakan tiga Elf.
Aku kebanyakan tidur sepanjang perjalanan sehingga tidak tahu arahnya ke mana. Tahu-tahu kendaraan sudah masuk ke Biara Karmel Batu.
(Tapi entah mengapa, sejak pertama kali datang sampai kemudian berjalan kaki meninggalkan Biara Karmel ini, otakku mengirim sinyal ke tubuh bahwa aku sedang berada di Lembang. Kebetulan di sana juga ada Pertapaan Karmel.)
Malam itu kami berkenalan, saling berbagi motivasi ikut Napak Jero. Lalu dapat kesempatan langka, makan di ruang makan biarawan. Beberapa biarawan ikut bersama makan dengan kami. Salah satunya sempat ngobrol lama denganku. Menarik juga mendengar ceritanya tentang panggilan imamat yang dijalaninya. Berasal dari Jakarta, dapat panggilan sejak SMA, namun harus meredamnya karena orangtua menyuruhnya untuk kuliah dan bekerja dulu. Namun yang namanya panggilan, tinggal menunggu waktu saja. Setelah enam bulan bekerja akhirnya ia kini menapaki tahun kedua menjawab panggilannya itu.
Keasyikan ngobrol membuatku telat ikut misa di kapel biara.
***

Sekitar jam 3 pagi kami sudah bangun dan bersiap-siap. Aku tidak mandi, hanya melakukan ritual pagi. Semalam sudah mandi dan pagi ini akan mulai jalan kaki. Toh berkeringat nantinya. Setelah semua siap, kami melakukan pemanasan biar kaki dan tubuh tidak kaget sewaktu diajak ber-NapakJero.
Ketika ayam jantan sedang mempersiapkan nada kokoknya, kami ber-30-an orang meninggalkan Biara Karmel menuju Kolumbarium dan Rumah Doa di Paranti Jati. Menembus malam yang sudah di ujung kariernya, pikiranku masih terpaku juga dengan Lembang. Padahal ini di Batu.
Hari pertama dengan semangat yang masih anget. Secara posisi Batu di atas dibandingkan titik finish di Kolumbarium dan Taman Doa Karmel, Paranti Jati. Akan tetapi, seperti hidup yang tak selalu bisa diperkirakan konturnya, rute hari pertama pun naik turun. Bahkan belum lama menghirup udara subuh, kami sudah disuguhi tanjakan menuju Jalan Lingkar Batu. Beruntung masih gelap dan penerangan jalan minim sehingga kemiringan tanjakan tak tampak.
Sempat tersasar, tepatnya mencari jalur karena lintasan di peta ternyata berbeda di lapangan. Sudah ada bangunan menutupi jalur yang harus dilalui. Terpaksa memutar dan kembali ke jalur yang semestinya. Memasuki perkebunan dan jalan setapak yang membuat Napak Jero memperoleh rohnya. Sepi. Kontemplasi. Sampai dimanakah diri ini menyusuri hidup?
Yang membekas di rute hari pertama ini adalah kebun jeruk. Ternyata kami melintasi Desa Wisata Petik Jeruk Selorejo. Hanya saja, aku perhatikan tidak ada yang jaga. Padahal ranum buah jeruk sangat menggoda di pagi menjelang siang itu. Beberapa jeruk jatuh ke tanah tanpa daya.
Ujung dari kawasan kebun jeruk ini adalah Balai Desa Selorejo yang menjadi tempat penuntasan buang hajatku.
Tempat lain yang membekas adalah pitstop di Rumah Panti Jompo Bela Kasih. Ada makanan dan minuman, serta penyambutan yang hangat dari tuan rumah. Sebuah “prasasti kayu” berisi ujaran St Yohanes Salib mencuri perhatianku.

Untuk memiliki segalanya, janganlah ingin memiliki apa pun.
Untuk menjadi segalanya, janganlah ingin menjadi apa-apa.
Untuk mengetahui segalanya, janganlah ingin mengetahui apa-apa.
Entah sampai kapan aku bisa mengerti kalimat itu.
Di sini pula aku melihat kearifan lokal dalam penggambaran sosok Bunda Mari dan kanak-kanak Yesus. Bunda Maria digambarkan dalam rupa dan busana Jawa. Mengingatkanku pada penggambaran Bunda Maria di Wamena, Papua.
Ketika akhirnya tiba di Kolumbarium dan Taman Doa, aku memperoleh pelajaran yang sangat berharga untuk hari itu. Jangan pernah menyepelekan setiap hal. Karena persiapan terburu-buru dan menganggap remeh sekadar jalan kaki (tanpa mengecek kontur jalanan) sebuah jari kaki melepuh (blister). Ini di luar perkiraan sebab blister terakhir aku alami ketika ikut lomba lari lintas alam sekitar enam tahun silam.
Aku mengecek kondisi jari kaki dan belum begitu besar melepuhnya sehingga tidak aku tusuk.
Di Kolumbarium yang berarti rumah abu ini, aku bisa merenung akan kehidupan setelah kematian.







***
Hari kedua, ritual awal seperti hari kemarin. Hanya beda di bekal saja. Tidak lagi nasi, tapi arem-arem. Tujuan hari kedua adalah Gereja Stasi Ngrejo. Kontur jalanan menurun dahulu sebelum di pertengahan menanjak menuju gerbang Pasarean Gunung Kawi. Dibanding hari pertama, jaraknya lebih jauh. Hari pertama sekitar 22 km, hari kedua berkisar 35 km.
Sempat ketemu jembatan ambrol karena mengikuti arahan GMaps. Terpaksa balik dan mencari jalur alternatif. Hari kedua lebih banyak menanjak, namun memperoleh bonus pemandangan G Kawi di sisi kanan. Di hari ini aku mulai mengagumi trio manula (Ci Liliana, Ko Akheng, dan Pak Mun). Dengan usia sudah di atas 60 tahun mereka masih sigap berjalan. Bahkan ketika menanjak tanpa kesulitan mereka melangkah satu demi satu. Aku sempat mengobrol dengan Ko AKheng dan Pak Munandar yang kakak beradik. Banyak nilai-nilai hidup, terutama rohani, yang bisa kuserap dari keduanya.
Ketika mereka berhenti untuk menumpang ke toilet di sebuah rumah penduduk, aku menemani Romo Agung meneruskan perjalanan. Titik henti di Precet Forest Park tinggal beberapa kilometer tapi jalannya menanjak. Sampai kemudian melihat papan peringatan untuk menggunakan gigi 1. Semoga pemakai motor matik tidak bingung nyari gigi. Ketika berhenti sebentar di Precet, lalu melanjutkan perjalanan kembali, ternyata rombongan trio manula tidak lewat Precet. Ada jalan memotong menuju Pasar Gunung Kawi.
Ya sudah, aku kembali berdua dengan Romo Agung dan memperoleh siraman rohani yang membuatku “basah kuyub”. Menarik juga mendengar wejangan Romo yang ternyata latar belakangnya dokter gigi ini. “Sekarang masih bisa nyabut gigi gak Mo?” aku iseng bertanya.
Begitu sampai Pasar G Kawi, kami akhirnya bertemu dengan trio manula lagi. Sempat terbersit di hatiku untuk naik ke Pesarean G Kawi. Mumpung sudah sampai gerbangnya. Namun niat itu musnah melihat nanti harus jalan sendirian sementara jarak masih sekitar 5 km.

Jika hari pertama bertemu dengan kebun jeruk, hari kedua bertemu dengan ladang tebu. Ya, Malang bagian selatan ternyata menjadi gudang tebu. Ada dua pabrik gula (PG) di Malang, yakni PG Krebet Baru yang merupakan bagian dari jaringan PG Rajawali, dan PG Kebon Agung.
Apesnya, menyusuri kebun tebu ini di saat matahari di atas kepala. Beberapa ladang sudah dipanen, terlihat truk pengangkut parkir di pinggir jalan. Melihat ladang tebu jadi teringat dengan masa kecil di kampung yang di sekitar kampung banyak ladang tebu. Dulu suka mencuri tebu dan dihanyutkan ke sungai. Kadang harus lari terbirit-birit kalau ketahuan yang punya ladang.
Kini, tak ada lagi anak-anak nakal seperti kami dulu. Ketika aku minta sepotong tebu sama petugas yang sedang memanen, malah langsung dikasih satu batang utuh. Akhirnya kujadikan tongkat.
Tiba di Gereja Stasi Ngrejo yang menjadi tempat istirahat di hari kedua ini ternyata kena zonk. Pagernya masih terkunci. Bersama Arik dan Getta aku pun menunggu di warung tak jauh dari gereja. Pesan teh manis dan sekaligus pinjam pisau, aku pun menguliti masa lalu. Mengupas tebu untuk melihat kenangan-kenangan kala bocah. Menyesap air tebu. Zaman berubah. Rasa tebu pun berbeda.
Di gereja ini aku baru tahu, Gunung Kawi juga terkenal dengan ubinya. Pantas dari gerbang Pesarean Gunung Kawi sampai gereja sering lihat warung menjual ubi mentah.
Sayangnya, kelezatan ubi G Kawi tak membuatku tidur nyenyak malam itu. Konser solo seorang peserta dengan suara baritonnya memaksaku untuk begadang.







***
Pagi hari ketiga sebelum berangkat, Arik membisikkan sesuatu ke telingaku. Bukan berbisik sebenarnya. Hanya karena aku tidak pakai hearing aid jadi seperti berbisik. Tapi pesan yang disampaikan bisa kupahami. Baiklah!
Bulan purnama sempat menemani kami sampai ia hilang di ufuk barat. Kali ini aku akan melatih kesabaran dalam berjalan. Setelah jeda minum teh hangat dan membuka bekal selepas 5 km berjalan, pelatihan kesabaran itu berbuah indah. Rute melintasi sawah yang sedang menumbuhkan padi dengan bakal bulir yang mengintip. Sejauh mata memandang hamparan padi menyejukkan pagi. Di kejauhan perbukitan kapur menjadi dinding hamparan sawah ini.
Menyusuri selokan di sini mengingatkanku pada Selokan Mataram di Yogya. Hanya saja sisi selokan jalan setapak. Bisa digowes juga sih. Terbukti beberapa sepeda terparkir di beberapa titik jalan setapak ini. Sepeda para petani yang sedang mengecek sawah mereka. Sebagian sudah menggunakan sepeda motor. Sama seperti di kampung di Bantul tenggara yang sepeda onthel petani tergeser motor kreditan. Siapa yang tak tergoda dengan moda yang cepat bisa mengantar ke mana saja? Bisa jadi jalan kaki sudah tidak zamannya lagi. Makanya, beberapa petani yang kami temui bertanya mau ke mana kami? Dari mana kami? Jalan kaki?
Blister di kaki mulai terasa sakit. Tak lagi satu, tapi sudah tiga. Satu di kaki kanan, dua di kaki kiri. Dengan berjalan lebih lambat, kesakitan itu semakin meresap. Tapi seperti katak yang direbus dengan api yang kecil, rasa sakit itu pelan-pelan menghilang. Menjadi mati rasa. Seperti katak yang akhirnya terkapar tanpa dia bisa melompat keluar dari panci.
Makanya, ketika lepas dari penyeberangan Waduk Karangkates, dan berhenti di Warung Sederhana untuk minum es teh, aku membuka sepatu dan mengecek blister di kaki. Sudah ranum. Saatnya dipetik! Aku lantas mengeluarkan jarum pentol yang aku minta dari koster Gereja Ngrejo kemarin sore. Ah leganya ketika cairan blister itu keluar. Bebas. Seperti ketika aku melepaskan sepatu yang mengungkung jari-jari kaki yang mengalami blister tadi.
Perjalanan terus berlanjut sambil menenteng plastik berisi es teh manis. Kembali memasuki ladang tebu. Sampai kemudian bertemu dengan tanjakan yang tiada berakhir. “Itu tanjakan bolu. Orang sini saja gak ada yang mau jalan kaki lewat situ,” kata pemilik warung mi bakso tak jauh dari ujung tanjakan. Mi bakso di sini menjadi warung satu-satunya yang aku sua. Waktu di akhir tanjakan bertanya ke seorang penduduk apakah ada warung makan? Tanjakan dan hari sudah siang membuat perut harus diisi.
“Sampeyan lapar? Mari makan di rumah saya?” begitu ajakan bapak yang kutanya tadi. Dengan halus aku tolak dan aku menuju ke warung yang disebutkan tadi.
Perkampungan tadi menjadi jeda sebelum kembali masuk kebun tebu. Bedanya dengan kebun tebu di hari kedua, kondisi jalan makadam di sini mulai didominasi batu gamping. Khas wilayah pesisir pantai selatan Jawa. Dari sini ke Pantai Ngliyep paling tinggal 20 km saja. Sementara kalau dari Kota Malang, Pantai Ngliyep berjarak sekitar 60 km.

Aku sempat rebahan dan akhirnya tertidur di sebuah gardu ketika Arik dan Mbak Ning beristirahat. Begitu terbangun agak kaget juga, kok bisa sampai tertidur pulas. Di kejauhan sana tidak ada lagi Arik dan Mbak Ning. Cek ponsel ada pesan kalau Arik sudah jalan duluan. Tidak tega membangunkan diriku yang seperti orang mati.
Berjalan kaki di jalan makadam membelah kebun tebu memang melelahkan. Beberapa kali kami berhenti. Istirahat sambil menikmati pemandangan. Menjelang sore itu aku terbius dengan hamparan tebu dengan pucuk-pucuk glagah menjulang tertimpa sinar mentari. Dulu waktu kecil glagah-glagah itu kami bikin menjadi mainan. Salah satunya kereta.
Menemukan Indomaret kami seperti menjumpai peradaban. Sudah menginjak Donomulyo. Titik finish tinggal berbilang tiga kilometer. Seperti sudah berakhir. Meski ternyata jalannya tidak rata. Masih turun naik sebelum naik lagi. Kami berpapasan dengan rombongan ibu-ibu yang usai menjalan salat Maghrib.
Ketika gerbang Gua Maria Sendang Purwaningsih terlihat dalam gelap, hatiku bersyukur. Usai sudah perjalanan ini. Sambil menjaga langkah Mbak Ning yang menaiki tangga, sesekali berhenti, tak jarang sedikit oleng, akhirnya perjalanan Napak Jero pun usai. Aku segera mandi dan kemudian bersimpuh di depan Bunda Maria.
Selesai sudah ….







