gussur.com – Sebenarnya sudah dari dua tahun lalu pingin ikut Borobudur10K. Hanya waktu itu terkendala pendaftaran yang tak bisa online dan yang kedua bentrok dengan acara lain. Toh tahun 2015 akhirnya kesampaian juga.
Sempat bingung ketika pengambilan Race Pack dilakukan seminggu sebelum acara dimulai. Wah, bisa bolak-balik. Tapi ketika ditanyakan ke panitia ternyata ada dua gelombang pengambilan Race Pack. Yang kedua sehari sebelum lomba. Jadi masih bisa sekali berangkat.
Dari Stasiun Pasar Senen Jumat malam ternyata kereta mengalami keterlambatan berangkat. Hampir 1,5 jam akhirnya Bogowonto merayap pelan meninggalkan Jakarta yang baru saja diguyur hujan. Saya sudah membayangkan akan terlambat juga di Stasiun Tugu, Yogyakarta. Tapi mengapa risau terlambat. Bukannya tidak ada yang menjemput?
Ah, iya ….
Dari Stasiun Tugu Yogyakarta saya berniat naik Damri tujuan Magelang. Oya, semenjak KA berbenah, Damri pun sigap menyediakan moda transportasi penghubung dari Stasiun Tugu menuju beberapa tempat di luar Yogya. Seingatku ada Tugu – Wonosari, Tugu – Kulonprogo, dan satu lagi lupa. Untuk Tugu – Magelang tarifnya Rp55 ribu (naik Rp5.000 per November ini).
Jika dihitung-hitung dengan naik kendaraaan umum ongkos tadi memang mahal. Tapi praktis sebab tidak perlu berpindah angkutan. Kalau menggunakan angkutan umum harus dua kali. Tugu – Jombor dan sambung Jombor – Magelang. Itu pun harus berjalan kaki lumayan jauh. Bayangkan jika menenteng barang bawaan yang berat. Dengan menggunakan jasa Damri kita hanya duduk menunggu jadwal keberangkatan.
Sampai Stasiun Tugu sekitar pukul 08.00 dan ternyata Damri Magelang barusan berangkat. Kalau mau harus menunggu sekitar sejam menunggu jadwal dari Magelang yang sudah berangkat juga dari seputaran Artos Magelang. Saat itu sudah ada empat orang yang menunggu. Lalu salah satu dari kami mengusulkan untuk mencari taksi saja. Katanya tarifnya tak jauh berbeda dengan jika kami berempat menggunakan Damri.
Sepakat! Kami pun berjalan keluar menuju Jalan Pasar Kembang. Ada taksi lewat lalu dicegat dan sempat terjadi negosiasi, sebelum akhirnya terjadi kesepakatan harga. Rp230 ribu. Ya, tidak jauh berbeda.
***
Sore menjelang malam saya baru mengambil RCP di Artos. Armada Town Square. Pusat perbelanjaan yang menyatu dengan Hotel Grand Artos ini cukup ramai di malam Minggu itu. Kebetulan seharian tidak hujan. Menurut teman saya, sebelum-sebelumnya hujan hampir bisa dipastikan turun selepas siang hari.
Dengan “hanya” membayar Rp100 ribu untuk kategori Half Marathon, maka jangan berharap banyak akan ada kejutan di RCP yang saya terima. Kaos lomba tentu saja tidak dryfit. BIB tak disertai chip pencatat waktu. Dari sponsor hanya memperoleh satu sachet Antangin plus kupon Doorprize dari panitia.
Tak apalah… Banyak teman pelari dari Jakarta yang menghibur diri dengan “itung2 plesir”. Ya kalau dihitung2 dengan ongkos keberangkatan ya tentu mahal juga akhirnya. Naik kereta api saja pergi pulang sekitar Rp 400 ribu.
Malamnya pingin sekalian lihat2 Magelang tapi tak kesampaian karena teman tiba-tiba ada acara mendadak. Terpaksa habis carboloading terus tidur saja. Biar besok bisa bangun dengan segar.
Eh, sepertinya baru kali ini saya ikut lomba lari namun startnya agak siangan. Pukul 06.15. Jadi masih bisa bangun pukul 05.00.
***
Bangun pkl 05.00 saya langsung mandi. Minum dan makan pisang akhirnya saya berangkat ke Taman Lumbini. Di depan Pondok Tingal ternyata sudah terjadi kemacetan. Rombongan pelari kelas 10K dari kalangan pelajar dan instansi setempat mengantri masuk ke tempat parkiran pelataran Borobudur. Beruntung naik motor sehingga saya pun leluasa menyelap-nyelip di antara barisan bermacam kendaraan. Dari angkutan umum, bak terbuka, truk, sampai bus.
Taman Lumbini berada di kawasan Hotel Manohara. Jadi masuknya melalui pintu 7. Beberapa halaman rumah penduduk difungsikan menjadi tempat parkir motor peserta. Patut dicontoh biaya parkir tidak mahal dan ada tiketnya. Cukup Rp3.000. Bandingkan dengan parkir liar di seputaran lokasi lomba lari di Jabodetabek. Minimal Rp5.000 dan tanpa karcis lagi.
Memasuki garis start ternyata peserta sudah pada siap-siap semua. Yang HM ada di depan, sekitar 600 peserta. Sisanya sekitar 10 ribuan 10 K yang sudah berkerumun di belakang HM. Kanan kiri peserta ada pagar besi setinggi sekitar 175 cm. Mau menerobos dari belakang kok merangseknya terlalu jauh. Akhirnya di tempat yang agak sepi dari pengawasan polisi (kata orang kalau melompat dan ketahuan polisi suruh keluar lagi) saya pun bertanya ke peserta yang sudah ada di dalam.
“Ini HM ya?”
“Iya ….”
Celingukan kanan kiri tak ada polisi saya pun melompat pagar. Hupp!!!
Sampai di dalam sudah sambutan dari Menpora disusul lagu “Indonesia Raya”. Lalu tembakan start tanda lomba dimulai pun menyentak, mengeluarkan potongan-potongan kertas yang berhamburan jatuh di pelataran titik start.
Lo, kok yang di depan tidak bergerak? Saya melompat dan ternyata rombongan HM sudah lepas dari garis start.
“Ini 10K ya?”
“Iya Pak,” jawab seorang pelajar yang kutanya sambil melihat nomor BIB-ku.
Wah, langsung saja saya minta permisi “ndlesep” di kerumunan orang sampai kemudian lepas dari barisan dan langsung lari mengejar barisan HM.
Saat mengejar itu saya dipanggil seseorang. Ternyata teman penggowes dari Yogya. Lari bareng sambil cerita sana-sini, akhirnya pas ada turunan menuju jembatan saya bisa memanfaatkan momentum turunan ini untuk “ngacir” duluan hehe …
(Nantinya akan ditemui banyak jembatan dengan karakter turunan-jembatan-tanjakan)
Di sekitar km 6 bertemu dengan teman dari Depok yang kenalan pas di BMBM (Bali Marathon). Mereka bertiga, dua lainnya di depan. “Itu yang telanjang badan juga Om. Kejar saja,” katanya.
Saya pun mengejar mereka dan lari beriringan sampai km12.
Sambutan masyarakat meriah. Sepadan dengan Bali Marathon. Mereka pun menggelar kesenian tradisional. Hanya saja tidak ada sambutan anak-anak sekolah yang berbaris di pinggir jalan sambil mengelu-elukan peserta lomba. Namun menurutku sih sudah oke … Memberi semangat dengan pakaian ala kadarnya. Jangan-jangan baru pada bangun tidur.
Suasana alam pedesaan mirip dengan rute Bali Marathon, namun dalam suasana yang berbeda. Lebih alami di sini. Karena ya tadi, kecuali yang memainkan kesenian tradisional seperti nembang, semuanya tampil apa adanya.
Acung jempol buat panitia dan para polisi yang mampu menjaga jalur steril. Begitu juga dengan masyarakat yang sabar menunggu peserta lewat tanpa ada rasa jengkel. Begitu polisi menghentikan kendaraan yang mau melintas rute di sebuah perempatan, mereka berhenti dengan ikhlas. Tak ada suara klakson mengusik pagi yang mendung.
Terik matahari yang kadang mengintip dari balik awan tak sempat mengganggu. Rindang pepohonan di pinggir jalan menaungi peserta dari kepanasan.
Yang kurang dari gelaran ini menurut saya water station yang hanya menyediakan air mineral dalam gelas, dan beberapa di antara WS itu tidak melobangi gelas. Akibatnya harus mencucukkan jari tangan sambil berlari untuk minum air tersebut.
Tak ada pencatat waktu digital di garis Start/Finish. Jadi, yang tidak menggunakan aplikasi pencatat waktu akan kebingungan berapa lama waktu tempuhnya. Selepas garis finish juga jalur penuh dengan peserta lain yang sudah selesai. Sehingga tidak tahu ke arah mana untuk mengambil medali. Lalu tak ada tanda di BIB jika sudah mengambil medali. Namun untuk yang HM harus menukar dengan kalung putih yang dibagikan di km 16 kalau tidak salah.
Refreshment yang terbatas dan diserbu ribuan peserta membuat saya malas menghampirinya. Jadi selepas ambil medali langsung menuju ke pelataran Candi Borobudur dan foto beberapa jepret. Tentu tak sah kalau tidak naik sampai puncak.
Catatan waktu di Garmin FR10 saya adalah 2:13:04 untuk jarak 21.25 km.
Untuk Strava, di bawah ini….
https://www.strava.com/activities/432885007/embed/2a0d7aed1f6ce89d08c7c139505455a665cf6efa
Sampai ketemu tahun depan yang katanya akan ada Full Marathon dan Ultra.
Filed under: Lari Tagged: borobudur10k, half marathon, kg pelari[an]
