Quantcast
Channel: Gussur Ngeblog
Viewing all articles
Browse latest Browse all 92

Gunung Laya Loop, Cariu: Menyisir Bantarkuning yang Viral

$
0
0

gussur.com – Yang penting sepedaannya. Bukan sepedanya. Mantra ini begitu kuat melekat sehingga sering aku bersepeda tanpa peduli dengan sepeda apa yang sedang aku kayuh.

Tapi risiko tanggung sendiri. Beruntung punya teman-teman yang bisa mengerti. Sabar menunggu. Tak main tinggal begitu saja.

Begitulah … kali ini perjalananku menuju ke Cariu. Tepatnya Gunung Laya. Menuju gunung ini kita akan melewati Bantarkuning yang sedang jadi sorotan di kalangan kaum pemgayuh pedal karena pesona persawahan yang membius. Lebih dramatis jika diambil menggunakan drone dan tanaman pagi sedang menguning.

Awalnya aku tidak berencan ke sini. Lama tak berolahraga di luar ruang, aku berniat ngetrail di Cisadon. Tapi teman yang mau menemani malah ngetrail di G. Guntur Garut. Wah bisa dua hari. Gak bisa aku.

Sementara ngetrail sendirian tak semenarik sepedaan sendirian. Rencana pun berubah. Jadilah aku mencoba menapaktilasi Cariu – Cipanas – Puncak Loop.

Tahu-tahu Om Jwk ngajak ke G Laya Cariu. Ada Bli NWis juga. Pikirku mereka akan memakai seli. Dua Knight ini memang suka menyiksa seli ke medan antah berantah. Jadi, aku pun berubah rencana meski memakai sepeda turing. Besi lagi.

Kami bertemu di Warung Padasuka. Tak jauh dari Alun-alun Cariu. Sempat lihat di GMaps, alun-alun ini terletak di pinggir jalan. Di sisi kiri kalau kita mengarah ke tanjakan Cariu. Makanya aku kayuh terus sambil memperhatikan kiri ketika memasuki wilayah Cariu.

Tak tahunya, selagi asyik mengayuh, ada yang berteriak-teriak. Sepertinya memanggil aku. Sayang, namaku bertambah dengan embel-embel Budi. Budeg dikit. Eh nggak ding, sudah taraf Buba kali ya. Budeg banyak. Makanya aku masih ragu-ragu sampai ada pemotor yang menyusul aku bilang ada yang memanggil di depan warung. Untung bersepeda, jadi belum jauh-jauh amat. Aku meminggir dan berhenti. Menoleh ke belakang dan melihat Om Jwk melambaikan tangannya.

Untuk urusan mata masih di atas rata-rata aku. Jadi langsung tahu Om Jwk. Aku pun putar balik.

Di warung makan Padasuka sudah ada Bli NWis. Nama lengkapnya Nyoman J. Wistara. Doktor lulusan Universitas Wisconsin AS ini adalah dosen di IPB. Orangnya semanak kalau tetangga di kampung bilang. Logat Balinya masih kental.

Karena Om Jwk dan Bli NWis dah selesai makan, maka meski aku belum sarapan hanya pesen teh manis saja. Kesalahan fatal ini nantinya.

***

Tak lama setelah teh manis habis, kami segera mengayuh pedal. Sempat bertemu dengan beberapa penggowes, akhirnya aku baru tahu lokasi Alun-alun Cariu. Ternyata di belakang warung makan Padasuka. Tidak di pinggir jalan utama.

Menuju Gunung Laya kami menyisir sisi Alun-alun dan berbelok menuju arah Selatan, searah dengan jalan utama. Masih aspal, begitu juga ketika belok kiri tak jauh dari Pasar Cariu. Jalan masih beraspal. Aku merasa nyaman saja dengan Federal Oranye.

Sempat melewati jalan rusak dan beton sebelum ketemu jalan aspal lagi. Tapi tersuguhkan dengan pemandangan sawah yang habis dipanen dan bukit-bukit runcing atau bulat pipa di kejauhan sana. Pengantar menuju Bantarkuning.

Ketika akhirnya sampai Bantarkuning, bagi saya biasa saja. Mengingatkan daerah di kampung. Ada banyak spot seperti itu. Salah satunya Desa Karangtengah. Sebuah jalan membelah persawahan dengan latar belakang perbukitan. Hanya saja yang khas di sini adalah bukit atau gunungnya “unik”.

Tujuan kami Gunung Laya. Bukan Bantarkuning. Makanya kami menyusur semakin dalam. Geliat gowes terlihat di seputaran ini. Anak-anak terlihat ceria dengan sepeda mereka. Jalan tak rata dan cuaca panas tak mereka hiraukan. Ingin berhenti dan mengobrol sama mereka. Tapi aku dah tercecer jauh. Jadi mesti mengejar biar tak jadi “barang tungguan”.

Menuju Gunung Laya menjadi perjuangan tersendiri. Menggotong sepeda karena ternyata rutenya harus melewati kali atau persawahan. Apakah salah jalur? Bisa jadi. Akurasi alat GPS komersial berbeda-beda. Bisa sampai 10 m. Selain itu jalan setapak bisa jadi “hilang” karena lama tidak ditapaki.

Belum sampai 10 km sudah harus menggotong-gotong sepeda. Juga memanggulnya. Steel is real, gitu guyonan pengguna sepeda lawas. Ya,memang begitu. Tapi bikin kesel karena beratnya itu. Bayangkan saja foto-foto ini.

Setelah menggotong-gotong sepeda menerabas kali basah dan kering, sampailah di pinggir hutan. Petualangan menyusuri Gunung Laya pun dimulai.

Beberapa kayuhan baru terasa salah pakai sepeda. Sudah dropbar, remnya cantilever lagi. Rem ini yang nanti bikin repot ketika separuh perjalanan terlampaui. Yakni ketika puncak rute terlewati dan tinggal menurun saja. Masalahnya, kepakemannya sudah berkurang dan banyak rute menyusuri punggungan gunung sehingga risiko jatuh ke jurang sangat besar.

Lantas saya ingat waktu jatuh di trek Puncak. Gegara sudah lama gak pakai sepatu cleat, pas jalan setapak menurun cukup mulus tiba-tiba ada batu menutupi jalan setapak. Entah kenapa kok malah terantuk batu. Hilang keseimbangan dan terjungkal ke sisi kiri yang ternyata jurang.

###

Rute Gunung Laya termasuk lengkap. Menihilkan kesan Cariu yang panas. Melintasi persawahan, menyeberang sungai, menyisir punggung gunung, menerobos kebun kopi, dan berendam di curug.

Satu hal yang hampir melekat dalam setiap persepedaanku: nyasar. Kali ini lumayan ngeselin nyasarnya. Kami regrouping sekitar 3 km sebelumelevasi tertinggi di rute. Sudah hampir makan siang dan ternyata tidak ada warung.

Jadilah Om Jwk membuka bekalnya. Persediaan airku juga menipis. Menuju titik puncak ternyata tanjakannya ngehe semua. Terpaksa jurus dorong dikeluarkan. Kami berpencar dan aku menjadi daging dalam sebuah kesatuan sandwich. Om Jwk di depan dan Bli NWis di belakang.

Sempat mampir di sebuah rumah tunggu kebun yang kebetulan ada seorang kakek-kakek, saya berhenti dan minta air minum. Ngobrol sebentar sembari menunggu Bli NWis. Tapi kok lama gak nongol aku pun lanjut lagi. Beberapa ratus meter lagi sampai di titik tertinggi.

Ketika mulai tren turun, aku bertemu dengan percabangan jalan. Lurus menurun dan belok kanan menanjak. Tanpa membuka ponsel buat lihat rute di aps GPX Viewer (hanya aku di rombongan ini yang gak membekali dengan GPX navigasi), aku langsung ambil jalan lurus. Lantas mengikuti jalan setapak yang baru diperlebar itu.

Menjadi curiga ketika setelah melintas kali kecil kok jalan menanjak berkelak-kelok. Ada gubuk penunggu kebon di sebuah tikungan. Tapi kok enggak ada orang buat ditanya-tanya. Terpaksa lihat GPX Viewer dan memang di luar jalur. Apa bener yang jalan nanjak tadi?

Mencoba balik, sambil nuntun sepeda tentunya — arghhhh kenapa gak pakai MTB tadi ya? — aku mencoba menjajal jalan menanjak di percabangan tadi. Aku pikir di balik tanjakan ada turunan.

E alah, ternyata menanjaknya gak sopan. Untung ketemu gubug penunggu kebun. Tapi kosong juga. Siang tengah hari memang pada di kebun. Aku pun menyandarkan sepeda, meminum air tersisa dan mencari tempat duduk. Membuka GPX Viewer, dan masih di luar jalur. Mencoba membuka kompas untuk melihat arah. Ternyata perlu dikalibrasi dan enggak bisa-bisa kalibrasinya.

Ya sudah. Aku pun diam sejenak. Mengatur napas. Entah berapa lama aku merenung tiba-tiba dikejutkan suara bapak-bapak sepuh. Ditanya tujuan ke mana. Setelah aku jelaskan dia bilang aku salah jalan. lalu diberi tahu jalan yang benar.

“Aku tadi dari situ Pak. Rencana mau muter. Kalau ini terus ke mana?”

“Jalan buntu. Kalau mau muter ya ini turun belok kanan dan nantii ada simpangan belok kiri. Terus menyeberang kali ketemu sawah-sawah.”

“Aku barusan lewat situ juga tadi Pak. Gak lihat ada simpangan.”

Bapak itu kemudian menjelaskan lebih rinci. Aku mencernanya. Mengingatnya. Hanya itu yang bisa kulakukan saat itu.

Setelah bilang terima kasih, aku segera mengayuh pedal. Selalu ada petolongan saat kita pasrah.

Benar saja, ternyata ada simpangan dengan jalan setapak yang lebih kecil. Aku tadi terbius dengan jalan utama yang kebetulan nyaman dikayuh. Begitu menyeberangi kali, sedikit waswas sebab jalan setapak sedikit hilang. Tajuk-tajuk pohon yang membuat kanopi menutupi jalur setapak begitu rapatnya. Aku terus menerobos yang bisa aku terobos.

Ketemu dengan kebun kopi lagi sedikit membahagiakan hati. Terlebih di tengah jalan setapak ketemu Om Jwk dan Bli NWis yang sedang istirahat. Agak geer dikiranya menunggu aku, ternyata OM Jwk balik arah menyusuri rute karena ponselnya jatuh!

Kami kemudian beriringan menuju Curug Cilalay. Sudah jauh-jauh ke Cariu, kenapa gak ke Curug? Sama-sama berawalan “C” kan? Nah lo… apa hubungannya?

Berendam di Curuh Cilalay setidaknya mengendurkan otot-otot yang tegang mendorong sepeda saat menanjak dan menuntunnya saat turunan tajam. Duh … sayang banget kan aku?

Sehabis main di curug rute sebenarnya nyaman buat digowes. Asal pakai MTB hehe… Makanya aku semakin tercecer di belakang. Beruntung rute tak semembingungkan sebelumnya. Sebenarnya pingin membetulkan rem. Tapi malas bongkar-bongkar tools. Jadilah menikmati pemandangan sambil menuntun sepeda. Sayangnya, kiri kanan bukan pohon cemara.

Menyentuh aspal kembali Om Jwk dan Bli Nwis sudah menunggu di pinggir jalan. Aku kok malah kepikiran mengencangkan kabel rem. Tapi perjalanan masih jauh soalnya.

Kami makan sore dulu di Warung Padasuka kembali. Bli NWis dijemput “helikopter”, sementara aku dan Om Jwk melanjutkan dengan gowes. Menyusuri jalur alternatif Jakarta-Bandunh di kala dulu. Om Jwk ke Cibinong sementara aku ke Condet.

Ada kejadian lucu saat sebelum sampai Mekarsari. Tiba-tiba aku disapa rombongan goweser dari kolbak.

“Semangat Om…,” sorak mereka.

Setelah aku amati ternyata mereka rombongan yang pagi sebelumnya menyalip aku juga saat menuju Alun-alun Cariu. Kami kembali bertemu di hutan pinus arah Gunung Laya.

Sampai rumah sekitar pukul 20.00. Cukup melelahkan setelah beberapa purnama lewat tidak”menyiksa si Federal”. Esoknya nyoba nimbang badan dan angka menunjukkan turun 2 kg. Plus kuku jari “mati” akibat menuntun sepeda terlalu sering.

(foto2: Om Jwk)


Viewing all articles
Browse latest Browse all 92

Trending Articles