Quantcast
Channel: Gussur Ngeblog
Viewing all articles
Browse latest Browse all 92

Sukoharjo – Imogiri via Tanjakan Gedangsari, Gunung Kidul

$
0
0

Carilah Tuhan di tanjakan, jangan di turunan …

gussur.com – Tanjakan, sepi, sendiri. Tiga serangkai yang selalu aku cari kala motivasi hidup meredup. Kali ini menyasar ke Gedangsari. Nama yang selalu berseliweran di pikiranku dan lantas jemari menari-nari di kolom pencarian Google.

Sebagai orang dengan akar masa kecil di Yogya dan sekitarnya, sesungguhnya tak susah mencari tiga serangkai tadi. Soalnya banyak jalur tiga serangkai di sini. Jogja (maksudnya kota Yogyakarta) memang seperti dasar sebuah mangkok. Jadi, dengan menggowes menjauh Jogja sudah kita temui jalan tanjakan, sepi, dan sendiri jika itu pilihanmu.

Ke Barat akan bertemu dengan gugusan Pegunungan Menoreh. Ke Utara bersua dengan lereng G. Merapi. Ke Selatan dan Timur (Tenggara tepatnya) berjumpa dengan Pegunungan Seribu. Jadi, kurang apa coba?

Dari sekian banyak jalur itu, jalur menuju Gunungkidul lebih sering aku susuri. Soalnya rumah orangtua di Imogiri tak jauh dari perbatasan dengan Gunungkidul. Jadi jalur Panggang, Parangtritis, Mangunan, Cinomati, Pathuk sudah saya coba. Pernah mencoba jalur Klaten yang tembus Nglanggeran. Begitu juga pernah masuk Gunungkidul dari Wonogiri. Sampai kemudian aku mendengar “pintu masuk” lain dari Klaten: Gedangsari.

Setelah googling, ternyata ini Klaten agak ke timur. Jadi, butuh upaya berlebih jika mencoba pas lagi di Imogiri. Setidaknya bikin loop yang besar.

Makanya, ketika ada niatan mau melihat sistem pertanian terpadu di lahan tandus milik teman asrama dulu, Heri Sunarto, di Sukoharjo, maka aku pun menyekaliankan niat mengincipi Gedangsari. Jadi jalurnya Sukoharjo – Klaten – Gedangsari – Pathuk – Hutan Pinus Mangunan – Imogiri. Asumsinya begitu tiba di Sukoharjo bisa langsung melihat lahan pertanian dan sebelum siang langsung cabut ke Klaten.

Namun angan tinggal kenangan. Temanku ternyata kedatangan tamu teman2 seangkatan di hari itu juga. Jadi fokusnya terbagi. Apalagi hari itu hari Jumat. Alhasil, selepas salat Jumat baru bisa melihat lahan tandus yang disulap menjadi pertanian terpadu: padi, lele, sayuran hidroponik, dan ayam.

Selesai melihat-lihat lahan pertanian, aku segera pamit ke Heri untuk ke Klaten. Mengandalkan GMaps maka aku pun menyusuri jalan menuju Tawangsari dan kemudian masuk ke Klaten.

pertanian terpadu
Pertanian terpadu: beternak lele, menanam padi, serta hidroponik.

Berhenti sebentar makan siang yang tertunda, akhirnya aku mengejar waktu demi bisa menembus Hutan Pinus Mangunan sebelum gelap. Soalnya aku tak membawa lampu depan. Nekat ya….

Mengandalkan GMaps aku mulai curiga ketika rute di arahkan ke jalanan kampung. Sebenarnya aku suka-suka saja. Sebab lebih banyak yang bisa didapat jika masuk kampung daripada lewat jalan besar atau melintas persawahan. Masalahnya jalannya sedikit makadam atau kalaupun aspal, ya aspal mulus (kala zaman Mataram hehe…).

Makanya, ketika melihat ibu-ibu yang juga bersepeda saya menjejeri dan bertanya arah ke Gedangsari. Akhirnya ditunjukkan jalan yang “benar”. Pas aku tanya2 rute sesuai anjuran GMaps, “Wah, jalannya rusak. Apalagi pakai sepeda kecil gitu.”

Akhirnya aku kembali ke jalan yang benar. Meski tidak mulus-mulus amat, tapi jalanan yang kulalui sudah berbalik kondisi dengan jalan sebelumnya. Jika di jalan sebelumnya susah mencari aspal karena sudah tergerus, di jalan yang baru ini relatif susah mencari lubang.

Sampai akhirnya, di sebuah jalan lurus aku melihat di kejauhan sana, bukit meranggas dengan bayangan gerakan motor naik dari dasar bukit yang merupakan ujung jalan yang sedang kususuri. Itukah Gedangsari?

Senyatalah itu ujung dari tanjakan Gedangsari. Sekaligus perbatasan Klaten (Jawa Tengah) dan Gunungkidul (DI Yogyakarta).

Dibandingkan beberapa pintu masuk ke Gunungkidul, Gedangsari menurutku menawarkan banyak hal. Relatif sepi, jalanan agak lebar, serta panorama yang menarik. View lebar dan tak banyak alangan.

tanjakan gedang sari
Jalur tanjakan Gedangsari Gunungkidul

Meski begitu tetap berhati-hati sebab sore itu beberapa kali saya disalip motor yang membawa rumput buat makanan ternak. Padahal tanjakan di sini terhitung terjal untuk sprocket Urbano saya. Terpaksa berhenti dulu dan menepi jika terdengar bunyi klakson dari belakang.

Dari data Strava, dan juga data di lapangan, ada tiga tanjakan terjal menuju puncak Gedangsari. Masing-masing gradiennya bergradasi dari 20,3 persen, 21,5 persen, dan terakhir 21,7 persen. Tanjakan terakhir ini begitu menantang sebab di ujung tanjakan adalah belokan yang tertutup dinding bukit. Jadi kalau mau gowes zigzag mesti waspada.

Di tiga tanjakan itulah silakan berdialog dengan Tuhan. Meminta kekuatan dan mengagumi keindahan alam. Yakin deh, setelah puncak tanjakan langsung lupa sama Tuhan haha…. (guyon ya….).

sukoharjo imogiri
Rute ngincipi Gedang sari

Di ujung tanjakan ada semacam gardu pandang. Cuma sore itu tutup pintunya. Jadi aku tidak mampir dan langsung menuju ke Pathuk. Mengejar waktu biar bisa melewati hutan pinus Mangunan.

Sampai pertigaan Sambipitu yang kemudian harus menyusuri jalan provinsi masih terang tapi sudah menyisakan rasa pesimis bisa lewat Mangunan. Awalnya saya mengira begitu sampai Sambipitu jalanan tinggal turun atau kalau enggak ya datar. Begitu sampai Bukit Bintang Pathuk sudah turun terus sampai Jogja.

Jebul masih ada tanjakan menuju Bukit Bintang. Mana hari mulai gelap. Bertambah gelap karena ternyata aliran PLN di jalur itu putus. Ngeri2 sedang sebab aku boleh dibilang tak memakai lampu sorot di depan. Tragedi marka jalan pun terulang kembali.

Aku berhenti sebentar di Alfamaret beberapa kilo sebelum perempatan Dlingo-Pathuk (jika mau ke Mangunan aku harus ambil kiri, namun karena sudah gelap ya harus lurus ke Jogja). Beristirahat sambil mengisi cairan.

Setelah melewati turunan Pathuk menuju Piyungan, saya pun memantapkan untuk terus menggowes sampai Imogiri. Pantat sudah terasa panas karena gak pakai celana berpadding. Berhenti malah bisa menambah siksaan.

Dari Brimob di pinggir Ring Road Yogyakarta menyusuri Jalan Raya Imogiri Timur kaki sudah seperti autogowes saja.

Sampai Imogiri sekitar pukul 20.00 dan langsung menepi di sebuah warung mencari semangkok bakmi.

mi letek
Mi letek penutup perjalanan.


Viewing all articles
Browse latest Browse all 92

Trending Articles